Selasa, 16 Agustus 2016

REFERAT BUTA WARNA



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
            Permasalahan buta warna masih belum begitu banyak diketahui oleh orang awam, demikian pula permasalahan-permasalahan yang akan dihadapi oleh individu yang menderita buta warna tersebut. Hal ini karena individu yang menderita buta warna tersebut kadang-kadang tidak mengetahui bahwa menderita buta warna, sebab tidak adanya gejala-gejala fisik yang dirasakan oleh si penderita, disamping itu bidang studi tertentu ada yang membutuhkan kepekaan individu terhadap persepsi warna, sehingga individu yang buta warna akan menghadapi beberapa kendala untuk memasuki bidang tersebut. Demikian pula jenis atau bentuk pekerjaan tertentu ada yang membutuhkan kepekaan terhadap persepsi warna misalnya sopir, masinis, pilot, dan pekerja di bidang elektronika. Pada peralatan elektronika didapatkan banyak warna kabel-kabel dari alat-alat tersebut, dimana masing-masing warna mempunyai fungsi yang berlainan. Apabila pekerjaaan seperti contoh diatas, dikerjakan oleh individu yang menderita buta warna maka kemungkinan besar akan berakibat fatal. Selain itu kebanyakan dimasyarakat kita oleh karena pengaruh adat, sering terjadi perkawinan antar keluarga, padahal penyakit buta warna ini adalah penyakit genetik yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mnurut Hukum Mendel kerugian-kerugian genetika dari perkawinan antar keluarga adalah sangat besar (Zen et al., 2003).
Buta warna biasanya adalah suatu gangguan genetik terkait-sex yang disebabkan oleh defisiensi salah satu dari ketiga fotopigmen. Pengidap buta warna hanya melihat warna yang terbentuk oleh aktivitas relatif dua jenis sel kerucut lainnya. Buta warna diwariskan melalui kromosom X sehingga biasanya mengenai pria. Pada kasus yang ekstrim, dapat terjadi defisiensi lebih dari satu kerucut warna (Crowin, 2001).
Sel kerucut pada retina mempunyai 3 macam pigmen yang masing-masing hanya peka terhadap sinar-sinar merah, hijau dan biru. Pigmen kerucut yang peka terhadap sinar merah mempunyai spektrum absorbsi yang luas dengan absorbsi maksimum berfrekuensi 575 mA : sedangkan pigmen kerucut yang peka terhadap sinar hijau mempunyai frekuensi absorbsi maksimal 540 mA dan pigmen kerucut yang peka terhadap sinar biru mempunyai absorbsi maksimum 430 mA. Ketiga spektrum warna ini mempunyai daerah yang saling melingkupi. Seseorang yang mampu membedakan ketiga macam warna ini disebut trikromat. Sedangkan yang hanya mampu membedakan 2 komponen warna disebut dikromat dan pada orang ini terdapat kerusakan pada 1 jenis pigmen kerucut. Kerusakan pada 2 pigmen kerucut menyebabkan orang hanya mampu melihat satu komponen warna, hal ini disebut monokromat. Pada keadaan dimana terdapat kerusakan pada ketiga pigmen kerucut, orang hanya dapat mengenal warna hitam dan putih dalam berbagai derajat, hal ini disebut akromatopsia. Pada dikromat, apabila kerusakan terdapat pada komponen merah disebut protan, bila mengenai komponen hijau disebut deutran dan bila mengenai komponen biru disebut tritan. Kerusakan yang total disebut sebagai anopia sedangkan kerusakan sebagian disebut anomali. Pada akromatopsia dapat dijumpai rod monocromatism dimana ketidakmampuan melihat warna disertai juga dengan gangguan penglihatan berupa kemunduran visus, adanya fotopobia, skotoma sentral dan nistagmus, dan kemungkinan besar merupakan suatu kelainan saraf. Kelainan ini pada akromatopsi disebut cone monochromatism dimana hanya terdapat ketidakmampuan melihat warna. Buta warna umumnya dianggap lebih banyak terdapat pada pria daripada wanita dengan perbandingan    20 : 1. Pemeriksaan buta warna dilakukan dengan tes Ishihara (Ilyas, 2003).

