BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Masa pulih sadar dimulai sejak
pasien selesai ditangani secara bedah, dibawa dalam keadaan tidak sadar atau
setengah sadar ke ruang pemulihan, sampai ketika kesadarannya pulih sempurna
dan pasien dapat dipindahkan ke ruang rawat. Ini merupakan sebagian dari masa
pascabedah. Masa pascabedahnya sendiri berakhir saat berakhirnya katabolisme
pascabedah. Pasien diangkut dari ruang bedah dalam keadaan berbaring tanpa
bantal dan kepala dimiringkan untuk mencegah terjadinya aspirasi cairan
regurgitasi dari lambung. Aspirasi dari sekret dapat menyebabkan atelektasis
paru pascabedah atau pneumonia. Tabung Mayo dipasang agar jalan nafas tetap
terbuka.(1)
Pulih dari
anestesia umum atau dari analgesia regional secara rutin dikelola di kamar
pulih atau unit perawatan pasca anestesi ( RR = Recovery room atau PACU = Post
Anestesia Care Unit). Idealnya bangun dari anestesi secara bertahap, tanpa
keluhan. Kenyataannya sering dijumpai hal-hal yang tidak menyenangkan akibat
stres pascabedah atau pasca anestasia yang berupa gangguan napas, gangguan
kardiovaskuler, gelisah, kesakitan, mual-muntah, menggigil, dan kadang-kadang
perdarahan.(2,3)
Unit Perawatan
Pasca Anestesia (UPPA) harus berada dalam satu lantai dan dekat kamar bedah,
supaya kalau timbul kegawatan dan perlu segera diadakan pembedahan ulang tidak
akan banyak mengalami hambatan. Selain itu karena segera setelah selesai
pembedahan dan anestesia dihentikan, pasien sebenarnya masih dalam keadaan
anestesia dan perlu diawasi dengan ketat seperti masih berada di kamar bedah.(2,3)
Pengawasan ketat di
UPPA harus seperti sewaktu berada di kamar bedah sampai pasien bebas dari
bahaya, karena itu peralatan monitor yang baik harus disediakan. Tensimeter,
oksimater denyut (pulse oxymeter), EKG, peralatan resusitasi jantung-paru, dan
obatnya harus disediakan tersendiri, terpisah dari kamar bedah.(2,3,5)
Personil dalam UPPA
sebaiknya sudah terlatih dalam penanganan pasien gawat, mahir menjaga jalan
napas tetap paten, tanggap terhadap perubahan dini tanda vital yang
membahayakan pasien.(2)
Keberhasilan
tindakan pembedahan pengelolaan pasien bedah dini merupakan hal yang penting
selain dari pembedahan dan anestesi. Kegawatan napas, sirkulasi, otak dan
fungsi renal pascabedah dini akan berpengaruh pada hasil dari pembedahan
tersebut. Pengumpulan pasien pascabedah dini dalam satu ruangan akan
meningkatkan efisiensi dari perawat terdidik, alat monitor dan alat resusitasi.
Hasil yang diharapkan dari adanya ruang pulih sadar adalah keselamatan pasien menjadi
maksimal, problem yang terjadi pascabedah dini dapat segera ditangani, ahli
bedah dan ahli anestesi masih dapat menangani secara tepat dan daerah ruang
pulih sadar yang didekat kamar bedah memudahkan bila diperlukan tindakan
segera.(4)
II.2.Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan
referat ini adalah untuk mengetahui sacara keseluruhan mengenai perawatan pasca
bedah dan pasca anestesi sehingga setelah penulisan referat ini penulis dapat
mencegah dan melakukan penanganan awal penyulit-penyulit baik pasca bedah
maupun pasca anestesi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Ruangan dan Fasilitas
Besar ruangan dan fasilitas tergantung pada kemampuan
kerja kamar bedah. Kondisi ruangan yang membutuhkan suhu yang dapat diatur dan
warna yang tidak mempengaruhi warna kulit dan mukosa sangat membantu untuk
