BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Permasalahan
buta warna masih belum begitu banyak diketahui oleh orang awam, demikian pula
permasalahan-permasalahan yang akan dihadapi oleh individu yang menderita buta
warna tersebut. Hal ini karena individu yang menderita buta warna tersebut
kadang-kadang tidak mengetahui bahwa menderita buta warna, sebab tidak adanya
gejala-gejala fisik yang dirasakan oleh si penderita, disamping itu bidang
studi tertentu ada yang membutuhkan kepekaan individu terhadap persepsi warna,
sehingga individu yang buta warna akan menghadapi beberapa kendala untuk
memasuki bidang tersebut. Demikian pula jenis atau bentuk pekerjaan tertentu
ada yang membutuhkan kepekaan terhadap persepsi warna misalnya sopir, masinis,
pilot, dan pekerja di bidang elektronika. Pada peralatan elektronika didapatkan
banyak warna kabel-kabel dari alat-alat tersebut, dimana masing-masing warna
mempunyai fungsi yang berlainan. Apabila pekerjaaan seperti contoh diatas,
dikerjakan oleh individu yang menderita buta warna maka kemungkinan besar akan
berakibat fatal. Selain itu kebanyakan dimasyarakat kita oleh karena pengaruh
adat, sering terjadi perkawinan antar keluarga, padahal penyakit buta warna ini
adalah penyakit genetik yang diturunkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Mnurut Hukum Mendel kerugian-kerugian genetika dari perkawinan
antar keluarga adalah sangat besar (Zen et
al., 2003).
Buta warna biasanya adalah suatu gangguan genetik terkait-sex yang
disebabkan oleh defisiensi salah satu dari ketiga fotopigmen. Pengidap buta warna hanya melihat warna yang terbentuk oleh
aktivitas relatif dua jenis sel kerucut lainnya. Buta warna diwariskan melalui
kromosom X sehingga biasanya mengenai pria. Pada kasus yang ekstrim, dapat
terjadi defisiensi lebih dari satu kerucut warna (Crowin, 2001).
Sel kerucut pada retina mempunyai 3 macam pigmen yang
masing-masing hanya peka terhadap sinar-sinar merah, hijau dan biru. Pigmen
kerucut yang peka terhadap sinar merah mempunyai spektrum absorbsi yang luas
dengan absorbsi maksimum berfrekuensi 575 mA : sedangkan pigmen kerucut yang
peka terhadap sinar hijau mempunyai frekuensi absorbsi maksimal 540 mA dan
pigmen kerucut yang peka terhadap sinar biru mempunyai absorbsi maksimum 430
mA. Ketiga spektrum warna ini mempunyai daerah yang saling melingkupi.
Seseorang yang mampu membedakan ketiga macam warna ini disebut trikromat.
Sedangkan yang hanya mampu membedakan 2 komponen warna disebut dikromat dan
pada orang ini terdapat kerusakan pada 1 jenis pigmen kerucut. Kerusakan pada 2
pigmen kerucut menyebabkan orang hanya mampu melihat satu komponen warna, hal
ini disebut monokromat. Pada keadaan dimana terdapat kerusakan pada ketiga
pigmen kerucut, orang hanya dapat mengenal warna hitam dan putih dalam berbagai
derajat, hal ini disebut akromatopsia. Pada dikromat, apabila kerusakan
terdapat pada komponen merah disebut protan, bila mengenai komponen hijau
disebut deutran dan bila mengenai komponen biru disebut tritan. Kerusakan yang
total disebut sebagai anopia sedangkan kerusakan sebagian disebut anomali. Pada
akromatopsia dapat dijumpai rod
monocromatism dimana ketidakmampuan melihat warna disertai juga dengan
gangguan penglihatan berupa kemunduran visus, adanya fotopobia, skotoma sentral
dan nistagmus, dan kemungkinan besar merupakan suatu kelainan saraf. Kelainan
ini pada akromatopsi disebut cone
monochromatism dimana hanya terdapat ketidakmampuan melihat warna. Buta
warna umumnya dianggap lebih banyak terdapat pada pria daripada wanita dengan
perbandingan 20 : 1. Pemeriksaan buta warna
dilakukan dengan tes Ishihara (Ilyas, 2003).
