BAB I
PENDAHULUAN
Obat-obat opioid yang biasanya digunakan dalam anastesi antara
lain adalah morfin, petidin dan fentanil.1
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki
sifat-sifat seperti opium maupun morfin. Meskipun mempelihatkan berbagai efek
farmakologik yang lain, golongan obat ini digunakan terutama untuk meredakan
atau menghilangkan rasa nyeri.2, 3
Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering
dibandingkan dengan morfin, dan tidak semua obat golongan opioid yang
dipasarkan di Indonesia. Akan tetapi dengan sediaan yang sudah ada kiranya
penangganan nyeri yang membutuhkan obat opioid dapat dilakukan. Terbatasnya
peredaran obat tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran terjadinya
penyalahgunaan obat.4, 5
Dahulu digunakan istilah analgesik narkotik untuk
analgesik kuat yang mirip morfin. Istilah ini berasal dari kata yunani yang
berarti stupor. Istilah narkotik ini telah lama ditinggalkan jauh sebelum
ditemukannya ligand yang mirip opioid endogen dan reseptor untuk zat ini.
Dengan ditemukannya obat yang bersifat campuran agonis dan antagonis opioid
yang tidak meniadakan ketergantungan fisik akibat morfin maka penggunaan
istilah analgesik narkotik untuk pengertian farmakologik tidak sesuai lagi.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1
DEFINISI
Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang
dapat berikatan dengan reseptor morfin, misalnya. Opioid disebut juga sebagai
analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan
nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan.2, 3
II. 2
KLASIFIKASI OPIOID
Yang termasuk golongan opioid ialah : (1) obat yang
berasal dari opium-morfin ; (2) senyawa semisintetik morfin ; (3) senyawa
sintetik yang berefek seperti morfin.3
Didalam klinik opioid dapat digolongkan
menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin). Akan tetapi
pembagian ini sebetulnya lebih banyak didasarkan pada efikasi relatifnya, dan
bukannya pada potensinya. Opioid kuat mempunyai rentang efikasi yang lebih
luas, dan dapat menyembuhkan nyeri yang berat lebih banyak dibandingkan dengan
opioid lemah. Penggolongan opioid lain adalah opioid natural
(morfin, kodein, pavaperin, dan tebain), semisintetik (heroin, dihidro
morfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil,
sufentanil dan remifentanil).2, 4
Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka
obat-obat Opioid dapat digolongkan menjadi ;2, 3, 4
1.
Agonis opoid
Merupakan obat opioid yang
menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor, tertama pada reseptor m, dan mungkin pada reseptor k contoh ;
morfin, papaveretum, petidin (meperidin, demerol), fentanil, alfentanil,
sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin.
2.
Antagonis opioid
Merupakan obat opioid yang
tidak memiliki aktivitas agonis pada semua reseptor dan pada saat bersamaan
mencegah agonis merangsang reseptor, contoh ; nalokson.
3.
Agonis-antagonis (campuran) opioid
Merupakan obat opioid dengan kerja campuran, yaitu yang
bekerja sebagai agonis pada beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis
lemah pada reseptor lain, contoh pentazosin, nabulfin, butarfanol, bufrenorfin.
II. 1
MEKANISME KERJA
Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh
jaringan system saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu
di sistem limbic, thalamus, hipothalamus corpus striatum, system aktivasi
retikuler dan di korda spinalis yaitu substantia gelatinosa dan dijumpai pula
di pleksus saraf usus. Molekul
opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi
dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek.2
Reseptor tempat terikatnya
opioid disel otak disebut reseptor opioid dan dapat diidentifikasikan menjadi 5
golongan, yaitu antara lain:2, 3, 4
Ø Reseptor m (mu) : m-1, analgesia
supraspinal, sedasi.
m-2, analgesia
spinal, depresi nafas, euphoria,
ketergantungan fisik, kekakuan otot.
Ø Reseptor d (delta) :
analgesia spinal, epileptogen..
Ø Reseptor k (kappa) : k-1, analgesia spinal.
k-2 tak
diketahui.
k-3 analgesia
supraspinal.
Ø Reseptor s (sigma) :
disforia, halusinasi, stimulasi jantung.
Ø Reseptor e (epsilon) : respon hormonal.
Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi dengan semua
jenis reseptor akan tetapi dengan afinitas yang berbeda, dan dapat bekerja
sebagai agonis, antagonis, dan campuran.3, 4
Opioid mempunyai persamaan
dalam hal pengaruhnya pada reseptor ; karena itu efeknya pada berbagai organ
tubuh juga mirip. Perbedaan yang ada menyangkut kuantitas, afinitas pada
reseptor dan tentu juga kinetik obat yang bersangkutan.
Secara umum, efek obat-obat narkotik/opioid antara lain
;4
A. Efek sentral ;
a.
Menurunkan persepsi nyeri
dengan stimulasi (pacuan) pada reseptor opioid (efek analgesi).
b.
Pada dosis terapik normal,
tidak mempengaharui sensasi lain.
c.