membuat diagnosa dari adanya kegawatan nafas dan sirkulasi. Ruang pulih sadar
yang terletak di dekat kamar bedah akan mempercepat atau memudahkan bila
diperlukan tindakan bedah kembali.(3,4)
Alat untuk
mengatasi gangguan nafas dan jalan nafas harus tersedia misalnya jalan nafas
oropharyng, jalan nafas orotrakheal, laryngoscope, alat tracheostomi, dalam
segala ukuran. Oksigen dapat diberikan dengan FIO2 25 % - 100 %. Pemberian
oksigen pasca bedah untuk mencapai 25 % - 100 %
dibutuhkan kanula nasal, masker oksigen dan masker dengan kantung udara
yang dapat untuk pemberian nafas buatan. Pulse oxymeter (SpO2), fiberoptic
laryngoscope dan mesin nafas buatan bila memungkinkan harus di sediakan,
apabila tidak disediakan maka pasien yang membutuhkan dapat dilanjutkan
perawatan di ruang perawatan intensif.(3,4,5)
Untuk
menanggulangi sirkulasi harus disiapkan cairan NaCl 0,9 %, Dextrose 5 %, infus,
set jarum infus. Untuk monitor sistem sirkulasi dibutuhkan tensimeter dengan
stetoskop, EKG, tekanan vena sentral dan tekanan arteri pulmonalis. Monitor
suhu pasca bedah sangat penting sehingga dapat diketahui secara dini adanya
hipotermi ataupun hipotermi yang segera harus diatasi.(3,4,5)
Untuk
penyimpanan darah dan obat yang harus ada ditempat dingin disediakan
refrigator. Fasilitas untuk pemasangan pipa lambung, kateter dan vena seksi
harus disediakan pengelolaan pembuangan cairan gaster, urine dan cairan yang
lain dirancang didaerah ruang pulih sadar. Obat-obatan yang disediakan
diruangan pulih sadar merupakan obat untuk mengatasi keadaan gawat.(3,4)
II.2 Sumber Daya Manusia
Ruang pulih sadar merupakan tempat khusus untuk mengelola pasca
bedah, sehingga dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualifikasi mengelola
pasien gawat yang berbeda dengan tenaga kamar bedah. Jumlah personelnya tergantung
pada kapasitas kamar bedahnya. Pasien dalam 1-2 jam pertama masuk ruang pulih
sadar membutuhkan penanganan yang intensif sehingga 1 personel maksimal
mengelola 2 pasien.(4)
II.3 Pengelolaan Pasien Di ruang Pulih Sadar.
Setelah dilakukan pembedahan pasien dirawat diruang pulih sadar.
Pasien yang dikelola adalah pasien pasca anestesi umum ataupun anestesi
regional. Di ruang pulih sadar dimonitor
jalan nafasnya apakah bebas atau tidak, ventilasinya cukup atau tidak dan
sirkulasinya sudah baik atau tidak.Pasien dengan gangguan jalan nafas dan ventilasi harus ditangani secara
dini. Selain obstruksi jalan nafas karena lidah yang jatuh kebelakang atau
spasme laryng, pasca bedah dini kemungkinan terjadi muntah yang dapat berakibat
aspirasi. Anestesi yang masih dalam, dan sisa pengaruh obat pelumpuh otot akan
berakibat penurunan ventilasi . Gangguan sirkulasi terjadi pada pasien yang
terapi cairan yang diberikan selama pembedahan belum sadar dapat terjadi
gangguan jalan nafas. Pasien yang belum sadar diberikan oksigen dengan kanula
nasal atau masker sampai pasien sadar betul. Pasien yang sudah keluar dari
pengaruh obat anestesi akan sadar kembali.
Hipoksia dan hiperkardia terjadi pada pasien dengan gangguan jalan nafas
dan ventilasi. Menggigil akan menambah beban jantung dan sangat berbahaya pada
pasien dengan penyakit jantung. Kartu observasi selama diruang pulih sadar
harus ditulis dengan jelas sehingga dapat dibaca bila pasien sudah kembali ke
bangsal.(3,4)
Bila keadaan umum dan tanda vital pasien normal dan stabil,maka
pasien dapat dipindahkan ke ruangan dengan pemberian instruksi pasca operasi.