1.2  Tujuan
Untuk mengetahui definisi, prevalensi, klasifikasi, dan pemeriksaan dari buta warna.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi Retina
Retina manusia merupakan suatu struktur yang sangat terorganisir, yang terdiri dari lapisan-lapisan badan sel dan prosesus sinaptik. Walaupun ukurannya kompak dan tampak sederhana apabila dibandingkan dengan struktur saraf misalnya kortek serebrum, retina memiliki daya pengolahan yang sangat canggih. Pengolahan visual retina diuraikan oleh otak, persepsi warna, kontras, kedalaman, dan bentuk yang berlangsung di kortek. Anatomi retina memperlihatkan jenis-jenis sel utama dan lapisan-lapisan jaringannya. Pembagian retina menjadi lapisan-lapisan yang terdiri dari kelompok-kelompok sel serupa memungkinkan dokter menghubungkan suatu fungsi atau gangguan fungsional dengan suatu lapisan atau kelompok sel. Pengolahan informasi di retina berlangsung dari lapisan fotoreseptor malalui akson sel ganglion menuju ke saraf optikus dan otak (Hardy, 2000).
Retina merupakan membran yang tipis, halus dan tidak berwarna, tembus pandang. Yang terlihat merah pada fundus adalah warna dari koroid. Retina ini terdiri dari macam-macam jaringan, jaringan saraf dan jaringan pengokoh yang terdiri dari serat-serat Mueller, membrana limitans interna dan eksterna, sel-sel glia (Guyton, 1997).

Menurut Wijana (1993), Lapisan-lapisan retina dari dalam keluar terdiri  dari :
1.      Membrana limitan interna.
2.      Lapisan serabut-serabut saraf (akson dari sel-sel ganglion).
3.      Lapisan sel-sel ganglion.
4.      Lapisan plexiform dalam.
5.      Lapisan nuklear dalam (nukleus dari sel bipoler).
6.      Lapisan plexiform luar
7.      Lapisan nuklear luar (nukleus dari batang dan kerucut).
8.      Membrana limitan eksterna
9.      Lapisan batang dan kerucut (alat-alat untuk melihat, penerima cahaya).
10.  Lapisan epitel pigmen.
Membrana limitan interna letaknya berdekatan dengan membrana hyaloidea dari badan kaca. Pada kehidupan embrio, dari optik vesikel terbentuk optic cup, dimana lapisan luar membentuk lapisan epitel pigmen dan lapisan dalam membentuk lapisan retina lainnya. Diantara kedua lapisan ini terdapat celah potensial. Bila terjadi robekan diretina, maka cairan badan kaca akan melalui robekan ini, masuk kedalam celah potensial dan melepaskan lapisan batang dan kerucut dari lapisan epitel pigmen, maka terjadilah ablasi retina. Keadaan ini tidak boleh terlalu lama berlangsung, oleh karena lapisan batang dan kerucut mendapat makanannya dari kapiler koroid, sedang bagian-bagian lain dari retina mendapat nutrisi dari pembuluh darah retina sentral, yang cabang-cabangnya terdapat didalam lapisan urat saraf.
Retina menjalar kedepan dan makin kedepan, lapisannya berubah makin tipis dan berakhir diora serata, dimana hanya didapatkan satu lapisan nuklear. Makin keperifer makin banyak batang daripada kerucut, batang-batang itu telah mengadakan modifikasi menjadi tipis-tipis. Pada orang tua dan pada penderita miopia tinggi, diora serata sering didapatkan degenerasi kistoid, yang bila pecah dapat menimbulkan ablasi retina. Epitel pigmen dari retina kemudian meneruskan diri menjadi epitel pigmen yang menutupi badan siliar dan iris. Dimana aksis mata memotong retina, terletak di makula lutea. Ditengah-tengahnya terdapat lekukan dari fovea sentralis. Pada funduskopi, tempat makula lutea tampak lebih merah dari sekitarnya dan pada tempat fovea sentralis seolah-olah ada cahaya, yang disebut refleks fovea, yang disebabkan lekukan pada fovea sentralis (Wijana,1993).
Sedangkan menurut Hardy (2000), struktur makula lutea terdiri dari :
1.      tidak ada serat saraf
2.      sel-sel ganglion sangat banyak dipinggir-pinggirnya, tetapi dimakula sendiri tidak ada
3.      lebih banyak kerucut daripada batang dan telah bermodifikasi menjadi tipis-tipis. Difovea sentralis, hanya terdapat kerucut.
Nasal dari makula lutea, kira-kira pada jarak 2 diameter papil terdapat papila nervi optisi, yaitu tempat dimana N.II menembus sklera. Papil ini hanya terdiri dari serabut saraf, tidak mengandung batang atau kerucut sama sekali. Oleh karena itu, tidak dapat melihat sama sekali dan disebut titik buta (skotoma fisiologis, blindspot). Bentuk papil lonjong, berbatas tegas, pinggirnya agak lebih tinggi dari retina sekitarnya. Bagian tengahnya ada lekukan, yang tampak agak pucat, besarnya 1/3 diameter papil, yang disebut exkavasi fisiologis. Dari tempat ini keluarlah arteri dan vena retina sentral yang kemudian bercabang-cabang ketemporal dan kenasal, juga keatas dan kebawah. Arteri ini merupakan arteri terminal dan tidak ada anastomosis. Kadang-kadang didapat anastomosis antara pembuluh darah A.siliaris dan A.retina sentral, yang disebut A.silioretina yang biasanya terletak didaerah makula. Bila ada emboli yang masuk kedalam A.retina sentral, orang dengan mendadak menjadi buta. Tetapi bila terdapat A.silioretina fungsi dari makula tidak terganggu. Arteri : diameternya lebih kecil, dengan perbandingan A : V = 2 : 3. Warnanya lebih merah, bentuknya lebih lurus-lurus, ditengah-tengahnya terdapat refleks cahaya. A.retina sentral mengurus makanan lapisan-lapisan retina sampai dengan membrana limitans eksterna. Didaerah makula lutea, yang terutama terdiri dari batang dan kerucut tidak terdapat cabang dari A.retina sentral, oleh karena daerah ini mendapat nutrisi dari kapiler koroid (Guyton, 1997).