1.2
Tujuan
Untuk
mengetahui definisi, prevalensi, klasifikasi, dan pemeriksaan dari buta warna.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Anatomi Retina
Retina manusia merupakan suatu
struktur yang sangat terorganisir, yang terdiri dari lapisan-lapisan badan sel
dan prosesus sinaptik. Walaupun ukurannya kompak dan tampak sederhana apabila
dibandingkan dengan struktur saraf misalnya kortek serebrum, retina memiliki
daya pengolahan yang sangat canggih. Pengolahan visual retina diuraikan oleh
otak, persepsi warna, kontras, kedalaman, dan bentuk yang berlangsung di kortek.
Anatomi retina memperlihatkan jenis-jenis sel utama dan lapisan-lapisan
jaringannya. Pembagian retina menjadi lapisan-lapisan yang terdiri dari
kelompok-kelompok sel serupa memungkinkan dokter menghubungkan suatu fungsi
atau gangguan fungsional dengan suatu lapisan atau kelompok sel. Pengolahan informasi
di retina berlangsung dari lapisan fotoreseptor malalui akson sel ganglion
menuju ke saraf optikus dan otak (Hardy, 2000).
Retina merupakan membran yang
tipis, halus dan tidak berwarna, tembus pandang. Yang terlihat merah pada
fundus adalah warna dari koroid. Retina ini terdiri dari macam-macam jaringan,
jaringan saraf dan jaringan pengokoh yang terdiri dari serat-serat Mueller,
membrana limitans interna dan eksterna, sel-sel glia (Guyton, 1997).
Menurut Wijana (1993),
Lapisan-lapisan retina dari dalam keluar terdiri dari :
1.
Membrana limitan interna.
2. Lapisan serabut-serabut saraf (akson dari
sel-sel ganglion).
3.
Lapisan sel-sel ganglion.
4. Lapisan plexiform dalam.
5. Lapisan nuklear dalam (nukleus dari sel
bipoler).
6. Lapisan plexiform
luar
7.
Lapisan nuklear luar (nukleus dari batang dan kerucut).
8.
Membrana limitan eksterna
9.
Lapisan batang dan kerucut
(alat-alat untuk melihat, penerima cahaya).
10.
Lapisan epitel pigmen.
Membrana limitan interna
letaknya berdekatan dengan membrana hyaloidea dari badan kaca. Pada kehidupan
embrio, dari optik vesikel terbentuk optic
cup, dimana lapisan luar membentuk lapisan epitel pigmen dan lapisan dalam
membentuk lapisan retina lainnya. Diantara kedua lapisan ini terdapat celah
potensial. Bila terjadi robekan diretina, maka cairan badan kaca akan melalui
robekan ini, masuk kedalam celah potensial dan melepaskan lapisan batang dan
kerucut dari lapisan epitel pigmen, maka terjadilah ablasi retina. Keadaan ini
tidak boleh terlalu lama berlangsung, oleh karena lapisan batang dan kerucut mendapat
makanannya dari kapiler koroid, sedang bagian-bagian lain dari retina mendapat
nutrisi dari pembuluh darah retina sentral, yang cabang-cabangnya terdapat
didalam lapisan urat saraf.
Retina menjalar kedepan dan
makin kedepan, lapisannya berubah makin tipis dan berakhir diora serata, dimana
hanya didapatkan satu lapisan nuklear. Makin keperifer makin banyak batang
daripada kerucut, batang-batang itu telah mengadakan modifikasi menjadi
tipis-tipis. Pada orang tua dan pada penderita miopia tinggi, diora serata
sering didapatkan degenerasi kistoid, yang bila pecah dapat menimbulkan ablasi
retina. Epitel pigmen dari retina kemudian meneruskan diri menjadi epitel
pigmen yang menutupi badan siliar dan iris. Dimana aksis mata memotong retina,
terletak di makula lutea. Ditengah-tengahnya terdapat lekukan dari fovea
sentralis. Pada funduskopi, tempat makula lutea tampak lebih merah dari
sekitarnya dan pada tempat fovea sentralis seolah-olah ada cahaya, yang disebut
refleks fovea, yang disebabkan lekukan pada fovea sentralis (Wijana,1993).
Sedangkan menurut Hardy
(2000), struktur makula lutea terdiri dari :
1.
tidak ada serat saraf
2. sel-sel ganglion sangat banyak
dipinggir-pinggirnya, tetapi dimakula sendiri tidak ada
3. lebih banyak kerucut daripada batang dan
telah bermodifikasi menjadi tipis-tipis. Difovea sentralis, hanya terdapat
kerucut.