Kriteria yang digunakan dan umunya yang dinilai adalah warna kulit,
kesadaran, sirkulasi, pernafasan, dan aktivitas motorik, seperti skor Aldrete
(lihat tabe l). Idealnya pasien baru boleh dikeluarkan bila jumlah skor total
adalah 10. Namun bila skor total telah di atas 8 , pasien boleh keluar ruang
pemulihan.(3,6)
Tabel
Skor pemulihan pasca-anestesi
Penilaian
|
Skor
|
Warna Merah muda
Pucat
Sianotik
|
2
1
0
|
Pernafasan Dapat bernafas dalam dan batuk
Dangkal namun pertukaran udara adekuat
Apnea atau obstruksi
|
2
1
0
|
Sirkulasi
Tekanan darah menyimpang <
20 % dari normal
Tekanan
darah menyimpang 20-50 % dari normal
Tekanan
darah menyimpang < 50 % dari normal
|
2
1
0
|
Kesadaran Sadar, siaga, dan orientasi
Bangun namun cepat kembali
tertidur
Tidak berespons
|
2
1
0
|
Aktifitas
Seluruh ekstremitas dapat
digerakkan
Dua ekstremitas dapat digerakkan
Tidak bergerak
|
2
1
0
|
Sumber : Aldrete JA, Kronik D: A postanesthetic recovery score.
Anesth Analg 1970;49-924.(3,6)
II.4 Transportasi Pasien Keluar Dari Ruang Pulih Sadar
Setelah pasien sadar dan memenuhi kriteria untuk dilakukan
pengeluaran dari ruang pulih sadar dikembalikan ke bangsal atau keluar rumah
sakit untuk pasien operasi rawat jalan. Pasien sadar, dapat melakukan orientasi
sekitar, dapat mempertahankan jalan nafas selalu bebas, fungsi vital yang
stabil dalam 1 jam, dapat meminta pertolongan pada orang sekitar dan tidak ada
penyulit pembedahan, pasien dapat dikeluarkan dari ruang pulih sadar.(3,4)
II.5 Komplikasi Pasca
Anestesi Dan Penanganannya.
A.
Komplikasi Respirasi
1.
Mengatasi sumbatan pernafasan.
Prinsip dalam mengatasi
sumbatan mekanik dalam sistem anestesi adalah dengan menghilangkan penyebabnya.
Diagnosis banding antara sumbatan mekanik dan bronkospasme harus dibuat sedini
mungkin. Sumbatan mekanik lebih sering terjadi, dan mungkin dapat menjadi
total, dimana wheezing
akibat bronkospasme biasanya dapat terdengar tanpa atau dengan stetoskop.
Penyebab sumbatan bisa nyata sebagai contoh, keadaan ini dapat diatasi dengan
meluruskan pipa yang terpuntir dibalik rongga mulut. Jika pipa ditempatkan
terlalu jauh ke dalam trakea, maka pipa tersebut biasanya memasuki bronkus
utama jika kadar tinggi oksigen yang dipakai, sampai terjadi tanda-tanda hipoksia,
hiperkardi atau sumbatan pernafasan menjadi nyata. Komplikasi dapat dihindarkan
jika ahli anestesi memeriksa kedudukan pipa setelah dipasang dengan
mendengarkan melalui stetoskop di atas setiap sisi dada sementara secara manual
paru-paru dikembangkan, jika suara pernafasan tidak terdengar atau pengembangan
pada satu sisi dada telah didiagnosis, maka harus secara lambat laun ditarik
sampai udara terdengar memasuki kedua sisi toraks secara seimbang. Penggunaan
pipa yang telah dipotong sampai sepanjang bronkus kanan dapat mengurangi
bahaya.(3,7,8)
Ahli anestesi tidak boleh melupakan
bahwa, jika dihadapkan pada sumbatan mekanik yang tidak dapat dijelaskan,
segera setelah intubasi, maka anjuran terbaik adalah: bila meragukan, pipa
ditarik keluar.(3,7,8)
Sumbatan mekanik pada penderita yang tidak diintubasi, apakah dapat
bernafas dengan spontan atau dikembangkan, paling sering disebabkan oleh lidah
yang jatuh ke belakang. Biasanya keadaan ini dapat ditolong dengan
mengekstensikan kepala , mendorong dagu ke muka dan memasang pipa udara
anestetik peroral atau nasal.(3,7,8)
Sumbatan mekanik pada penderita yang di intubasi mungkin bersifat
samar-samar. Paling penting disadari bahwa adanya pipa trakea tidak menjamin
saluran pernafasan yang lancar. Pipa dapat menjadi terpuntir, bagian yang
melengkung dapat tertumbuk pada dinding trakea, atau dapat terlalu menjorok
jauh dan memasuki bronkus utama kanan atau manset dapat menyebul keluar
menutupi bagian ujung.(3,7,8)
2.