II.2 Fisiologi Retina
Retina adalah jaringan paling komplek di mata. Untuk melihat, mata harus berfungsi sebagai suatu alat optis, sebagai suatu reseptor kompleks, dan sebagai suatu transducer yang efektif. Sel-sel batang dan kerucut dilapisan fotoreseptor mampu mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf retina melalui saraf optikus dan akhirnya ke kortek penglihatan. Makula bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan yang terbaik dan untuk penglihatan warna, dan sebagian besar selnya adalah sel kerucut. Di fovea sentralis, terdapat hubungan hampir 1 : 1 antara fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya, dan serat saraf yang keluar, dan hal ini menjamin penglihatan yang paling tajam. Di retina perifer, banyak fotoreseptor dihubungkan ke sel ganglion yang sama, dan diperlukan sistem pemancar yang lebih komplek. Akibat dari susunan seperti itu adalah bahwa makula terutama digunakan untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan fotopik) sedangkan bagian retina lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang, digunakan terutama untuk penglihatan perifer dan malam atau skotopik (Hardy, 2000).
Fotoreseptor kerucut dan batang terletak di lapisan terluar yang avaskular pada retina sensorik dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang mencetuskan proses penglihatan. Setiap sel fotoreseptor kerucut mengandung rodopsin, yang merupakan suatu pigmen penglihatan fotosensitif yang terbentuk sewaktu molekul protein opsin bergabung dengan 11-sis-retinal. Sewaktu foton cahaya diserap oleh rodopsin, 11-sis-retinal segera mengalami isomerisasi menjadi bentuk all-trans. Rodopsin adalah suatu glikolipid membran yang separuh terbenam dilempeng membran lapis ganda pada segmen paling luar fotoreseptor. Penyerapan cahaya puncak oleh rodopsin terjadi pada panjang gelombang sekitar 500 nm, yang terletak didaerah biru-hijau pada spektrum cahaya. Penelitian-penelitian sensitivitas spektrum fotopigmen kerucut memperlihatkan puncak penyerapan panjang gelombang di 445, 535, dan 570 nm masing-masing untuk sel kerucut peka warna biru, peka warna hijau, dan peka warna merah. Fotopigmen sel kerucut terdiri dari 11-cis-retinal yang terikat ke berbagai protein opsin.
Penglihatan skotopik seluruhnya diperantarai oleh fotoreseptor sel batang. Pada bentuk penglihatan adaptasi gelap ini, terlihat bermacam-macam nuansa abu-abu, tetapi warna tidak dapat dibedakan. Sewaktu retina telah beradaptasi penuh terhadap cahaya, sensitivitas spektral retina bergeser dari puncak dominasi rodopsin 500 nm ke sekitar 560 nm, dan muncul sensasi warna. Suatu benda akan berwarna apabila benda tersebut mengandung fotopigmen yang menyerap panjang-panjang gelombang tertentu dan secara selektif memantulkan atau menyalurkan panjang-panjang gelombang tertentu di dalam spektrum sinar tampak (400-700nm). Penglihatan siang hari terutama diperantarai oleh fotoreseptor kerucut, sore hari oleh kombinasi sel kerucut dan batang, dan penglihatan malam oleh fotoreseptor batang (Guyton, 1997).
Menurut Wijana (1993), terdiri dari :
§  Kerucut : gunanya untuk photoptic vision, yaitu melihat warna, cahaya dengan intensitas tinggi dan  penglihatan  sentral  (ketajaman  penglihatan).
§  Batang : gunanya untuk scotoptic vision, yaitu untuk melihat cahaya dengan intensitas rendah, tidak dapat melihat warna, untuk penglihatan perifer dan orientasi ruangan.
Didalam sel kerucut terdapat 3 macam pigmen, yang masing-masing peka terhadap sinar merah, hijau, biru. Pigmen yang peka terhadap sinar merah, spektrum absorbsinya luas, dengan maksimum absorbsi 575 mA. Pigmen yang peka terhadap sinar hijau mempunyai frekuensi absorbsi maksimal 540 mA, sedang pigmen yang peka terhadap sinar biru, frekuensi absorbsi maksimalnya 430 mA. Daerah spektrum ini saling melingkupi.
Penglihatan warna menurut Ilyas (2002), terdiri atas :
§  Warna primer yang utama pada pigmen sel kerucut adalah merah, hijau, dan            biru.
§  Warna komplemen ialah warna yang bila dicampur dengan warna primer    akan berwarna putih.

II.3 Definisi
Buta warna dikenal berdasarkan istilah Yunani protos (pertama), deutros (kedua) dan tritos (ketiga) yang pada warna 1. merah, 2. hijau, 3. biru (Ilyas, 2002). Buta warna adalah ketidakmampuan mata untuk membedakan sebagian atau seluruh warna (Ilyas, 2003).
Menurut Crowin (2001), adalah suatu gangguan genetik terkait seks yang disebabkan oleh defisiensi salah satu dari ketiga fotopigmen.

II.4 Prevalensi Buta Warna
Buta warna umumnya dianggap lebih banyak terdapat pada pria daripada wanita dengan perbandingan 20 : 1 (Ilyas, 2003).
Hampir 5% laki-laki di negara barat menderita buta warna yang diturunkan, lebih sering terdapat pada laki-laki dibanding perempuan. Mungkin pula disebabkan karena tidak terlatih untuk melihat warna (Wijana, 1993).
Di Amerika serikat kira-kira 8% dari penduduk laki-laki yang menderita buta warna, sedang wanita yang menderita buta warna hanya 0,5%, di RRC sekitar 6% dari penduduk laki-laki buta warna, sedangkan di Indonesia kira-kira 3,5% dari penduduk laki-laki yang buta warna dan data untuk penderita buta warna pada perempuan belum ada (Suryo, 1986).