Mengurangi aktivitas mental
(efek sedative).
d. Menghilangkan konplik dan kecemasan (efek
transqualizer).
e. Meningkatkan suasana hati (efek euforia),
walaupun sejumlah pasien merasakan sebaliknya (efek disforia).
f. Menghambat pusat respirasi dan batuk (efek
depresi respirasi dan antitusif).
g. Pada awalnya menimbulkan mual-muntah (efek
emetik), tapi pada akhirnya menghambat pusat emetik (efek antiemetik).
h. Menyebabkan miosis (efek miotik).
i.
Memicu
pelepasan hormon antidiuretika (efek antidiuretika).
j.
Menunjukkan
perkembangan toleransi dan dependensi dengan pemberian dosis yang
berkepanjangan.
B.Efek perifer ;
a. Menunda pengosongan lambung dengan
kontriksi pilorus.
b. Mengurangi motilitas gastrointestinal dan
menaikkan tonus (konstipasi spastik).
c.
Kontraksi sfingter saluran
empedu.
d. Menaikkan tonus otot kandung kencing.
e. Menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan
resiko reaksi ortostastik.
f. Menaikkan insidensi reaksi kulit,
urtikaria dan rasa gatal karena pelepasan histamin, dan memicu bronkospasmus
pada pasien asma.
BAB III
PEMBAHASAN
III. 1
MORFIN
Meskipun morfin dapat dibuat
secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah dan menguntungkan, yang
dibuat dari bahan getah papaver somniferum. Morfin
paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja
analgesinya cukup panjang (long acting).2, 3
Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife
selektif, yakni tidak begitu mempengaharui unsur sensoris lain, yaitu rasa
raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran ; bahakan persepsi
nyeripun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi3, 4.
Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ;
(1) morfin meninggikan ambang rangsang nyeri ; (2) morfin dapat mempengaharui
emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul dikorteks serebri pada
waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari thalamus ; (3) morfin
memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat.3
Farmakodinamik
Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ
yang mengandung otot polos. Efek
morfin pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi.
Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi
alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiper
aktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormone anti diuretika (ADH).2,
3, 4, 6
Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus
kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin juga dapat mmenembus
mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian
oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian
parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan
mempengaharui janin. Ekresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil
morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat.2, 3, 4, 6
Indikasi
Morfin dan opioid lain
terutama diidentifikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang
tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin
besar dosis yang diperlukan. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang
menyertai ; (1) Infark miokard ; (2) Neoplasma ; (3) Kolik renal atau kolik
empedu ; (4) Oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner ; (5) Perikarditis
akut, pleuritis dan pneumotorak spontan ; (6) Nyeri akibat trauma misalnya luka
bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.3
Efek samping
Efek samping morfin (dan
derivat opioid pada umumnya) meliputi depresi pernafasan, nausea, vomitus,
dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus, konstipasi kenaikkan tekanan
pada traktus bilier, retensi urin, dan hipotensi.2, 3, 4, 5, 6
Dosis dan sediaan
Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk larutan diberikan
teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi
nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena
dan dapat diulang sesuai yamg diperlukan.2, 3
III. 2
PETIDIN
Petidin ( meperidin, demerol)
adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi
mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Secara kimia
petidin adalah etil-1metil-fenilpiperidin-4-karboksilat.3
Farmakodinamik
Meperidin (petidin) secara
farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor m (mu). Seperti halnya morfin, meperidin
(petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas dan efek
sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah
dibanding morfin, tetapi leih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada
penggunaan klinis 3-5 jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif
terhadap nyeri neuropatik. 3, 6
Perbedaan antara petidin
(meperidin) dengan morfin sebagai berikut :2
- Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut dalam air.
- Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin adalah metabolit yang masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin.
- Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan takikardia.
- Seperti morpin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih ringan.
- Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tidak ada hubungannya dengan hipiotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada dewasa. Morfin tidak.
- Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.
Farmakokinetik
Absorbsi meperidin setelah
cara pemberian apapun berlangsung baik. Akan tetapi kecepatan absorbsi mungkin
tidak teratur setelah suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai
dalam 45 menit dan kadar yang dicapai antar individu sangat bervariasi. Setelah
pemberian meperidin IV, kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2
jam pertama, kemudian penurunan berlangsung lebih lambat. Kurang lebih 60%
meperidin dalam plasma terikat protein. Metabolisme meperidin terutama dalam
hati. Pada manusia meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang
kemudian sebagian mengalami konyugasi. Meperidin dalam bentuk utuh sangat
sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan
dalam urin dalam bentuk derivat N-demitilasi.
Meperidin dapat menurunkan
aliran darah otak, kecepatan metabolik otak, dan tekanan intra kranial. Berbeda
dengan morfin, petidin tidak menunda persalinan, akan tetapi dapat masuk
kefetus dan menimbulkan depresi respirasi pada kelahiran.
Indikasi
Meperidin hanya digunakan
untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan klinis, meperidin
diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morfin.
Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat
preanestetik, untuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin,
meperidin kurang karena menyebabkan
depresi nafas pada janin.