Mengatasi bronkospasme
Bronkospame dapat diatasi secara terapi medik, tetapi yang paling
penting adalah memastikan bahwa tidak terjadi sumbatan mekanik, baik secara
anatomis, akibat lidah yang terjatuh ke belakang pada penderita yang tidak
diintubasi, atau akibat defek peralatan seperti yang telah dijelaskan di atas.(7)
Efedrin intravena setiap kali dapat ditambah 5 mg, atau 30 mg
intramuskular sehingga dapat menolong, tetapi dapat menyebabkan takikardi dan
meningatkan tekanan darah. Secara bergantian, suntikan lambat 5 mg/kg
aminofilin intravena.(7)
3.
Intubasi endobronkial
Pada intubasi endotrakea, pipa endotrakea dapat masuk terlalu dalam
hanya masuk dalam salah satu bronkus, biasanya mencapai bronkus kanan.Ventilasi
dengan satu paru untuk waktu lama dapat berakibat atelektase paru dan hipoksia.
Komplikasi dapat dicegah dengan selalu mendengarkan bunyi napas dengan
stetoskop setiap kali selesai intubasi.(3,8)
4.
Batuk
Batuk sering terjadi pada anestesia yang belum dalam apalagi
menggunakan anestetika inhalasi yang berbau ( eter, isofluran, enfluran ).
Pemberian tiopental pun kadang-kadang juga memberikan komplikasi ini terutama
kalau dilanjutkan dengan anestetika yang merangsang jalan napas seperti eter.
Batuk dapat dihilangkan dengan mendalamkan anestesia secara pelan-pelan atau
dengan obat anestetika yang tidak merangsaang jalan napas atau dangan
memberikan obat pelumpuh otot. Batuk juga dapat terjadi karena laring
dirangsang oleh lendir atau sisa makanan yang termuntahkan.(1,3,8)
5.
Cekukan
Disebabkan spasme diafragma yang intermiten disertai penutupan
glotis secara mendadak. Spasma terjadi karena rangsang saraf sendoris frenikus
yang berhubungan dengan ganglion soeliaka atau oleh refleks autonom
intraabdomen lain. Saraf vagus mungkin juga merupakan salah satu serabut aferen
dari refleks ini. Cekukan jarang terjadi kalau premedikasi atropin sudah
diberikan sebelumnya. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada operasi perut
atas terutama kalau disertai juga hipokapnia, anestesia yang kurang dalam atau
dosis obat pelumpuh otot nondepolarisasi yang kurang cukup.(8)
Cekukan dapat
dihilangkan dengan mendalamkan stadium anestesia, atau menambah dosis obat
pelumpuh otot, atau menyuntikkan HCL ephedrin 5-10 mg I.V. atau klorpromazin
20-25 mg I.V.Jika cara tersebut belum berhasil dapat dicoba dengan menuangkan
sedikit air dingin kedalam salah satu lubang hidung atau merangsang faring
dengan kateter.(8)
6.
Apneu
Apneu dapat timbul karena pemberian
obat induksi terlalu cepat (tiopental),
obstruksi jalan napas total, obat pelumpuh ataupun karena depresi pusat
pernapasan (opiat). Terapi sesuai etiologi. Bantuan pernapasan harus dilakukan
lebih dahulu sampai pasien dapat bernapas spontan.(8)
7.
Atelektasis
Atelektasis timbul akibat obstruksi
jalan napas sehingga terjadi absorpsi udara pada bagian distal paru. Komplikasi
ini dapat terjadi baik pada analgesia lokal maupun anestesia umum terutama
kalau aspirasi yang menyumbat salah satu bronkus.(7,8)
Gejala-gejala atelektasis luas, pergerakan
dada simetris, retraksi dada dan tidak terdengar suara napas pada daerah yang
terkena, takipneu, takikardi, sianosis dan demam. Foto torak terlihat daerah
perselubungan.(8)
Terapi untuk atelektasis dilakukan
dengan melakukan pengisapan kedalam bronkus kalau perlu mempergunakan
bronkoskop, fisioterapi dangan mempergunakan alat bantu napas. Obat ekspektoran,
mukolitik, bronkodilator dan antibiotik diberikan atas indikasi.(8)
8.