II.5 Klasifikasi Buta Warna
Klasifikasi buta warna menurut Wijana (1993), adalah:
I.    Tipe trikromat       :          
-    orang normal
-    protanomali : kekurangan dalam pigmen  merah
-    deuteranomali : kekurangan dalam  pigmen hijau
-    tritanomalia : kekurangan dalam pigmen biru.
II.  Tipe dikromat                  :
-    protanopia : tidak terdapat pigmen merah sama sekali
-    deuteranopia : tidak terdapat pigmen hijau sama sekali
-    tritanopia : tidak terdapat pigmen biru sama sekali.
III. Tipe monokromat            :
-    hanya terdapat satu macam pigmen.
IV. Tipe akromatopsia           :
-    tidak terdapat pigmen sama sekali
-    tidak dapat melihat warna sama sekali.
Penderita trikromat anomalia, kurang jelas melihat bagian spektrum, sesuai dengan warna pigmen yang kurang. Dalam menyesuaikan warna dengan kesannya, orang protanomalia lebih banyak menggunakan warna merah dari pada orang yang normal, orang deuteranomalia lebih banyak menggunakan warna hijau, sedang pada tritanomalia lebih banyak menggunakan warna biru. Penderita proatanopia tidak dapat melihat warna merah, deuteranopia tidak dapat melihat warna hijau, sedang tritanopia tidak dapat melihat warna biru sama sekali. Penderita akromatopsia, tidak dapat melihat warna sama sekali, semua warna tampak kelabu. Sedang bagi orang yang monokromat, dunia hanya terdiri dari satu warna, hanya berbeda dalam intensitas, lebih gelap atau lebih terang.
Menurut Ilyas (2002), dibagi menjadi :
1.      Trikromat yaitu keadaan pasien yang mempunyai 3 pigmen kerucut yang mengatur fungsi penglihatan.
Pasien buta warna dapat melihat berbagai warna akan tetapi dengan interpretasi berbeda daripada normal dan yang paling ditemukan adalah :
-          Trikromat anomali, dimana pasien mempunyai ketiga pigmen kerucut akan tetapi satu tidak normal, pada anomali ini perbandingan merah hijau yang dipilih pada anomaloskop berbeda dengan orang normal.
-          Deuteranomali dengan cacat pada hijau sehingga diperlukan lebih banyak hijau, karena terjadi gangguan lebih banyak pada warna hijau.
-          Protanomali, dimana diperlukan lebih banyak merah untuk menggabung menjadi kuning baku pada anomaloskop, yang pada pasien terdapat buta berat terhadap warna hijau merah dimana merah lebih banyak terganggu.
Protanomali dan deuteranomali diturunkan X linked dan di Amerika terdapat pada 5 % anak laki-laki.
Tritanomali, merupakan cacat pada melihat warna biru yang diturunkan secara dominan pada 0,1 % pasien.
Bentuk keempat apa yang disebut akromatopsia atau buta warna total, dimana seseorang hanya dapat membedakan warna dalam bentuk hitam putih saja.
2.      Dikromat pasien yang mempunyai hanya 2 pigmen kerucut dan mengakibatkan sukar membedakan warna tertentu.
·         Protanopia, keadaan yang paling sering ditemukan dengan cacat pada warna merah hijau.
·         Deuteranopia, kurang pigmen hijau.
·         Tritanopia, dimana terdapat kesukaran membedakan warna merah dan kuning.
3.      Monokromat atau akromatopsia dimana hanya terdapat satu jenis kerucut, yang sering mengeluh fotofobia, tajam penglihatan yang kurang.
Buta warna dapat ditemukan pada penyakit makula, saraf optik, sedang pada kelainan retina ditemukan cacat relatif penglihatan warna biru dan kuning, sedang kelainan saraf optik memberikan kelainan melihat warna merah dan hijau.
Bentuk buta warna dikenal juga menurut Hardy (2000), Monokromatisme rod (batang) atau disebut juga suatu akromatopsia dimana terdapat kelainan pada kedua mata bersama dengan keadaan lain seperti tajam penglihatan kurang dari 6/60, nistagmus, fotofobia, skotoma sentral, dan mungkin terjadi akibat kalainan sentral sehingga terdapat gangguan penglihatan warna total, hemeralopia (buta siang) tidak terdapat buta senja/ malam, dengan kelainan refraksi tinggi.Pada pemeriksaan dapat terlihat adanya makula dengan pigmen abnormal. Monokromatisme cone (kerucut),  dimana terdapat hanya sedikit cacat, tajam penglihatan normal, tidak terdapat nistagmus.
 Menurut Ghozi (1978), klasifikasi buta warna ada beberapa macam, tetapi pada dasarnya dibedakan bentuk bawaan lahir dan sesudah lahir. Bentuk yang terjadi sesudah lahir biasanya didahului oleh penyakit yang menimbulkan kelainan pada saraf mata, retina dan diikuti defek penglihatan yang serius. Disamping itu masih ada penyebab lain, yaitu keracunan. Menurut Yamamoto (1985), obat-obatan yang dapat menyebabkan butawarna adalah preparat digitalis, trimethadione, chlorothiazide diuretics, dan cannabis. Selain itu etambutol juga dapat memberikan efek samping buta warna (buta warna hijau), Keadaan yang demikian ini sudah menyebabkan kegagalan pemeriksaan, bernilai hasil jelek, untuk selanjutnya calon gagal.