Nasal dari makula lutea,
kira-kira pada jarak 2 diameter papil terdapat papila nervi optisi, yaitu
tempat dimana N.II menembus sklera. Papil ini hanya terdiri dari serabut saraf,
tidak mengandung batang atau kerucut sama sekali. Oleh karena itu, tidak dapat
melihat sama sekali dan disebut titik buta (skotoma fisiologis, blindspot). Bentuk papil lonjong,
berbatas tegas, pinggirnya agak lebih tinggi dari retina sekitarnya. Bagian
tengahnya ada lekukan, yang tampak agak pucat, besarnya 1/3 diameter papil,
yang disebut exkavasi fisiologis. Dari tempat ini keluarlah arteri dan vena
retina sentral yang kemudian bercabang-cabang ketemporal dan kenasal, juga
keatas dan kebawah. Arteri ini merupakan arteri terminal dan tidak ada
anastomosis. Kadang-kadang didapat anastomosis antara pembuluh darah A.siliaris
dan A.retina sentral, yang disebut A.silioretina yang biasanya terletak
didaerah makula. Bila ada
emboli yang masuk kedalam A.retina sentral, orang dengan mendadak menjadi buta.
Tetapi bila terdapat A.silioretina fungsi dari makula tidak terganggu. Arteri :
diameternya lebih kecil, dengan perbandingan A : V = 2 : 3. Warnanya lebih
merah, bentuknya lebih lurus-lurus, ditengah-tengahnya terdapat refleks cahaya.
A.retina sentral mengurus makanan lapisan-lapisan retina sampai dengan membrana
limitans eksterna. Didaerah makula lutea, yang terutama terdiri dari batang dan
kerucut tidak terdapat cabang dari A.retina sentral, oleh karena daerah ini mendapat
nutrisi dari kapiler koroid (Guyton, 1997).
II.2 Fisiologi Retina
Retina adalah jaringan paling
komplek di mata. Untuk melihat, mata harus berfungsi sebagai suatu alat optis,
sebagai suatu reseptor kompleks, dan sebagai suatu transducer yang efektif. Sel-sel batang dan kerucut dilapisan
fotoreseptor mampu mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf yang
dihantarkan oleh lapisan serat saraf retina melalui saraf optikus dan akhirnya
ke kortek penglihatan. Makula bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan
yang terbaik dan untuk penglihatan warna, dan sebagian besar selnya adalah sel
kerucut. Di fovea sentralis, terdapat hubungan hampir 1 : 1 antara fotoreseptor
kerucut, sel ganglionnya, dan serat saraf yang keluar, dan hal ini menjamin
penglihatan yang paling tajam. Di retina perifer, banyak fotoreseptor
dihubungkan ke sel ganglion yang sama, dan diperlukan sistem pemancar yang
lebih komplek. Akibat dari susunan seperti itu adalah bahwa makula terutama
digunakan untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan fotopik) sedangkan
bagian retina lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang,
digunakan terutama untuk penglihatan perifer dan malam atau skotopik (Hardy,
2000).
Fotoreseptor kerucut dan
batang terletak di lapisan terluar yang avaskular pada retina sensorik dan
merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang mencetuskan proses
penglihatan. Setiap sel fotoreseptor kerucut mengandung rodopsin, yang
merupakan suatu pigmen penglihatan fotosensitif yang terbentuk sewaktu molekul
protein opsin bergabung dengan 11-sis-retinal.
Sewaktu foton cahaya diserap oleh rodopsin, 11-sis-retinal segera mengalami isomerisasi menjadi bentuk all-trans. Rodopsin adalah suatu glikolipid
membran yang separuh terbenam dilempeng membran lapis ganda pada segmen paling
luar fotoreseptor. Penyerapan cahaya puncak oleh rodopsin terjadi pada panjang
gelombang sekitar 500 nm, yang terletak didaerah biru-hijau pada spektrum
cahaya. Penelitian-penelitian sensitivitas spektrum fotopigmen kerucut memperlihatkan
puncak penyerapan panjang gelombang di 445, 535, dan 570 nm masing-masing untuk
sel kerucut peka warna biru, peka warna hijau, dan peka warna merah. Fotopigmen sel kerucut terdiri dari 11-cis-retinal yang terikat ke berbagai protein opsin.