Pneumothoraks
N2O dapat berdifusi
kedalam rongga-rongga tubuh yang dapat menambah tekanan. Pneumotoraks dapat
bertambah hebat menjadi tension pneumothorak yang mengganggu sirkulasi.(8)
Etiologi pneumothoraks dalam anestesia:
a.
Trauma : trauma toraks, fraktur
iga
b.
Iatrogenik : kanulasi
v. subklavia, kanulasi v. jugularis interna, blok pleksus brakialis, operasi
thoraks
c.
Spontan : bula paru kongenital, emfisema paru, asma,
sindroma marfan(8)
Gejala klinik pneumotoraks sering
tidak khas, kadang-kadang terdapat takikardia, dispneu, bronkospasme, sianosis
dan hipotensi. Diagnosis pasti dapat ditegakkan setelah dibuat foto toraks.
Kalau kita menghadapi kasus ini selama anestesia, maka segera dihentikan
pemberian N2O dan diganti dengan O2 100%.(8)
9.
Muntah dan regurgitasi
Komplikasi
yang sering terjadi pada anestesi dan pasien tidak sadar. Muntah adalah
keluarnya isi lambung secara aktif karena kontraksi otot saluran cerna
(gastrointestinal). Dapat terjadi pada induksi yang tidak mulus atau pada waktu
stadium anestesi ringan. Bahan muntahan dapat masuk trakea dan paru (aspirasi).
Bila banyak dan bersifat asam terjadi pneumonitis aspirasi yang sering
berakibat buruk dan fatal.(1,4,8)
Regurgitasi adalah keluarnya isi
lambung karena proses pasif dimana otot dan sfinter saluran cerna menjadi
lemas. Regurgitasi akan terjadi pada stadium pemeliharaan anestesi dan tidak
didahului oleh gejala-gejala lain sehingga tanpa disadari juga terjadi aspirasi
dengan segala akibat yang buruk.(8)
Etiologi muntah dan regurgitasi :
1.
Masih terjadi sisa makanan
dalam lambung atau esofagus, karena :
a.
Puasa terlalu singkat.
b.
Obstruksi pilorus
c.
Rangsangan peritonium, misalnya
peritonitis.
d.
Ada bekuan darah
dalam lambung.
e.
Sisa makanan dari usus halus
yang berbalik ke lambung, misalnya ileus obstruktif.
2.
Pengosongan lambung terlambat,
sering terjadi pada:
a.
wanita hamil
b.
trauma kepala
c.
pasien ketakutan atau kesakitan
d.
setelah makan obat tertentu,
misalnya narkotika(8)
Faktor predisposisi terjadinya muntah dan regurgitasi:
1.
Volume isi lambung yang cukup
banyak dengan Ph kurang dari 3, sering terjadi pada pasien untuk
operasiemergensi, pasien yang ketakutan.
2.
Kardia yang inkompeten seperti
pada pasien dengan hernia hiatus, pada tonus yang meningkat.
3.
Peningkatan tekanan
intra-abdominal, karena:
a.
posisi litotomi
b.
fasikulasi karena suksinilkolin
c.
obesitas
4.
Penurunan tekanan intra-toraks
yang berlebihan pada anestesi dalam dengan nafas spontan.(8)
Bahaya muntah dan regurgitasi :
1.
Isi lambung padat dapat
menyumbat jalan nafas dengan akibat asfiksia, hipoksia dan hiperkapnia.
2.
Asam lambung yang masuk dalam bronkus
dapat menyebabkan refleks depresi jantung.
3.
Asam lambung akan merusak jaringan
paru dan menyebabkan pneumonia aspirasi (sindrom Mendelson), gejala: sesak
nafas, syok, sianosis, ronki basah pada kedua paru, edema paru. Pasien biasanya
meninggal karena gagal jantung dan nafas.(8)
Tindakan pencernaan :
1.
Persiapan puasa yang adekuat,
6-8 jam untuk pasien dewasa dan 4-6 jam untuk bayi dan anak-anak.
2.
Pengosongan lambung secara
aktif dengan mengisap melalui pipa lambung, sengaja membuat muntah dengan
merangsang faring atau memberi obat perangsang muntah seperti apomorfin.
3.
Pemberian antasid untuk
menetralisir asam lambung.
4.
Cimetidin 300 mg atau tagamet
400 mg 2 jam sebelum induksi dapat membantu meninggikan Ph isi lambung.