 Menurut Al Ghozie (2002), dari bermacam-macam buta warna yang terbanyak adalah bentuk kongenital yang mengenai warna merah dan hijau. Oleh karenanya penyelidikan dan penelitian buta warna ditujukan kepada buta warna merah hijau, yang disebut juga Daltonisme, sesuai dengan ahli kimia John Dalton yang menderita buta warna merah-hijau. Buta warna kongenital biasanya berhubungan dengan kromosom X yang berhubungan dengan buta merah-hijau. Buta merah hijau kadang-kadang merupakan syarat tidak dapatnya mengerjakan pekerjaan tertentu seperti dipabrik cat, konveksi, kapten kapal, dan pengawas lalu-lintas lainnya. Dalam peraturan lalu-lintas sudah dicoba menyusun keadaan baku seperti letak merah di atas hijau.
Pada buta warna yang diturunkan ia tidak bersifat progesif dan tidak dapat diobati (Ilyas, 2002).
Menurut Guyton (1997), buta Warna merupakan kelainan terkait sex dan disebabkan oleh tidak adanya gen warna yang sesuai di dalam kromosom X. Tidak adanya gen untuk warna ini terkait resesif, sehingga gejala buta warna tidak akan tampak selama kromosom X yang lainnya dapat membawa gen yang diperlukan untuk perkembangan sel kerucut penerima warna yang sesuai. Oleh karena pria hanya mempunyai satu kromosom X saja, maka dalam satu kromosom ini harus ada ketiga gen warna tersebut bila ia tidak menderita buta warna. Pada hampir 1 dari setiap 50 kali, kromosom X akan kekurangan gen warna merah, kira-kira 1 dari setiap 16, kromosom X akan kekurangan gen warna hijau, dan jarang sekali, kromosom X akan kekurangan gen biru. Oleh karena itu, ini berarti bahwa, 2 persen dari semua pria menderita buta warna merah (protanopi) dan 6 persen adalah buta warna hijau (deuteranopi), dan suatu keseluruhan kira-kira 8 persen menderita buta warna merah-hijau. Oleh karena wanita mempunyai dua buah kromosom X, maka kelainan buta warna merah-hijau jarang didapati pada wanita.
Menurut Vaughan (1999), banyak gen pada kromosom X tidak ditandingi oleh gen di kromosom Y. Kelainan gen-gen ini menyebabkan penyakit pada pria, sedangkan pada wanita gen resesif abnormal pada kromosom X ditutupi oleh alel normalnya. Dengan demikian, hampir semua penyakit terkait-X bermanifestasi pada pria, sedangkan penyakit diwariskanmelalui wanita. Pria dan kakek dari pihak ibunya terkena, sedangkan wanita di antaranya adalah pembawa.
Kriteria untuk pewarisan terkait-X adalah (1) hanya pria yang terkena, (2) bahwa penyakit ditransmisikan melalui wanita pembawa sifat ke separuh anak laki-lakinya, dan (3) tidak terdapat transmisi ayah ke anak laki-lainya.
Di antara penyakit-penyakit mata dengan pewarisan terkait-X adalah buta warna (Gambar 1), albinisme okular, dan salah satu jenis retinitis pigmentosa.

                               


















 






                                        Wanita                                                         Wanita     Wanita
                                        Pembawa                                                     pembawa Normal







                                Pria

                                Wanita

                                Anak yang terkena

                                Jumlah anak normal lainnya


Gambar 1. Silsilah buta warna merah-hijau (pewarisan resesif terkait-X)
          (Vaughan,1999)
                                   

II.6 Pemeriksaan Buta Warna
Menurut Ilyas (2002), pemeriksaan buta warna dilakukan dengan uji anomaloskop, uji Farnsworth 100 hue, uji Holmgren, dan uji Ishihara.

Uji Ishihara
Merupakan uji untuk mengetahui adanya defek penglihatan warna, didasarkan pada  angka atau pola yang ada pada kartu dengan berbagai ragam warna. Merupakan pemeriksaan untuk penglihatan warna dengan memakai satu seri titik bola kecil dengan warna dan besar berbeda (gambar pseudoisokromatik), sehingga dalam keseluruhan terlihat warna pucat dan menyukarkan pasien dengan kelainan penglihatan warna melihatnya. Penderita buta warna atau dengan kelainan penglihatan warna dapat melihat sebagian ataupun sama sekali tidak dapat melihat gambaran yang diperlihatkan. Pada pemeriksaan pasien diminta melihat dan mengenali tanda gambar yang diperlihatkan dalam waktu 10 detik. Penyakit tertentu dapat menyebabkan gangguan penglihatan warna seperti buta merah dan hijau pada atrofi saraf optik, optik neuropati toksik dengan pengecualian neuropati iskemia, glaukoma dengan atrofi optik yang memberikan gangguan penglihatan biru-kuning.
Menurut Ghozi (1985), buku tes Ishihara ada 2 macam yaitu terdiri dari 16 halaman dan 35 halaman. Kedua macam buku tes Ishihara tersebut mempunyai petunjuk yang agak berbeda.
Menurut Wijana (1993),  pemeriksaan buta warna dapat dilakukan dengan berbagai cara, yang banyak dipergunakan di Indonesia adalah metode pseudo isokromatik, dimana dipakai buku berwarna Ishihara, karena praktis, dapat digunakan dalam pemeriksaan masal.
Pemeriksaan harus sesuai dengan petunjuknya :
a.       Pemeriksaan dilakukan dalam ruangan dengan penerangan sinar matahari tidak langsung atau bila terpaksa menggunakan cahaya listrik, maka cahaya tersebut harus diatur menyerupai sinar matahari (lampu neon)
b.      Gambar diletakkan pada jarak 75 cm dari orang yang diperiksa
c.       Setiap gambar harus dijawab dalam waktu tidak boleh dari 3 detik
d.      Setiap mata diperiksa tersendiri.

Analisa hasil test
Menurut Ghozi (1985), bila digunakan Buku test 16 halaman pada setiap halaman tertera nomor yang sangat kecil agar tak dapat dilihat oleh orang yang diperiksa. Nomor tersebut terletak di bawah gambar tes buta warna.
No.1          : Orang normal maupun buta warna dapat membaca angka 12 (dua belas).
No. 2-5      :  Orang normal membaca angka 8 (No. 2), 29 (No. 3), 5 (No. 4), 74 (No. 5), sedang pada orang buta warna membaca angka 3 (No. 2), 70 (No. 3), 2 (No. 4), 21 (No. 5). Buta warna total tak dapat membaca semua angka.
No. 6-7      : Orang normal membaca angka 45 (No. 6), dan 5 (No.7), sedang pada sebagian defisiensi warna tak dapat membaca angka atau membaca salah.
No. 8-9      :  Sebagian besar orang buta warna membaca angka 5 (No. 8) dan 45 (No. 9), sedang sebagian besar orang normal tak melihat adanya angka.
No. 10       :  Orang normal membaca angka 26. Pada protanomalia ekstrim dan protanopia hanya membaca angka 6, sedang pada protanomaliaringan tampak 26 tetapi angka 6 lebih jelas. Pada deuteranomalia ekstrim dan deuteranopia hanya membaca angka 2, sedang pada deuteranomalia ringan tampak 26 tetapi angka 2 lebih jelas.
Penilaian pembacaan gambar No.1 sampai dengan No.9 menentukan buta warna atau tidak. Bila 7 (tujuh) gambar atau lebih dibaca benar, berarti tidak buta warna. Bila hanya 5 gambar atau kurang yang dibaca benar, dianggap buta warna.
Gambar No.10 menunjukkan jenis buta warnanya, apakah protanopia, protanomalia, deuteranopia atau deuteranomalia.
Gambar No. 11-16 berupa alur warna tertentu yang berkelok-kelok di antara warna-warna lain. Orang yang diperiksa diperintahkan untuk mengikuti alur tadi, dimulai dari X kemudian sampai pada X lain yangberada di sampingnya. Orang normal dengan mudah dapat mengikuti alur, sedang orang buta warna akan mendapatkan kesulitan atau tidak dapat. Pemeriksaan dengan alur warna ini untuk memperkuat pemeriksaan jenis buta warna (Ghozi, 1985).
Sebaiknya orang yang buta warna mengetahui dan menyadari keadaannya sedini-dininya untuk menghindari kesulitan-kesulitan yang timbul dalam meneruskan pendidikannya atau dalam mencari lapangan pekerjaan yang sesuai, dengan jalan memeriksakan dirinya.
Buta warna selain yang diturunkan adapula yang didapat, akibat kerusakan pada makula, atrofi peripapiler, berupa akromatopsia disertai dengan ketajaman penglihatan yang buruk.
Menurut Guyton (1997), metode yang dapat dipakai untuk menentukan dengan cepat suatu kelainan buta warna yang didasarkan dengan penggunaan kartu bertitik-titik. Kartu ini disusun dengan menyatukan titik-titik yang mempunyai bermacam-macam warna. Pada kartu yang atas, orang normal akan menyebutkan angka “74”, sedangkan penderita buta warna merah-hijau akan menyebutkan “21”. Pada kartu yang bawah, orang normal akan menyebutkan angka “42” sedangkan penderita protanopi warna merah akan menyebutkan angka “2”, dan penderita deuteranopi warna hijau akan menyebutkan angka “4”. Seperti terlihat pada Gambar 2, orang normal meyebutkan angka “5”, sedangkan penderita buta warna merah-hijau akan menyebutkan “2”.

Gambar 2. Ishihara Test for Color Blindness (Terrace, 2002)
           






BAB III
KESIMPULAN

Buta warna adalah suatu gangguan genetik terkait sex yang disebabkan oleh defisiensi salah satu dari ketiga foto pigmen. Yang terdiri dari sinar-sinar merah, hijau dan biru. Buta warna umumnya lebih banyak terdapat pada pria daripada wanita.
Klasifikasi buta warna terdiri atas : 1). Tipe Trikromat; 2) Tipe Dikromat; 3). Tipe monokromat; 4). Tipe Akromatopsia. Bentuk buta warna dikenal juga sebagai Monokromatisme Rod (Batang) dan Monokromatisme Cone (Kerucut).
Pemeriksaan buta warna dilakukan dengan Tes Ishihara.











DAFTAR PUSTAKA



Crowin, J.E. 2001 Buku Saku Patofisiologi, cetakan I, EGC, Jakarta: 215

Ghozi, A. 1985 Diagnosis Praktis Buta Warna, Majalah Dokter Keluarga, vol.4, no. 12, 592-594

Ghozi, M. 1978 Prevalensi buta Warna Pada Calon Mahasiswa Yang Masuk Universitas Gadjah Mada, Berkala Ilmu Kedokteran, jilid X, no. 4, 185-189

Ghozie, M.A. 2002 Handbook of Ophtalmologi, cetakan I, Fakultas kedokteran    Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta: 12-13

Guyton, A.C., & Hall, J.E. 1997 Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 9thed, cetakan I, EGC, Jakarta: 795-812

Hardy, R.A. 2002 Retina dan Tumor Intraokuler, dalam Vaughan, D.G. Asbury, T., dan   Eva, P.R. (eds) Oftalmologi Umum, 14thed, cetakan I, Jakarta: 197-219

Ilyas, S. 2002 Ilmu Penyakit Mata, 2nded, cetakan I, Fakultas Kedokteran Universitas        Indonesia, Jakarta: 83-88

Ilyas, S. 2003 Sari Ilmu Penyakit Mata, cetakan III, Fakultas Kedokteran Universitas        Indonesia, Jakarta: 103-104

Suryo 1986 Genetika Manusia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta

Terrace L. Waggoner, O.D., 2002 Ishihara Test for Color Blindness,              www.toledo-bend.com/colorblind/Ishihara.html

Vaughan, D., Asbury, T., Eva, P., & Riordan, P.R. 1999 General Ophthalmology, 15th ed., Lange Medical Publications, California: 339-344

Wijana, N. 1993 Ilmu Penyakit Mata, cetakan VI, Abadi Tegal, Jakarta: 154-157

Yamamoto, G.K. 1985 Ocular Drug Toxicity In Langston, D.P., (ed), Manual of Ocular Diagnosis and Therapy, Little, Brown, and Company, USA: 409-411

Zen, N.F., Marwoto, J., Gajahnata, K.H.O. 2003, Pedigree Kasus Buta Warna Pada Mahasiswa Baru Universitas Sriwijaya Tahun 1997/1998, Majalah Kedokteran Sriwijaya, Th.35. No.1, Palembang: 459-462


Tidak ada komentar:

Posting Komentar