Penglihatan skotopik seluruhnya diperantarai oleh
fotoreseptor sel batang. Pada bentuk penglihatan adaptasi gelap ini, terlihat
bermacam-macam nuansa abu-abu, tetapi warna tidak dapat dibedakan. Sewaktu
retina telah beradaptasi penuh terhadap cahaya, sensitivitas spektral retina
bergeser dari puncak dominasi rodopsin 500 nm ke sekitar 560 nm, dan muncul
sensasi warna. Suatu benda akan berwarna apabila benda tersebut mengandung
fotopigmen yang menyerap panjang-panjang gelombang tertentu dan secara selektif
memantulkan atau menyalurkan panjang-panjang gelombang tertentu di dalam spektrum
sinar tampak (400-700nm). Penglihatan siang hari terutama diperantarai oleh
fotoreseptor kerucut, sore hari oleh kombinasi sel kerucut dan batang, dan
penglihatan malam oleh fotoreseptor batang (Guyton, 1997).
Menurut Wijana (1993), terdiri dari :
§ Kerucut : gunanya untuk photoptic
vision, yaitu melihat warna, cahaya dengan intensitas tinggi dan penglihatan
sentral (ketajaman penglihatan).
§ Batang : gunanya untuk scotoptic
vision, yaitu untuk melihat cahaya dengan intensitas rendah, tidak dapat
melihat warna, untuk penglihatan perifer dan orientasi ruangan.
Didalam sel kerucut terdapat 3 macam pigmen, yang
masing-masing peka terhadap sinar merah, hijau, biru. Pigmen yang peka terhadap
sinar merah, spektrum absorbsinya luas, dengan maksimum absorbsi 575 mA. Pigmen
yang peka terhadap sinar hijau mempunyai frekuensi absorbsi maksimal 540 mA,
sedang pigmen yang peka terhadap sinar biru, frekuensi absorbsi maksimalnya 430
mA. Daerah spektrum ini saling melingkupi.
Penglihatan warna menurut
Ilyas (2002), terdiri atas :
§ Warna primer yang utama pada pigmen sel kerucut adalah merah, hijau, dan biru.
§ Warna komplemen ialah warna yang bila dicampur dengan warna primer akan berwarna putih.
II.3 Definisi
Buta warna dikenal berdasarkan
istilah Yunani protos (pertama), deutros (kedua) dan tritos (ketiga) yang pada
warna 1. merah, 2. hijau, 3. biru (Ilyas, 2002). Buta warna adalah
ketidakmampuan mata untuk membedakan sebagian atau seluruh warna (Ilyas, 2003).
Menurut Crowin (2001), adalah
suatu gangguan genetik terkait seks yang disebabkan oleh defisiensi salah satu
dari ketiga fotopigmen.
II.4 Prevalensi Buta
Warna
Buta warna umumnya dianggap lebih banyak terdapat pada
pria daripada wanita dengan perbandingan 20 : 1 (Ilyas, 2003).
Hampir 5% laki-laki di negara barat menderita buta warna
yang diturunkan, lebih sering terdapat pada laki-laki dibanding perempuan.
Mungkin pula disebabkan karena tidak terlatih untuk melihat warna (Wijana,
1993).
Di Amerika serikat kira-kira 8% dari penduduk laki-laki
yang menderita buta warna, sedang wanita yang menderita buta warna hanya 0,5%,
di RRC sekitar 6% dari penduduk laki-laki buta warna, sedangkan di Indonesia
kira-kira 3,5% dari penduduk laki-laki yang buta warna dan data untuk penderita
buta warna pada perempuan belum ada (Suryo, 1986).
II.5 Klasifikasi Buta
Warna
Klasifikasi
buta warna menurut Wijana (1993), adalah:
I. Tipe trikromat :
- orang normal
- protanomali : kekurangan dalam pigmen merah
- deuteranomali : kekurangan dalam pigmen
hijau
- tritanomalia : kekurangan dalam pigmen
biru.
II. Tipe dikromat :
-
protanopia : tidak terdapat
pigmen merah sama sekali
- deuteranopia : tidak terdapat pigmen hijau
sama sekali
-
tritanopia : tidak terdapat pigmen biru sama sekali.
III. Tipe monokromat :
-
hanya terdapat satu macam
pigmen.
IV. Tipe akromatopsia :
-
tidak terdapat pigmen sama
sekali
-
tidak dapat melihat warna sama
sekali.
Penderita trikromat anomalia, kurang jelas melihat
bagian spektrum, sesuai dengan warna pigmen yang kurang. Dalam menyesuaikan
warna dengan kesannya, orang protanomalia lebih banyak menggunakan warna merah
dari pada orang yang normal, orang deuteranomalia lebih banyak menggunakan
warna hijau, sedang pada tritanomalia lebih
banyak menggunakan warna biru. Penderita proatanopia tidak dapat melihat warna
merah, deuteranopia tidak dapat melihat warna hijau, sedang tritanopia tidak dapat melihat warna biru sama
sekali. Penderita
akromatopsia, tidak dapat melihat warna sama sekali, semua warna tampak kelabu.
Sedang bagi orang yang monokromat,
dunia hanya terdiri dari satu warna, hanya berbeda dalam intensitas, lebih
gelap atau lebih terang.
Menurut Ilyas (2002), dibagi menjadi :
1.
Trikromat yaitu keadaan pasien yang mempunyai 3 pigmen kerucut yang mengatur
fungsi penglihatan.
Pasien buta warna dapat melihat
berbagai warna akan tetapi dengan interpretasi berbeda daripada normal dan yang
paling ditemukan adalah :
-
Trikromat anomali, dimana pasien mempunyai ketiga pigmen
kerucut akan tetapi satu tidak normal, pada anomali ini perbandingan merah
hijau yang dipilih pada anomaloskop berbeda dengan orang normal.
-
Deuteranomali dengan cacat pada hijau sehingga
diperlukan lebih banyak hijau, karena terjadi gangguan lebih banyak pada warna
hijau.
-
Protanomali, dimana diperlukan lebih banyak merah untuk menggabung menjadi
kuning baku
pada anomaloskop, yang pada pasien terdapat buta berat terhadap warna hijau
merah dimana merah lebih banyak terganggu.
Protanomali dan deuteranomali diturunkan X linked
dan di Amerika terdapat pada 5 % anak laki-laki.
Tritanomali,
merupakan cacat pada melihat warna biru yang diturunkan secara dominan pada 0,1
% pasien.
Bentuk
keempat apa yang disebut akromatopsia atau
buta warna total, dimana seseorang
hanya dapat membedakan warna dalam bentuk hitam putih saja.
2.
Dikromat pasien yang mempunyai hanya 2 pigmen kerucut dan mengakibatkan
sukar membedakan warna tertentu.
·
Protanopia, keadaan yang paling sering ditemukan dengan cacat pada warna
merah hijau.
·
Deuteranopia, kurang pigmen hijau.
·
Tritanopia, dimana terdapat kesukaran membedakan warna merah dan kuning.
3.
Monokromat atau akromatopsia dimana hanya terdapat satu jenis kerucut, yang
sering mengeluh fotofobia, tajam penglihatan yang kurang.
Buta warna dapat ditemukan pada
penyakit makula, saraf optik, sedang pada kelainan retina ditemukan cacat
relatif penglihatan warna biru dan kuning, sedang kelainan saraf optik
memberikan kelainan melihat warna merah dan hijau.
Bentuk buta warna dikenal juga
menurut Hardy (2000), Monokromatisme rod
(batang) atau disebut juga suatu
akromatopsia dimana terdapat kelainan pada kedua mata bersama dengan keadaan
lain seperti tajam penglihatan kurang dari 6/60, nistagmus, fotofobia, skotoma
sentral, dan mungkin terjadi akibat kalainan sentral sehingga terdapat gangguan
penglihatan warna total, hemeralopia (buta siang) tidak terdapat buta senja/
malam, dengan kelainan refraksi tinggi.Pada pemeriksaan dapat terlihat adanya
makula dengan pigmen abnormal. Monokromatisme cone (kerucut), dimana terdapat hanya sedikit cacat, tajam
penglihatan normal, tidak terdapat nistagmus.
Menurut Ghozi
(1978), klasifikasi buta warna ada beberapa macam, tetapi pada dasarnya
dibedakan bentuk bawaan lahir dan sesudah lahir. Bentuk yang terjadi sesudah
lahir biasanya didahului oleh penyakit yang menimbulkan kelainan pada saraf
mata, retina dan diikuti defek penglihatan yang serius. Disamping itu masih ada
penyebab lain, yaitu keracunan. Menurut Yamamoto (1985), obat-obatan yang dapat
menyebabkan butawarna adalah preparat digitalis, trimethadione, chlorothiazide diuretics, dan cannabis. Selain itu etambutol juga
dapat memberikan efek samping buta warna (buta warna hijau), Keadaan yang demikian
ini sudah menyebabkan kegagalan pemeriksaan, bernilai hasil jelek, untuk
selanjutnya calon gagal.