Dosis dan sediaan
Sediaan yang tersedia adalah
tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100
mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis
parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.4, 6
Efek samping
Efek samping meperidin dan
derivat fenilpiperidin yang ringan berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut
kering, mual-muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia,
sinkop dan sedasi.3, 4, 6
III. 3
FENTANIL
Fentanil adalah zat sintetik
seperti petidin dengan kekuatan 100 x morfin. Fentanil merupakan opioid sintetik
dari kelompok fenilpiperedin. Lebih larut dalam lemak dan lebih mudah menembus
sawar jaringan.2, 3, 4
Farmakodinamik
Turunan fenilpiperidin ini merupakan
agonis opioid poten. Sebagai suatu analgesik, fentanil 75-125 kali lebih
potendibandingkan dengan morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat
mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan
morfin. Fentanil (dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok
saraf tepi. Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg
lemah (dosis yang tinggi menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor
opioid pada terminal saraf tepi.
Fentanil dikombinasikan dengan droperidol untuk menimbulkan neureptanalgesia.3,
6
Farmakokinetik
Setelah suntikan intravena
ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama dengan dengan morfin,
tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama kali melewatinya. Fentanil dimetabolisir
oleh hati dengan N-dealkilase dan hidrosilasidan, sedangkan sisa metabolismenya
dikeluarkan lewat urin.6
Indikasi
Efek depresinya lebih lama
dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 /kg BB analgesianya
hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anastesia
pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 mg/kg BB digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia
dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml.4, 6
Efek samping
Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung
yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula,
katekolamin plasma, ADH, rennin, aldosteron dan kortisol. 2
Obat terbaru dari golongan
fentanil adalah remifentanil, yang dimetabolisir oleh esterase plasma nonspesifik,
yang menghasilkan obat dengan waktu paruh yang singkat, tidak seperti narkotik
lain durasi efeknya relatif tidak tergantung dengan durasi infusinya.4
BAB IV
KESIMPULAN
- Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin, dan tidak semua obat golongan opioid yang dipasarkan di Indonesia. Terbatasnya peredaran obat tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan obat.
- Obat golongan obat yang agonis yang sering digunakan didalam anastesia antara lain adalah morfin, petidin, fentanil.
- Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin,. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan.
- Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid dapat digolongkan menjadi ; Agonis opioid, Antagonis opioid, agonis-antagonis (campuran) opioid.
Daftar pustaka
1.
Muhardi dan Susilo, Penanggulangan Nyeri Pasca Bedah, Bagian
Anestiologi dan Terapi Intensif FK-UI, Jakarta 1989, hal ; 199.
2.
Latief. S. A, Suryadi K. A, dan
Dachlan M. R, Petunjuk Praktis
Anestesiologi, Edisi II, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI,
Jakarta, Juni, 2001, hal ; 77-83, 161.
3.
H. Sardjono, Santoso dan Hadi
rosmiati D, farmakologi dan terapi,
bagian farmakologi FK-UI, Jakarta,
1995 ; hal ; 189-206.
4.
Samekto wibowo dan Abdul gopur,
farmako terapi dalam neuorologi,
penerbit salemba medika ; hal : 138-143.
5.
Sunatrio. S, ketamin vs Petidin as Analgetic for Tiva
with Propofol, majalah Kedokteran Indonesia, vol : 44, nomor : 5, mei
1994, hal ; 278-279.
6.
Omorgui, s, Buku Saku Obat-obatan Anastesi, Edisi
II, EGC, Jakarta,
1997, hal ; 203-207.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah S.W.T yang telah memberikan
rahmat serta hidayahnya kepada penyusun sehingga refrat ini dapat
terselesaikan.
Refrat yang berjudul “Obat Golongan Opioid Agonis
pada Anastesi” ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat mengikuti ujian
kepaniteraan klinik di bagian Anestesi RS Margono Soekardjo Purwokerto.
Penyusun menyadari bahwa
penyusunan refrat ini tidak akan terselesaikan tanpa bimbingan dan bantuan dari
segala pihak. Sehubungan dengan hal tersebut maka dalam kesempatan ini penyusun
menghanturkan ucapan terima kasih yang setulusnya kepada;
1)
dr. Diding Syamsudin, Sp. An,
selaku ketua SMF dibagian Anestesi.
2) dr. Hj. Hermin Prihartini, Sp. An, dan dr.
Dudik. H, Sp. An, selaku dokter pembimbing dan penguji dibagian anastesi yang
telah mengarahkan dan membimbing dalam menyusun refrat ini.
3) Kepada ayahanda dan ibunda serta keluarga
dan adik yang telah memberikan do’a dan restu kepada penyusun.
4) Kepada rekan-rekan koass baik UMY maupun
UPN atas dukungan dan kerjasamanya.
Semoga Allah S.W.T memberikan
balasan atas semua jasa yang telah diberikan kepada penyusun.
Penyusun menyadari bahwa dalam
penulisan refrat ini masih jauh dari kesempurnaan maka diharapkan saran dan
kritik yang bersifat membangun.
Akhirnya penyusun berharap
semoga dengan tersusunnya refrat ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Amin.
Purwokerto, 16 april 2004
Penyusun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar