Selasa, 16 Agustus 2016

Referat Anestesi



BAB I
PENDAHULUAN

I.1  Latar Belakang

            Masa pulih sadar dimulai sejak pasien selesai ditangani secara bedah, dibawa dalam keadaan tidak sadar atau setengah sadar ke ruang pemulihan, sampai ketika kesadarannya pulih sempurna dan pasien dapat dipindahkan ke ruang rawat. Ini merupakan sebagian dari masa pascabedah. Masa pascabedahnya sendiri berakhir saat berakhirnya katabolisme pascabedah. Pasien diangkut dari ruang bedah dalam keadaan berbaring tanpa bantal dan kepala dimiringkan untuk mencegah terjadinya aspirasi cairan regurgitasi dari lambung. Aspirasi dari sekret dapat menyebabkan atelektasis paru pascabedah atau pneumonia. Tabung Mayo dipasang agar jalan nafas tetap terbuka.(1)
            Pulih dari anestesia umum atau dari analgesia regional secara rutin dikelola di kamar pulih atau unit perawatan pasca anestesi ( RR = Recovery room atau PACU = Post Anestesia Care Unit). Idealnya bangun dari anestesi secara bertahap, tanpa keluhan. Kenyataannya sering dijumpai hal-hal yang tidak menyenangkan akibat stres pascabedah atau pasca anestasia yang berupa gangguan napas, gangguan kardiovaskuler, gelisah, kesakitan, mual-muntah, menggigil, dan kadang-kadang perdarahan.(2,3)
            Unit Perawatan Pasca Anestesia (UPPA) harus berada dalam satu lantai dan dekat kamar bedah, supaya kalau timbul kegawatan dan perlu segera diadakan pembedahan ulang tidak akan banyak mengalami hambatan. Selain itu karena segera setelah selesai pembedahan dan anestesia dihentikan, pasien sebenarnya masih dalam keadaan anestesia dan perlu diawasi dengan ketat seperti masih berada di kamar bedah.(2,3)
            Pengawasan ketat di UPPA harus seperti sewaktu berada di kamar bedah sampai pasien bebas dari bahaya, karena itu peralatan monitor yang baik harus disediakan. Tensimeter, oksimater denyut (pulse oxymeter), EKG, peralatan resusitasi jantung-paru, dan obatnya harus disediakan tersendiri, terpisah dari kamar bedah.(2,3,5)
            Personil dalam UPPA sebaiknya sudah terlatih dalam penanganan pasien gawat, mahir menjaga jalan napas tetap paten, tanggap terhadap perubahan dini tanda vital yang membahayakan pasien.(2)
            Keberhasilan tindakan pembedahan pengelolaan pasien bedah dini merupakan hal yang penting selain dari pembedahan dan anestesi. Kegawatan napas, sirkulasi, otak dan fungsi renal pascabedah dini akan berpengaruh pada hasil dari pembedahan tersebut. Pengumpulan pasien pascabedah dini dalam satu ruangan akan meningkatkan efisiensi dari perawat terdidik, alat monitor dan alat resusitasi. Hasil yang diharapkan dari adanya ruang pulih sadar adalah keselamatan pasien menjadi maksimal, problem yang terjadi pascabedah dini dapat segera ditangani, ahli bedah dan ahli anestesi masih dapat menangani secara tepat dan daerah ruang pulih sadar yang didekat kamar bedah memudahkan bila diperlukan tindakan segera.(4)

II.2.Tujuan Penulisan

            Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui sacara keseluruhan mengenai perawatan pasca bedah dan pasca anestesi sehingga setelah penulisan referat ini penulis dapat mencegah dan melakukan penanganan awal penyulit-penyulit baik pasca bedah maupun pasca anestesi.











BAB II

TINJAUAN PUSTAKA



II.1   Ruangan dan Fasilitas

Besar ruangan dan fasilitas tergantung pada kemampuan kerja kamar bedah. Kondisi ruangan yang membutuhkan suhu yang dapat diatur dan warna yang tidak mempengaruhi warna kulit dan mukosa sangat membantu untuk membuat diagnosa dari adanya kegawatan nafas dan sirkulasi. Ruang pulih sadar yang terletak di dekat kamar bedah akan mempercepat atau memudahkan bila diperlukan tindakan bedah kembali.(3,4)
Alat untuk mengatasi gangguan nafas dan jalan nafas harus tersedia misalnya jalan nafas oropharyng, jalan nafas orotrakheal, laryngoscope, alat tracheostomi, dalam segala ukuran. Oksigen dapat diberikan dengan FIO2 25 % - 100 %. Pemberian oksigen pasca bedah untuk mencapai 25 % - 100 %  dibutuhkan kanula nasal, masker oksigen dan masker dengan kantung udara yang dapat untuk pemberian nafas buatan. Pulse oxymeter (SpO2), fiberoptic laryngoscope dan mesin nafas buatan bila memungkinkan harus di sediakan, apabila tidak disediakan maka pasien yang membutuhkan dapat dilanjutkan perawatan di ruang perawatan intensif.(3,4,5)
Untuk menanggulangi sirkulasi harus disiapkan cairan NaCl 0,9 %, Dextrose 5 %, infus, set jarum infus. Untuk monitor sistem sirkulasi dibutuhkan tensimeter dengan stetoskop, EKG, tekanan vena sentral dan tekanan arteri pulmonalis. Monitor suhu pasca bedah sangat penting sehingga dapat diketahui secara dini adanya hipotermi ataupun hipotermi yang segera harus diatasi.(3,4,5)
Untuk penyimpanan darah dan obat yang harus ada ditempat dingin disediakan refrigator. Fasilitas untuk pemasangan pipa lambung, kateter dan vena seksi harus disediakan pengelolaan pembuangan cairan gaster, urine dan cairan yang lain dirancang didaerah ruang pulih sadar. Obat-obatan yang disediakan diruangan pulih sadar merupakan obat untuk mengatasi keadaan gawat.(3,4)

II.2  Sumber Daya Manusia
Ruang pulih sadar merupakan tempat khusus untuk mengelola pasca bedah, sehingga dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualifikasi mengelola pasien gawat yang berbeda dengan tenaga kamar bedah. Jumlah personelnya tergantung pada kapasitas kamar bedahnya. Pasien dalam 1-2 jam pertama masuk ruang pulih sadar membutuhkan penanganan yang intensif sehingga 1 personel maksimal mengelola 2 pasien.(4)

II.3  Pengelolaan  Pasien Di ruang Pulih Sadar.
Setelah dilakukan pembedahan pasien dirawat diruang pulih sadar. Pasien yang dikelola adalah pasien pasca anestesi umum ataupun anestesi regional. Di ruang pulih sadar  dimonitor jalan nafasnya apakah bebas atau tidak, ventilasinya cukup atau tidak dan sirkulasinya sudah baik atau tidak.Pasien dengan gangguan jalan  nafas dan ventilasi harus ditangani secara dini. Selain obstruksi jalan nafas karena lidah yang jatuh kebelakang atau spasme laryng, pasca bedah dini kemungkinan terjadi muntah yang dapat berakibat aspirasi. Anestesi yang masih dalam, dan sisa pengaruh obat pelumpuh otot akan berakibat penurunan ventilasi . Gangguan sirkulasi terjadi pada pasien yang terapi cairan yang diberikan selama pembedahan belum sadar dapat terjadi gangguan jalan nafas. Pasien yang belum sadar diberikan oksigen dengan kanula nasal atau masker sampai pasien sadar betul. Pasien yang sudah keluar dari pengaruh obat anestesi akan sadar kembali.    Hipoksia dan hiperkardia terjadi pada pasien dengan gangguan jalan nafas dan ventilasi. Menggigil akan menambah beban jantung dan sangat berbahaya pada pasien dengan penyakit jantung. Kartu observasi selama diruang pulih sadar harus ditulis dengan jelas sehingga dapat dibaca bila pasien sudah kembali ke bangsal.(3,4)
Bila keadaan umum dan tanda vital pasien normal dan stabil,maka pasien dapat dipindahkan ke ruangan dengan pemberian instruksi pasca operasi.

Kriteria yang digunakan dan umunya yang dinilai adalah warna kulit, kesadaran, sirkulasi, pernafasan, dan aktivitas motorik, seperti skor Aldrete (lihat tabe l). Idealnya pasien baru boleh dikeluarkan bila jumlah skor total adalah 10. Namun bila skor total telah di atas 8 , pasien boleh keluar ruang pemulihan.(3,6)
Tabel  Skor pemulihan pasca-anestesi
Penilaian
Skor
Warna           Merah muda
                      Pucat
                      Sianotik
2
1
0
Pernafasan   Dapat bernafas dalam dan batuk
                      Dangkal namun pertukaran  udara adekuat
                      Apnea  atau obstruksi
2
1
0
Sirkulasi        Tekanan darah menyimpang < 20 % dari normal
                      Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal
                      Tekanan darah menyimpang < 50 % dari normal
2
1
0
Kesadaran     Sadar, siaga, dan orientasi
                     Bangun namun cepat kembali tertidur
                      Tidak berespons
2
1
0
Aktifitas       Seluruh ekstremitas dapat digerakkan
                     Dua ekstremitas dapat digerakkan
                     Tidak bergerak
2
1
0
Sumber : Aldrete JA, Kronik D: A postanesthetic recovery score. Anesth Analg 1970;49-924.(3,6)

II.4  Transportasi  Pasien Keluar Dari Ruang Pulih Sadar
Setelah pasien sadar dan memenuhi kriteria untuk dilakukan pengeluaran dari ruang pulih sadar dikembalikan ke bangsal atau keluar rumah sakit untuk pasien operasi rawat jalan. Pasien sadar, dapat melakukan orientasi sekitar, dapat mempertahankan jalan nafas selalu bebas, fungsi vital yang stabil dalam 1 jam, dapat meminta pertolongan pada orang sekitar dan tidak ada penyulit pembedahan, pasien dapat dikeluarkan dari ruang pulih sadar.(3,4)

II.5  Komplikasi Pasca Anestesi Dan Penanganannya.
A.    Komplikasi Respirasi 
1.      Mengatasi sumbatan pernafasan.
     Prinsip dalam mengatasi sumbatan mekanik dalam sistem anestesi adalah dengan menghilangkan penyebabnya. Diagnosis banding antara sumbatan mekanik dan bronkospasme harus dibuat sedini mungkin. Sumbatan mekanik lebih sering terjadi, dan mungkin dapat menjadi total, dimana  wheezing akibat bronkospasme biasanya dapat terdengar tanpa atau dengan stetoskop. Penyebab sumbatan bisa nyata sebagai contoh, keadaan ini dapat diatasi dengan meluruskan pipa yang terpuntir dibalik rongga mulut. Jika pipa ditempatkan terlalu jauh ke dalam trakea, maka pipa tersebut biasanya memasuki bronkus utama jika kadar tinggi oksigen yang dipakai, sampai terjadi tanda-tanda hipoksia, hiperkardi atau sumbatan pernafasan menjadi nyata. Komplikasi dapat dihindarkan jika ahli anestesi memeriksa kedudukan pipa setelah dipasang dengan mendengarkan melalui stetoskop di atas setiap sisi dada sementara secara manual paru-paru dikembangkan, jika suara pernafasan tidak terdengar atau pengembangan pada satu sisi dada telah didiagnosis, maka harus secara lambat laun ditarik sampai udara terdengar memasuki kedua sisi toraks secara seimbang. Penggunaan pipa yang telah dipotong sampai sepanjang bronkus kanan dapat mengurangi bahaya.(3,7,8)
Ahli anestesi tidak boleh melupakan  bahwa, jika dihadapkan pada sumbatan mekanik yang tidak dapat dijelaskan, segera setelah intubasi, maka anjuran terbaik adalah: bila meragukan, pipa ditarik keluar.(3,7,8)
Sumbatan mekanik pada penderita yang tidak diintubasi, apakah dapat bernafas dengan spontan atau dikembangkan, paling sering disebabkan oleh lidah yang jatuh ke belakang. Biasanya keadaan ini dapat ditolong dengan mengekstensikan kepala , mendorong dagu ke muka dan memasang pipa udara anestetik peroral atau nasal.(3,7,8)
Sumbatan mekanik pada penderita yang di intubasi mungkin bersifat samar-samar. Paling penting disadari bahwa adanya pipa trakea tidak menjamin saluran pernafasan yang lancar. Pipa dapat menjadi terpuntir, bagian yang melengkung dapat tertumbuk pada dinding trakea, atau dapat terlalu menjorok jauh dan memasuki bronkus utama kanan atau manset dapat menyebul keluar menutupi bagian ujung.(3,7,8)
2.      Mengatasi bronkospasme
Bronkospame dapat diatasi secara terapi medik, tetapi yang paling penting adalah memastikan bahwa tidak terjadi sumbatan mekanik, baik secara anatomis, akibat lidah yang terjatuh ke belakang pada penderita yang tidak diintubasi, atau akibat defek peralatan seperti yang telah dijelaskan di atas.(7)
Efedrin intravena setiap kali dapat ditambah 5 mg, atau 30 mg intramuskular sehingga dapat menolong, tetapi dapat menyebabkan takikardi dan meningatkan tekanan darah. Secara bergantian, suntikan lambat 5 mg/kg aminofilin intravena.(7)
3.      Intubasi endobronkial
Pada intubasi endotrakea, pipa endotrakea dapat masuk terlalu dalam hanya masuk dalam salah satu bronkus, biasanya mencapai bronkus kanan.Ventilasi dengan satu paru untuk waktu lama dapat berakibat atelektase paru dan hipoksia. Komplikasi dapat dicegah dengan selalu mendengarkan bunyi napas dengan stetoskop setiap kali selesai intubasi.(3,8)
4.      Batuk
Batuk sering terjadi pada anestesia yang belum dalam apalagi menggunakan anestetika inhalasi yang berbau ( eter, isofluran, enfluran ). Pemberian tiopental pun kadang-kadang juga memberikan komplikasi ini terutama kalau dilanjutkan dengan anestetika yang merangsang jalan napas seperti eter. Batuk dapat dihilangkan dengan mendalamkan anestesia secara pelan-pelan atau dengan obat anestetika yang tidak merangsaang jalan napas atau dangan memberikan obat pelumpuh otot. Batuk juga dapat terjadi karena laring dirangsang oleh lendir atau sisa makanan yang termuntahkan.(1,3,8)
5.      Cekukan
Disebabkan spasme diafragma yang intermiten disertai penutupan glotis secara mendadak. Spasma terjadi karena rangsang saraf sendoris frenikus yang berhubungan dengan ganglion soeliaka atau oleh refleks autonom intraabdomen lain. Saraf vagus mungkin juga merupakan salah satu serabut aferen dari refleks ini. Cekukan jarang terjadi kalau premedikasi atropin sudah diberikan sebelumnya. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada operasi perut atas terutama kalau disertai juga hipokapnia, anestesia yang kurang dalam atau dosis obat pelumpuh otot nondepolarisasi yang kurang cukup.(8)
Cekukan dapat dihilangkan dengan mendalamkan stadium anestesia, atau menambah dosis obat pelumpuh otot, atau menyuntikkan HCL ephedrin 5-10 mg I.V. atau klorpromazin 20-25 mg I.V.Jika cara tersebut belum berhasil dapat dicoba dengan menuangkan sedikit air dingin kedalam salah satu lubang hidung atau merangsang faring dengan kateter.(8)
6.      Apneu
Apneu dapat timbul karena pemberian obat induksi terlalu cepat              (tiopental), obstruksi jalan napas total, obat pelumpuh ataupun karena depresi pusat pernapasan (opiat). Terapi sesuai etiologi. Bantuan pernapasan harus dilakukan lebih dahulu sampai pasien dapat bernapas spontan.(8)
7.      Atelektasis
Atelektasis timbul akibat obstruksi jalan napas sehingga terjadi absorpsi udara pada bagian distal paru. Komplikasi ini dapat terjadi baik pada analgesia lokal maupun anestesia umum terutama kalau aspirasi yang menyumbat salah satu bronkus.(7,8)
Gejala-gejala atelektasis luas, pergerakan dada simetris, retraksi dada dan tidak terdengar suara napas pada daerah yang terkena, takipneu, takikardi, sianosis dan demam. Foto torak terlihat daerah perselubungan.(8)
Terapi untuk atelektasis dilakukan dengan melakukan pengisapan kedalam bronkus kalau perlu mempergunakan bronkoskop, fisioterapi dangan mempergunakan alat bantu napas. Obat ekspektoran, mukolitik, bronkodilator dan antibiotik diberikan atas indikasi.(8)
8.      Pneumothoraks
N2O dapat berdifusi kedalam rongga-rongga tubuh yang dapat menambah tekanan. Pneumotoraks dapat bertambah hebat menjadi tension pneumothorak yang mengganggu sirkulasi.(8)
Etiologi pneumothoraks dalam anestesia:
a.       Trauma        :  trauma toraks, fraktur iga
b.      Iatrogenik   :  kanulasi v. subklavia, kanulasi v. jugularis interna, blok pleksus brakialis, operasi thoraks
c.       Spontan       : bula paru kongenital, emfisema paru, asma, sindroma marfan(8)
Gejala klinik pneumotoraks sering tidak khas, kadang-kadang terdapat takikardia, dispneu, bronkospasme, sianosis dan hipotensi. Diagnosis pasti dapat ditegakkan setelah dibuat foto toraks. Kalau kita menghadapi kasus ini selama anestesia, maka segera dihentikan pemberian N2O dan diganti dengan O2 100%.(8)
9.      Muntah dan regurgitasi
Komplikasi yang sering terjadi pada anestesi dan pasien tidak sadar. Muntah adalah keluarnya isi lambung secara aktif karena kontraksi otot saluran cerna (gastrointestinal). Dapat terjadi pada induksi yang tidak mulus atau pada waktu stadium anestesi ringan. Bahan muntahan dapat masuk trakea dan paru (aspirasi). Bila banyak dan bersifat asam terjadi pneumonitis aspirasi yang sering berakibat buruk dan fatal.(1,4,8)
Regurgitasi adalah keluarnya isi lambung karena proses pasif dimana otot dan sfinter saluran cerna menjadi lemas. Regurgitasi akan terjadi pada stadium pemeliharaan anestesi dan tidak didahului oleh gejala-gejala lain sehingga tanpa disadari juga terjadi aspirasi dengan segala akibat yang buruk.(8)
Etiologi muntah dan regurgitasi :
1.      Masih terjadi sisa makanan dalam lambung atau esofagus, karena :
a.      Puasa terlalu singkat.
b.      Obstruksi pilorus
c.      Rangsangan peritonium, misalnya peritonitis.
d.     Ada bekuan darah dalam lambung.
e.      Sisa makanan dari usus halus yang berbalik ke lambung, misalnya ileus obstruktif.
2.      Pengosongan lambung terlambat, sering terjadi pada:
a.      wanita hamil
b.      trauma kepala
c.      pasien ketakutan atau kesakitan
d.     setelah makan obat tertentu, misalnya narkotika(8)
Faktor predisposisi terjadinya muntah dan regurgitasi:
1.      Volume isi lambung yang cukup banyak dengan Ph kurang dari 3, sering terjadi pada pasien untuk operasiemergensi, pasien yang ketakutan.
2.      Kardia yang inkompeten seperti pada pasien dengan hernia hiatus, pada tonus yang meningkat.
3.      Peningkatan tekanan intra-abdominal, karena:
a.       posisi litotomi
b.      fasikulasi karena suksinilkolin
c.       obesitas
4.      Penurunan tekanan intra-toraks yang berlebihan pada anestesi dalam dengan nafas spontan.(8)
Bahaya muntah dan regurgitasi :
1.      Isi lambung padat dapat menyumbat jalan nafas dengan akibat asfiksia, hipoksia dan hiperkapnia.
2.      Asam lambung yang masuk dalam bronkus dapat menyebabkan refleks depresi jantung.
3.      Asam lambung akan merusak jaringan paru dan menyebabkan pneumonia aspirasi (sindrom Mendelson), gejala: sesak nafas, syok, sianosis, ronki basah pada kedua paru, edema paru. Pasien biasanya meninggal karena gagal jantung dan nafas.(8)
Tindakan pencernaan  :
1.      Persiapan puasa yang adekuat, 6-8 jam untuk pasien dewasa dan 4-6 jam untuk bayi dan anak-anak.
2.      Pengosongan lambung secara aktif dengan mengisap melalui pipa lambung, sengaja membuat muntah dengan merangsang faring atau memberi obat perangsang muntah seperti apomorfin.
3.      Pemberian antasid untuk menetralisir asam lambung.
4.      Cimetidin 300 mg atau tagamet 400 mg 2 jam sebelum induksi dapat membantu meninggikan Ph isi lambung.
5.      Pada operasi akut harus dilakukan “induksi kilat “(8)
Tindakan pengobatan komplikasi muntah dan regurgitasi :
Kalau diketahui terjadi aspirasi,pengobatan sebagai berikut:
1.      posisi miring, kepala atau seluruh badan
2.      posisi trendelenberg .
3.      intubasi segera dilakukan pengisapan melalui endotrakea
4.      berikan O2 100 %.
5.      Suntikan hidrokortison 500-1000 mg i.v
6.      Antibiotik
7.      Kalau perlu dilakukan bronkoskopi(8)
Pencegahan muntah pasca bedah :
Beberapa obat dapat digunakan untuk mencegah muntah pasca bedah, yaitu :
1.      Obat antikolinergik, seperti atropin (0,5-1,0 mg),hiosin (0,4-0,6 mg).
2.      Antihistamin, seperti prometazin (50 mg)
3.      Golongan fenotiazin, seperti klorpromazin (25 mg)
4.      Golongan buterfenon, seperti dehidrobenzoperidol (5-10 mg).
5.      Lain-lain seperti primperan.(2,5,8)

B.     Komplikasi Kardiovaskular
1.      Hipotensi :
Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistole kurang dari 70 mmHg atau lebih dari 25 % dari sebelumnya.
Etiologi hipotensi selama anestesi
a. Hipovolemia                    :    hipovolemia pra anestesi, perdarahan bedah.
b. Obat induksi                    :    overdosis relatif pada bayi atau orang tua atau penderita dengan keadaan umum yang kurang baik.
c. Anestetik                        :    halotan, enfluran, isofluran
d.                                          Obat  pelumpuh otot                  :           d-tubukurin dll.
e. Penyakit kardiovaskular  :    infark miokard, aritmia, hipertensi.
f.                                          Penyakit pernafasan      :           pneumotorak
g.  Reaksi hipersensitivitas   :    obat induksi, obat pelumpuh otot, reaksi   transfusi.(3,7,8)
Hipovolemia dapat ditemukan pada pasien yang kekurangan cairan seperti pada ileus obstruksi, perdarahan banyak faktor multipel tulang besar dan lain-lain. Pemberian anestesi dapat menghiasilkan vasodilatasi pembuluh darah dan menghilangkan reaksi kompensasi vasokonstriksi tubuh yang berakibat hipotensi. Jumlah perdarahan selama pembedahan harus dihitung baik volume darah dari di botol penghisap dan atau dengan menimbang kasa operasi. Selama perdarahan masih kurang dari 15 % gejala syok hipovolemik belum tampak. Transfusi darah atau komponennya dipertimbangkan jika perdarahan melebihi 20% volume darah penderita dewasa.(5,8)
Semua obat induksi intravena, dapat mendepresi miokard dan curah jantung tergantung dosis yang diberikan. Terjadi terutama pada pasien usia lanjut, bila ada penyakit miokard ataupun hipertensi yang tidak diobati sebelumnya.(5,8)
Anestesi halotan, enfluran dan isofluran mempunyai efek inotropik negatif dan menurunkan resistensi pembuluh darah yang proporsional dengan konsentrasi yang diberikan. Hipotensi dan bradikardia yang terjadi dapat diperbaiki dengan menurunkan konsentrasi pemberian atropin atau cairan infus untuk meningkatkan curah jantung. Analgesia spinal atau peridural menyebabkan hipotensi karena blokade susunan saraf simpatiskus. Penyulit ini dapat di atasi dengan mempercepat infus, pemberian obat antikolinergik (seperti atropin) atau vasopresor (seperti efedrin).(8)
Manipulasi (tarikan, tekanan) pada operasi yang berlebihan seperti pemasangan refraktor yang terlalu besar atau tampon intraabdomen padawaktu laparatomi dapat menghambat aliran darah vena kava inferior curah jantung menurun dan hipotensi. Penyulit mekanis ini di atasi dengan menghilang semua penyebabnya.(8)
Refleks tertentu seperti refleks suliaka dapat mencetuskan hipotensi dan bradikardi intraoperatif tinggi jika anestesi kurang dalam lebih-lebih jika disertai hipovolemia. Terapi dilakukan dengan mempercepat infus cairan kristaloid yang dikombinasi dengan obat antikolinergik seperti atropin dan mendalamkan anestesi. Bahan akrilat, seperti semen tulang yang dipergunakan pada operasi ortopedi dapat menyebabkan vasodilatasi dan hipotensi. Untuk mengatasi ini infus kristaloid dipercepat kalau perlu diberi vasopresor.(2,3,7,8)
2.      Hipertensi :
Umumnya tekanan darah dapat meningkatkan pada periode induksi dan pemulihan anestesi. Komplikasi ini dapat membahayakan khusus pada pasien dengan panyakit jantung karena jantung harus bekarja lebih berat, dengan kebutuhan O2 miokard yang meningkat. Kalau tidak dapat dicukupi dapat timbul iskemia atau infark miokard.(2,3,7,8)
Fisiologi hipertensi selama anestesi :
a. Anestesi ringan            :    analgesi dan hipnosis tidak adekuat, batuk, tahan nafas dll.
b. Penyakit hipertensi      :    tidak diterima, terapi tidak adekuat atau tidak terdiagnosis.
c. Hiperkapnia                 :    ventilasi tidak adekuat, pengikat CO2 tidak bekerja dll.
d. Obat                            :    adrenalin, ergometrin, ketamin dll
e. Pre-eklamsia
Hipertensi karena anestesi tidak adekuat dapat dihilangkan dengan menambah dosis anestetika. Bila persisten dapat diberi obat penghambat beta adrenergik seperti propanolol atau obat vasodilator seperti nitrogliserin yang juga bermanfaat untuk memperbaiki perfusi miokard. Reaksi hipertensi pada waktu laringoskopi dapat dicegah antara lain dengan terlabih dahulu memberi semprotan lidokain topikal kedalam faring dan laring, obat seperti opiat dan lain-lain.(3,8)
Hiperkapnia karena pengikat CO2 yang tidak berfungsi baik atau karena banyak gas CO2 kedalam sirkuit anestesia dapat memberikan gejala hipertensi, takikardi atau ekstrasistole ventrikel.(3,8)
Hipertensi karena kesakitan yang terjadi pada akhir anestesi dapat diobati dengaan analgetika narkotik seperti pethidin 10 mg I.V atau morfin 2-3 mg I.V dengan memperhatikan pernafasan (depresi).(3,8)


3.      Aritmia jantung :
Pada anestesia, aritmia terjadi kira-kira 15-30 %. Tidak semua aritmia harus dapat pengobatan. Terapi harus dilaksanakan jika aritmia tersebut diikuti atau menjadi :
a.       Perubahan curah jantung dan perfusi jaringan yang nyata, misalnya hipotensi.
b.      Bradikardia hebat atau fibrilasi ventrikel predisposisi henti jantung.
c.       Gejala iskemia miokard yang nyata.(1,2,3,7,8)
Terapi tergantung pada berat dan macam aritmia. Jenis pengobatan bervariasi antara lidokain, propanolol, sedilanid, quinidin, DC syok dan resusitasi jantung paru (RJP) tergantung gejala dan penyebabnya.(3,8)
Etiologi aritmia selama anestesia :
a.  Tindakan bedah                 :    Bedah mata, hidung, gigi, traksimesenterium, dilatasi anus.
b.   Pengaruh metabolisme       :    hipertiroid, hiperkapnia, hipokelmia, hiperkalemia.
c.   Penyakit tertentu               :    penyakit jantung bawaan, penyakit jantung koroner.
d. Pengaruh obat tertentu     :    atropine, Halotan, adrenalin dll.(3,8)
Hipoksia atau hiperkapnia merangsang pengeluaran katekolalamin endogen yang dapat menyebabkan aritmia ventrikel terutama pada pasien dengan anestesia halotan, interaksi halotan juga terjadi dengan katekolamin (adrenalin) eksogen yang sering disuntikan oleh dokter bedah untuk mengurangi perdarahan lapangan operasi. Sebaliknya selama anestesi halotan suntikan infiltrasi adrenalin hanya diberikan maksimum 100 ug (10 ml larutan 1:100.000) dalam 10 menit. Terhadap anestetika enfluran atau isofluran permaslahan ini tidak terlihat.(8)
Hiperventilasi dengan hipokapnia akan merangsang kalium ekstraselular mengalir ke intraselular hingga terjadi hipokalemia. Aritmia berupa bradikardia relatif dapat terjadipada hipokalemia.(2,3,8)
Anestesia ringan yang disertai manipulasi operasi dapat merangsang saraf simpatikus dapat menyebabkan aritmia. Bradikardia yang terjadi dapat diobati dengan atropin.(3,8)
4.      Payah jantung :
Payah jantung  mungkin terjadi pada pasien yang mendapat cairan I.V. berlebihan, lebih-lebih pada pasien dengan kelainan jantung atau gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala yang mungkin hipotensi, sesak nafas dan ronkhi basah pada kedua paru. Dalam pipa endotrakea tampak cairan berbusa berwarna merah muda. Pengobatan dilakukan dengan retriksi cairan, diuretika, digitalis, pernapasan dengan tekanan positif dalam dengan O2.(1,8)

C.     Komplikasi  Pada  Mata
Selama anestesia umumnya mata penderita tidak tertutup rapat terutama jika mempergunakan obat pelumpuh otot. Karena itu mata harus dilindungi daru trauma langsung, kekeringan kornea atau iritasi daru obat-obatan atau alat yang dipergunakan selama anestesia.(8)
Laserasi kornea akan menyebabkan penderita mengeluh nyeri pada mata pasca bedah, lakrimasi bertambah dan blefarospasme. Untuk mencegah komplikasi ini selama operasi mata ditutup dengan plester atau dibasahi dengan air garam fisiologis atau diberi salap mata.(8)
Penekanan bola mata yang terlalu kuat misalnya karena pemasangan sungkup muka yang terlampau besar akan meneken aliran darah mata. Hal ini dapat menyebabkan kebutaan, yang kadang-kadang terjadi pada tindakan anestesia dangan hipotensi kendali. Penekanan bola mata dapat pula menimbulkan refleks okulokardiak pada anestesia yang ringan berupa perangsangan vagal bradikardi ,syok dan henti jantung.(8)
D.    Perubahan Cairan Tubuh
1.      Hipovolemia :
Kekurangan cairan tubuh selama anestesia harus diketahui dulu sebelumnya karena jika dilakukan anestesia dapat terjadi hipotensi. Perubahan kardiovaskular terjadi karena anestesia dapat mendepresi miokard dan menghasilkan vasodilatasi pembuluh darah. Kekurangan cairan ini harus diganti dulu dengan memberikan infus dan jika perlu dipantau dengan menggunakan kateter CVP ( central venous pressure ). (5,8)
Etiologi hipovolemia
a.       Kelainan pra bedah:
1)      Perdarahan, misalnya trauam perut, obstetri, cidera pembuluh darah
2)      Gastrointestinal : muntah-muntah, ileus obstrktif,diare
3)      Sebab lain : diuretika
b.      Perubahan fisiologis : evaporasi, sequesterisasi cairan
c.       Kehilangan cairan selama operasi : perdarahan, drenase asites, dekompresi  usus, luka bakar.(5,8)
Perdarahan :
               Pada anak dengan perdarahan lebih dari 10% volume darah ( volume darah 80 cc/ kg BB ) harus diganti dangan transfusi darah. Sedangkan untuk penderita dewasa transfusi diberikan jika perdarahan yang terjadi lebih dari 20% dari volume darah.(8)
Evaporasi :
Kehilangan cairan tubuh melalui kulit dan paru ( insesible loss) dalam keadaan normal berkisar antara 0,5-1 liter dalam satu hari yang diikuti dengan kehilangan elektrolit. Penguapan ini akan bertambah jika gas anestesi yang dibiarkan kering. Selain itu luka operasi, misalnya laparotomi menambah lapangan penguapan tubuh hingga kemungkinan cairan lebih banyak.(8)
2.      Hipervolemia
Faktor-faktor penyebab hipovolemia :
a.     Gagal jantung
b.    Pemberian cairan infus berlebihan selama pembedahan
c.     Ginjal tidak mampu melakukan ekskresi cairan
d.    Kesalahan memantau dengan CVP hingga pemberian kacau
e.     Hipoproteinemia
f.     Intoksikasi air karena tindakan bedah misalnya operasi reseksi transuretral prostat.(8)
Pemberian cairan harus disesuaikan dengan keperluan tubuh yang ideal. Pemberian cairan yang melebihi 30% dari seharusnya dapat berakibat edema paru dan gagal jantung. Kecepatan infus normal untuk pembedahan tanpa banyak perdarahan bervariasi 3-8 cc/ kgBB/jam.(8)
            Hipervolemia akan memberikan gejala-gejala takikardi, hipertensi, pelebaran vena-vena leher, muka bengkak, krepitasi paru, CVP meningkat (normal 5-15 cm H2O ).(8)
Terapi hipervolemia:
a.     Restriksi pemberian cairan
b.    Diuretika  misalnya lasik
c.     Obat inotropik (dopamin dan digoksin).(8)

E.     Komplikasi Neurologi
1.      Konvulsi
Beberapa jenis kontraksi abnormal otot dapat terjadi selama anestesia, seperti:
a.       Konvulsi pada anestesia dengan eter yang dalam
b.      Klonus pada anestesia ringan, terutama pada anak-anak
c.       Konvulsi karena hipoksia
d.      Konvulsi karena obat analgetika lokal misalnya lidokain
e.       Beberapa obat anestetika tertentu kadang-kadang memberikan gejala     epilepsi, misalnya enfluran dan altesin.(1,8)
Terapi:
a.       Hentikan pemberian eter atau enfluran dan O2 ditinggikan
b.      Berikan obat antikonvulsi seperti valium dan tiopental
c.       Jika suhu tubuh naik, kompres dengan es atau alkohol.(1,8)
2.      Terlambat sadar
Penyulit ini dapat disebabkan oleh:
a.       Kelebihan dosis premedikasi atau obat-obat lain selama anestesia misalnya fenotiazin, narkotika, anestetika.
b.      Gangguan fisiologi selama anestesia, misalnya hipoksia.
c.       Gangguan akibat pembedahan, misalnya syok dan emboli lemak.
d.      Akibat manifestasi penyakit tertentu misalnya hipoglikemia
e.       Obat tertentu yang berinteraksi dengan obat yang dipergunakan selama anestesia, misalnya monoamin oksidase inhibitor.(8)
3.      Cidera saraf tepi (perifer)
              Kerusakan saraf tepi dapat terjadi bila anggota tubuh tertentu diletakkan pada posisi salah, tertekan atau terlalu lama teregang . Umumnya kerusakan saraf tepi disebabkan terhambat darah mengalir kesaraf tersebut untuk waktu yang cukup lama.(1,7,8)
             Etiologi kerusakan saraf tepi :
a.       Pemakaian turniqet terlalu kuat dan lama. Untuk lengan atas iskemia oleh manset diperbolehlan sampai 50-70 mmHg dan tidak boleh lebih dari 3 jam lamanya.
b.      Penyuntikan obat tertentu disekitar saraf dapat memberikan rangsang kimia atau cidera langsung terhadap saraf.
c.       Hipotensi yang lama dapat berakibat iskemia yang akan mempengaruhi persarafan daerah tertentu.
d.      Reaksi toksis karena obat anestetika, misalnya trilene.
e.       Kesalahan posisi yang lama.(1,7,8)
F.      Komplikasi Lain-lain.
  1. Mengigil :
            Pada akhir anestesi dengan tiopental, halotan atau enfluran kadang-kadang timbul mengigil seluruh tubuh disertai bahu dan tangan bergetar. Hal ini mungkin terjadi karena reaksi tubuh terhadap suhu kamar operasi yang rendah. Faktor lain yang menjadi pertimbangan ialah kemungkinan waktu anestesi aliran gas diberikan terlalu tinggi hingga pengeluaran panas tubuh melalui ventilasi meningkat.(2,8)
Terapi :
a.       Pasang selimut tebal.
b.      Petidin 15-25 mg I.V.
c.       Klorpromazin 5-10 mg I.V.(2,8)
  1. Gelisah setelah anestesi :
Gelisah pasca anestesi dapat disebabkan karena hipoksia, asidosis, hipotensi, kesakitan. Penyulit ini sering terjadi pada pemberian premedikasi dengan sedatif tanpa anelgetika, hingga pada akhir operasi penderita masih belum sadar tetapi nyeri sudah mulai terasa. Komplikasi ini sering didapatkan pada anak dan penderita usia lanjut. Setelah disingkirkan sebab-sebab tersebut di atas, pasien dapat diberikan midazolam 0,05-0,1mg/kgBB atau Terapi dengan analgetika          / narkotika (petidin 15-25 mg I.V ).(2,8)
  1. Mimpi buruk:
Obat-obat seperti memberi komplikasi mimpi yang tidak enak. Dapat dicegah dengan premedikasi diazepam, dehidrobenzo peridol.(8)
  1. Sadar selama operasi :
Jika pada anestesia balans, dosis komponen obat hipnotika kurang, kemungkinan panderita akan sadar dan mengetahui jalannya pembedahan yang dilakukan pada dirinya. Pada penderita tertentu hal ini merupakan stres yang hebat. Keadaan akan menjadi lebih sulit jika analgetika yang diberikan tidak adekuat, hingga ia akan merasakan nyeri operasi tidak berdaya melawan karena ototnya tidak dilumpuhkan oleh obat-obat pelumpuh otot. Penyulit ini kadang terjadi pada anestesia N2O + O2 + obat pelumpuh otot.(8)
  1. Kenaikan suhu tubuh :
Kenaikan suhu tubuh harus kita bedakan apakah demam (fever) atau hipertermia (hiperpireksia). Demam adalah kenaikan suhu tubuh diatas 38 derajat Celcius dan masih dapat diturunkan dengan pemberian salisilat. Sedangkan hipertermia ialah kenaikan suhu tubuh diatas 40 derajat Celcius dan tidak dapat diturunkan dengan hanya memberikan salisilat.(7,8)
Beberapa hal yang dapat mencetuskan kenaikan suhu tubuh ialah:
a.       Puasa terlalu lama
b.      Suhu kamar operasi terlalu panas (suhu ideal 23-24 derajat Celcius)
c.       Penutup kain operasi yang terlalu tebal
d.      Dosis premedikasi sulfas atropin terlalu besar
e.       Infeksi
f.       Kelainan herediter. Kelainan ini biasanya menjurus pada komplikasi hipertermia   maligna(7.8)

Hipertermia maligna

Merupakan krisis hipermetabolik dimana suhu tubuh naik lebih dari 2 derajat Celcius dalam waktu satu jam. Walaupun angka kajadian komplikasi ini jarang, yaitu 1: 50.000 pada penderita dewasa dan 1: 25.000 pada anak-anak, tetepi jika terjadi angka kematiannya cukup tinggi yaitu 60%.(7,8)
Etiologi komplikasi ini masih diperdebatkan.tetapi telah banyak dikemukakan bahwa kelainan herediter ini karena adanya cacat pada ikatan kalsium dalam retikulum sarkoplasma otot atau jantung. Adanya pacuan tertentu akan meyebabkan keluarnya kalsium tersebut dan masuk kedalam sitoplasma hingga menghasilkan kontraksi miofibril hebat, penumpukan asam laktat dan karbondioksida, meningkatkan kebutuhan oksigen, asidosis metabolik, dan pembentukan panas.(7,8)
Kebanyakan obat anestetika akan menjadi triger pada penderita yang berbakat hipertermia maligna herediter ini. Halotan dan suksinilkolin adalah obat-obat yang sering dilaporkan sebagai pencetus penyulit ini. Akan tetapi tidak berarti obat-obat lain aman terhadap komplikasi ini.(7,8)
Gejala klinis selain kenaikan suhu mendadak, tonus otot bertambah, takikardi, tetani, mioglobinuria, gagal ginjal dan gagal jantung.
Penanggulangan koplikasi dilakukan dengan langkah-langkah:
1.      Hentikan pemberian anestetika dan berikan O2 100%
2.      Seluruh tubuh dikompres es atau alkohol, kalau perlu lambung dibilas dengan   larutan NaCl fisiologis dingin
3.      Pemeriksaan gas darah segera dilakukan
4.      Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat
5.      Koreksi hiperkalemia dengan glukosa dan insulin
6.      Oradekson dosis tinggi diberikan i.v.
7.      Dantrolene i.v. 1-2 mg/ kgBB dapat diulang tiap 5-10 menit dan maksimum 10 mg/kgBB. Obat ini merupakan satu-satunya obat spesifik untuk hipertermia maligna.(7,8)
  1. Hipersensitif
Reaksi hipersensitif adalah reaksi abnormal terhadap obat karena terbentuknya mediator kimia endogen seperti histamin dan serotonin dan lainnya. Reaksi dapat saja terjadi pada tiap pemberian obat termasuk obat yang digunakan dalam anestesia. Komplikasi sering terjadi pada pemberian induksi intravena dan obat pelumpuh otot.(7,8)
Gejala klinis hipersensitif :
a.       Kulit kemerahan dan timbul urtikaria
b.      Muka menjadi sembab
c.       Vasodilatasi, tetapi nadi kecil dan sering tak teraba, sampai henti jantung.
d.      Bronkospasme
e.       Sakit perut, mual dan muntah kadang diare(7,8)
Pengobatan:
1.      Hentikan pemberian obat anestetika
2.      Dilakukan napas buatan dan kompresi jantung luar kalau terjadi henti jantung
3.      Adrenalin 0,3-0,5 cc (1:1000) i.v. atau intratrakea
4.      Steroid, aminofilin atau vasopresor dipertimbangkan pada keadaan tertentu
5.      Percepat cairan infus kristaloid
6.      Operasi dihentikan dulu sampai gejala- gejala hilang.(7,8)

      

 

















BAB   III

KESIMPULAN


Ruang pulih sadar adalah sarana yang penting untuk keberhasilan dari suatu proses pembedahan dan anestasi. Ruang pulih sadar diperlukan untuk menangani masalah jalan napas, ventilasi dan sirkulasi pasca bedah dini.Observasi yang dilakukan di ruang pulih sadar harus dilakukan dengan jelas sehingga penelaahan kembali dapat dilakukan dengan mudah.
Penyulit (komplikasi) yang terjadi pada periode preoperatif dapat dicetuskan oleh tindakan anestesia sendiri atau kondisi pasien. Penyulit segera dapat timbul pada waktu pembedahan atau kemudian segera ataupun setelah operasi.
Penyulit anestesia dapat berakhir dengan kematian atau cacat menetap jika tidak dideteksi dan ditolong segera dengan tepat.
Gejala-gejala komplikasi kadang-kadang datangnya tidak diduga kendatipun tindakan anestesia sudah dilaksanakan dengan baik. Keberhasilan dalam mengatasi komplikasi anestesia tergantung dari deteksi gejala dini dan kecepatan dilakukan tindakan koreksi untuk mencegah keadaan yang lebih buruk.












DAFTAR PUSTAKA



1.      R. Sjamsuhidayat, Wim de jong, Masa Pulih, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 1998, Hal : 373-391
2.      Said A.Latief, Kartini A.Suryadi, M.Ruswan Dachlan, Tatalaksana Pasca Anestesia, dalam Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi kedua, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FKUI,Jakarta, 2002, Hal :253-256.
3.      G.Edward Morgan, Jr., Mageds, Mikhail, Postanesthesia Care, dalam Clinical Anesthesiology ,Edisi III, Mc Graw-Hill Companies New York,2002,Hal :932-949.
4.      Karjadi Wirjoatmodjo, Penyulit Pasca Bedah-Anestesi, dalam Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk Pendidikan SI Kedokteran, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2000, Hal: 222-225.    
5.      Carl. L. Gwinnut, Postanesthesia Care, dalam Clinical Anesthesia, Blackwell Science ltd, London,1997,Hal: 104-132.
6.      Arif Manjoer, Sprahaita, Wahyu Ika Wardani, dkk, Anestesia Umum, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi III, Media Aesculapius FK UI, Jakarta, 2002, Hal:253-256.
7.      Thomas B. Boulton, Colin E. Biogg, C.Longton Hewers, Alih Bahasa Jonatan Oswari ; editor, Widayanti D Wulandari, Komplikasi dan Bahaya Anestesi. Dalam Anestesiologi, EGC, Jakarta,1994, Hal: 213-237.
8.      M. Roesli Thalib, Komplikasi Anestesia, dalam Anestesiologi, FKUI, Jakarta, 1989, Hal : 146-156.






REFERAT




Penatalaksanaan PASCA ANESTESIA







Disusun Oleh :

Imaamah .M              (98310142)
Karomah .S                           (98310173)



Dosen Pembimbing :

Dr. H. Joko Murdiyanto., Sp.An






SMF ANESTESIOLOGI
RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2004

LEMBAR PENGESAHAN




REFERAT
PENATALAKSANAAN PASCA ANESTESI






Disusun Oleh :

Imaamah .M              (98310142)
Karomah .S                           (98310173)








Telah disetujui dan dipresentasikan
Pada tanggal :        




Pembimbing :






Dr. H. Joko Murdiyanto., Sp. An




KATA PENGANTAR


            Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul : “Penatalaksanaan Pasca Anestesi”.
            Adapun referat ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian Anestesiologi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
            Penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1.      Dr. H Joko Murdiyanto., Sp.An, yang telah membimbing penulis dalam pembuatan referat.
2.      Dr. Fauzi.A.R., Sp.An dan Dr. Pandit.S., Sp.An,selaku pembimbing, yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan kepada penulis
3.      Staf  IBS dan berbagai pihak yang membantu dan memberikan kesempatan kepada kami untuk belajar dibagian anestesi
4.      Teman-teman  yang telah membantu penyusunan referat ini.

Penulis sadar bahwa dalam referat ini masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu penulis menghimbau agar para pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan referat ini.
Akhirnya penulis berharap agar referat ini dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi pihak-pihak yang memerlukannya.



Yogyakarta,       Oktober  2004

                                                                                                      Penulis  

DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL…………………………………………………………… i
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………..ii
KATA PENGANTAR…………………………………………………………..iii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….iv
BAB I :   PENDAHULUAN…………………………………………………….1
I.1.  Latar Belakang…………………………………………………... 1
I.2.  Tujuan penulisan………………………………………………… 2
BAB II:   TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………… 3
                II.1.  Ruangan dan Fasilitas……………………………………………3
                II.2.  Sumber Daya Manusia………………………………………….. 4
                II.3.  Pengelolaan Pasien Diruang Pulih Sadar……………………….. 4
                II.4.  Transportasi Pasien Keluar Dari Ruang Pulih Sadar…………… 5
                II.5.  Komplikasi Pasca Anestesi Dan Penanganannya………………. 5
                         A. Komplikasi  Respirasi……………………………………….. 5
                         B. Komplikasi Kardiovaskular……………………………...…..11
                         C. Komplikasi Pada Mata……………………………………… 15
                         D. Perubahan  Cairan Tubuh……………………………………15
                         E. Komplikasi Neurologi………………………………………..17
                         F. Komplikasi Lain-lain…………………………………………18
           
BAB III:  KESIMPULAN……………………………………………………….22
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………23




Tidak ada komentar:

Posting Komentar