Menurut Al Ghozie
(2002), dari bermacam-macam buta warna yang terbanyak adalah bentuk kongenital
yang mengenai warna merah dan hijau. Oleh karenanya penyelidikan dan penelitian
buta warna ditujukan kepada buta warna merah hijau, yang disebut juga
Daltonisme, sesuai dengan ahli kimia John
Dalton yang menderita buta warna merah-hijau. Buta warna kongenital
biasanya berhubungan dengan kromosom X yang berhubungan dengan buta
merah-hijau. Buta merah hijau kadang-kadang merupakan syarat tidak dapatnya
mengerjakan pekerjaan tertentu seperti dipabrik cat, konveksi, kapten kapal,
dan pengawas lalu-lintas lainnya. Dalam peraturan lalu-lintas sudah dicoba menyusun keadaan baku seperti
letak merah di atas hijau.
Pada buta warna yang
diturunkan ia tidak bersifat progesif dan tidak dapat diobati (Ilyas, 2002).
Menurut Guyton (1997), buta
Warna merupakan kelainan terkait sex dan disebabkan oleh tidak adanya gen warna
yang sesuai di dalam kromosom X. Tidak adanya gen untuk warna ini terkait
resesif, sehingga gejala buta warna tidak akan tampak selama kromosom X yang
lainnya dapat membawa gen yang diperlukan untuk perkembangan sel kerucut
penerima warna yang sesuai. Oleh karena pria hanya
mempunyai satu kromosom X saja, maka dalam satu kromosom ini harus ada ketiga
gen warna tersebut bila ia tidak menderita buta warna. Pada hampir 1 dari
setiap 50 kali, kromosom X akan kekurangan gen warna merah, kira-kira 1 dari
setiap 16, kromosom X akan kekurangan gen warna hijau, dan jarang sekali,
kromosom X akan kekurangan gen biru. Oleh karena itu, ini berarti bahwa, 2
persen dari semua pria menderita buta warna merah (protanopi) dan 6 persen
adalah buta warna hijau (deuteranopi), dan suatu keseluruhan kira-kira 8 persen
menderita buta warna merah-hijau. Oleh karena wanita mempunyai dua buah kromosom
X, maka kelainan buta warna merah-hijau jarang didapati pada wanita.
Menurut Vaughan (1999), banyak gen pada kromosom X tidak
ditandingi oleh gen di kromosom Y. Kelainan gen-gen ini menyebabkan penyakit
pada pria, sedangkan pada wanita gen resesif abnormal pada kromosom X ditutupi
oleh alel normalnya. Dengan demikian, hampir semua penyakit terkait-X
bermanifestasi pada pria, sedangkan penyakit diwariskanmelalui wanita. Pria dan
kakek dari pihak ibunya terkena, sedangkan wanita di antaranya adalah pembawa.
Kriteria untuk pewarisan terkait-X adalah (1) hanya pria
yang terkena, (2) bahwa penyakit ditransmisikan melalui wanita pembawa sifat ke
separuh anak laki-lakinya, dan (3) tidak terdapat transmisi ayah ke anak
laki-lainya.
Di antara penyakit-penyakit mata dengan pewarisan
terkait-X adalah buta warna (Gambar 1), albinisme okular, dan salah satu jenis
retinitis pigmentosa.
![]() |
Wanita Wanita Wanita
Pembawa pembawa Normal
Pria
Wanita
Anak
yang terkena
Jumlah
anak normal lainnya
Gambar
1. Silsilah buta warna merah-hijau (pewarisan resesif terkait-X)
(Vaughan,1999)
II.6 Pemeriksaan Buta
Warna
Menurut Ilyas (2002), pemeriksaan buta warna dilakukan
dengan uji anomaloskop, uji Farnsworth 100 hue, uji Holmgren, dan uji Ishihara.
Uji Ishihara
Merupakan uji untuk mengetahui adanya defek penglihatan
warna, didasarkan pada angka atau pola
yang ada pada kartu dengan berbagai ragam warna. Merupakan pemeriksaan untuk
penglihatan warna dengan memakai satu seri titik bola kecil dengan warna dan
besar berbeda (gambar pseudoisokromatik), sehingga dalam keseluruhan terlihat
warna pucat dan menyukarkan pasien dengan kelainan penglihatan warna
melihatnya. Penderita buta warna atau dengan kelainan penglihatan warna dapat
melihat sebagian ataupun sama sekali tidak dapat melihat gambaran yang
diperlihatkan. Pada
pemeriksaan pasien diminta melihat dan mengenali tanda gambar yang
diperlihatkan dalam waktu 10 detik. Penyakit tertentu dapat menyebabkan
gangguan penglihatan warna seperti buta merah dan hijau pada atrofi saraf
optik, optik neuropati toksik dengan pengecualian neuropati iskemia, glaukoma
dengan atrofi optik yang memberikan gangguan penglihatan biru-kuning.
Menurut Ghozi (1985), buku tes
Ishihara ada 2 macam yaitu terdiri dari 16 halaman dan 35 halaman. Kedua macam buku tes Ishihara tersebut mempunyai petunjuk yang agak
berbeda.
Menurut Wijana (1993), pemeriksaan buta warna dapat dilakukan dengan
berbagai cara, yang banyak dipergunakan di Indonesia adalah metode pseudo
isokromatik, dimana dipakai buku berwarna Ishihara, karena praktis, dapat
digunakan dalam pemeriksaan masal.
Pemeriksaan harus sesuai dengan petunjuknya :
a.
Pemeriksaan dilakukan dalam
ruangan dengan penerangan sinar matahari tidak langsung atau bila terpaksa
menggunakan cahaya listrik, maka cahaya tersebut harus diatur menyerupai sinar
matahari (lampu neon)
b. Gambar diletakkan pada jarak 75 cm dari
orang yang diperiksa
c. Setiap gambar harus dijawab dalam waktu
tidak boleh dari 3 detik
d.
Setiap mata diperiksa
tersendiri.
Analisa hasil test
Menurut Ghozi (1985), bila digunakan Buku test 16
halaman pada setiap halaman tertera nomor yang sangat kecil agar tak dapat
dilihat oleh orang yang diperiksa. Nomor tersebut terletak di bawah gambar tes
buta warna.
No.1 :
Orang normal maupun buta warna dapat membaca angka 12 (dua belas).
No. 2-5 : Orang normal membaca angka 8 (No. 2), 29 (No.
3), 5 (No. 4), 74 (No. 5), sedang pada orang buta warna membaca angka 3 (No.
2), 70 (No. 3), 2 (No. 4), 21 (No. 5). Buta warna total
tak dapat membaca semua angka.
No. 6-7 : Orang
normal membaca angka 45 (No. 6), dan 5 (No.7), sedang pada sebagian defisiensi
warna tak dapat membaca angka atau membaca salah.
No. 8-9 : Sebagian
besar orang buta warna membaca angka 5 (No. 8) dan 45 (No. 9), sedang sebagian
besar orang normal tak melihat adanya angka.
No. 10 : Orang normal membaca angka 26. Pada
protanomalia ekstrim dan protanopia hanya membaca angka 6, sedang pada
protanomaliaringan tampak 26 tetapi angka 6 lebih jelas. Pada deuteranomalia
ekstrim dan deuteranopia hanya membaca angka 2, sedang pada deuteranomalia
ringan tampak 26 tetapi angka 2 lebih jelas.
Penilaian pembacaan gambar
No.1 sampai dengan No.9 menentukan buta warna atau tidak. Bila 7 (tujuh) gambar
atau lebih dibaca benar, berarti tidak buta warna. Bila hanya 5 gambar atau
kurang yang dibaca benar, dianggap buta warna.
Gambar No.10 menunjukkan jenis
buta warnanya, apakah protanopia, protanomalia, deuteranopia atau
deuteranomalia.
Gambar No. 11-16 berupa alur
warna tertentu yang berkelok-kelok di antara warna-warna lain. Orang yang
diperiksa diperintahkan untuk mengikuti alur tadi, dimulai dari X kemudian
sampai pada X lain yangberada di sampingnya. Orang normal dengan mudah dapat
mengikuti alur, sedang orang buta warna akan mendapatkan kesulitan atau tidak
dapat. Pemeriksaan dengan alur warna ini untuk memperkuat
pemeriksaan jenis buta warna (Ghozi, 1985).
Sebaiknya orang yang buta warna mengetahui dan menyadari
keadaannya sedini-dininya untuk menghindari kesulitan-kesulitan yang timbul
dalam meneruskan pendidikannya atau dalam mencari lapangan pekerjaan yang
sesuai, dengan jalan memeriksakan dirinya.
Buta warna selain yang
diturunkan adapula yang didapat, akibat kerusakan pada makula, atrofi
peripapiler, berupa akromatopsia disertai dengan ketajaman penglihatan yang
buruk.
Menurut Guyton (1997), metode
yang dapat dipakai untuk menentukan dengan cepat suatu kelainan buta warna yang
didasarkan dengan penggunaan kartu bertitik-titik. Kartu
ini disusun dengan menyatukan titik-titik yang mempunyai bermacam-macam warna.
Pada kartu yang atas, orang normal akan menyebutkan angka “74”, sedangkan
penderita buta warna merah-hijau akan menyebutkan “21”. Pada kartu yang bawah,
orang normal akan menyebutkan angka “42” sedangkan penderita protanopi warna
merah akan menyebutkan angka “2”, dan penderita deuteranopi warna hijau akan
menyebutkan angka “4”. Seperti terlihat pada Gambar 2, orang normal meyebutkan
angka “5”, sedangkan penderita buta warna merah-hijau akan menyebutkan “2”.

Gambar 2. Ishihara Test for Color Blindness (Terrace,
2002)
BAB III
KESIMPULAN
Buta warna
adalah suatu gangguan genetik terkait sex yang disebabkan oleh defisiensi salah
satu dari ketiga foto pigmen. Yang terdiri dari sinar-sinar merah, hijau dan
biru. Buta warna umumnya lebih banyak terdapat pada pria daripada wanita.
Klasifikasi
buta warna terdiri atas : 1). Tipe Trikromat; 2) Tipe
Dikromat; 3). Tipe monokromat; 4). Tipe Akromatopsia. Bentuk buta warna dikenal
juga sebagai Monokromatisme Rod
(Batang) dan Monokromatisme Cone
(Kerucut).
Pemeriksaan buta warna dilakukan dengan
Tes Ishihara.
DAFTAR PUSTAKA
Crowin, J.E. 2001 Buku
Saku Patofisiologi, cetakan I, EGC, Jakarta:
215
Ghozi, A. 1985 Diagnosis
Praktis Buta Warna, Majalah Dokter Keluarga, vol.4, no. 12, 592-594
Ghozi, M. 1978 Prevalensi
buta Warna Pada Calon Mahasiswa Yang Masuk Universitas Gadjah Mada, Berkala
Ilmu Kedokteran, jilid X, no. 4, 185-189
Ghozie, M.A. 2002 Handbook
of Ophtalmologi, cetakan I, Fakultas kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
Yogyakarta: 12-13
Guyton, A.C., & Hall, J.E. 1997 Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 9thed,
cetakan I, EGC, Jakarta:
795-812
Hardy, R.A. 2002 Retina dan
Tumor Intraokuler, dalam Vaughan,
D.G. Asbury, T., dan Eva, P.R. (eds)
Oftalmologi Umum, 14thed, cetakan I, Jakarta: 197-219
Ilyas, S. 2002 Ilmu
Penyakit Mata, 2nded, cetakan I, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta: 83-88
Ilyas, S. 2003 Sari
Ilmu Penyakit Mata, cetakan III, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 103-104
Suryo 1986 Genetika Manusia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta
Terrace L. Waggoner, O.D., 2002 Ishihara Test for Color Blindness,
www.toledo-bend.com/colorblind/Ishihara.html
Vaughan, D., Asbury, T., Eva, P., & Riordan, P.R.
1999 General Ophthalmology, 15th
ed., Lange Medical Publications, California:
339-344
Wijana, N. 1993 Ilmu Penyakit Mata,
cetakan VI, Abadi Tegal, Jakarta: 154-157
Yamamoto, G.K. 1985 Ocular Drug Toxicity In Langston, D.P., (ed), Manual of Ocular
Diagnosis and Therapy, Little, Brown, and Company, USA: 409-411
Zen, N.F., Marwoto, J.,
Gajahnata, K.H.O. 2003, Pedigree Kasus
Buta Warna Pada Mahasiswa Baru Universitas Sriwijaya Tahun 1997/1998, Majalah
Kedokteran Sriwijaya, Th.35. No.1, Palembang: 459-462
Tidak ada komentar:
Posting Komentar