5.
Pada operasi akut harus
dilakukan “induksi kilat “(8)
Tindakan pengobatan komplikasi
muntah dan regurgitasi :
Kalau diketahui terjadi
aspirasi,pengobatan sebagai berikut:
1.
posisi miring, kepala atau
seluruh badan
2.
posisi trendelenberg .
3.
intubasi segera dilakukan
pengisapan melalui endotrakea
4.
berikan O2 100 %.
5.
Suntikan hidrokortison 500-1000
mg i.v
6.
Antibiotik
7.
Kalau perlu dilakukan
bronkoskopi(8)
Pencegahan muntah pasca bedah :
Beberapa obat dapat digunakan untuk mencegah muntah
pasca bedah, yaitu :
1.
Obat antikolinergik, seperti
atropin (0,5-1,0 mg),hiosin (0,4-0,6 mg).
2.
Antihistamin, seperti
prometazin (50 mg)
3.
Golongan fenotiazin, seperti
klorpromazin (25 mg)
4.
Golongan buterfenon, seperti
dehidrobenzoperidol (5-10 mg).
5.
Lain-lain seperti primperan.(2,5,8)
B.
Komplikasi Kardiovaskular
1.
Hipotensi :
Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistole
kurang dari 70 mmHg atau lebih dari 25 % dari sebelumnya.
Etiologi hipotensi selama anestesi
a. Hipovolemia : hipovolemia pra anestesi,
perdarahan bedah.
b. Obat induksi : overdosis
relatif pada bayi atau orang tua atau penderita dengan keadaan umum yang kurang
baik.
c. Anestetik : halotan, enfluran,
isofluran
d. Obat pelumpuh otot : d-tubukurin
dll.
e. Penyakit kardiovaskular : infark miokard, aritmia, hipertensi.
f. Penyakit
pernafasan : pneumotorak
g. Reaksi hipersensitivitas : obat
induksi, obat pelumpuh otot, reaksi
transfusi.(3,7,8)
Hipovolemia dapat ditemukan pada
pasien yang kekurangan cairan seperti pada ileus obstruksi, perdarahan banyak
faktor multipel tulang besar dan lain-lain. Pemberian anestesi dapat
menghiasilkan vasodilatasi pembuluh darah dan menghilangkan reaksi kompensasi
vasokonstriksi tubuh yang berakibat hipotensi. Jumlah perdarahan selama
pembedahan harus dihitung baik volume darah dari di botol penghisap dan atau
dengan menimbang kasa operasi. Selama perdarahan masih kurang dari 15 % gejala
syok hipovolemik belum tampak. Transfusi darah atau komponennya dipertimbangkan
jika perdarahan melebihi 20% volume darah penderita dewasa.(5,8)
Semua obat induksi intravena, dapat
mendepresi miokard dan curah jantung tergantung dosis yang diberikan. Terjadi
terutama pada pasien usia lanjut, bila ada penyakit miokard ataupun hipertensi
yang tidak diobati sebelumnya.(5,8)
Anestesi halotan, enfluran dan
isofluran mempunyai efek inotropik negatif dan menurunkan resistensi pembuluh
darah yang proporsional dengan konsentrasi yang diberikan. Hipotensi dan
bradikardia yang terjadi dapat diperbaiki dengan menurunkan konsentrasi
pemberian atropin atau cairan infus untuk meningkatkan curah jantung. Analgesia
spinal atau peridural menyebabkan hipotensi karena blokade susunan saraf
simpatiskus. Penyulit ini dapat di atasi dengan mempercepat infus, pemberian
obat antikolinergik (seperti atropin) atau vasopresor (seperti efedrin).(8)
Manipulasi (tarikan, tekanan) pada
operasi yang berlebihan seperti pemasangan refraktor yang terlalu besar atau
tampon intraabdomen padawaktu laparatomi dapat menghambat aliran darah vena
kava inferior curah jantung menurun dan hipotensi. Penyulit mekanis ini di
atasi dengan menghilang semua penyebabnya.(8)
Refleks tertentu seperti refleks suliaka
dapat mencetuskan hipotensi dan bradikardi intraoperatif tinggi jika anestesi
kurang dalam lebih-lebih jika disertai hipovolemia. Terapi dilakukan dengan
mempercepat infus cairan kristaloid yang dikombinasi dengan obat antikolinergik
seperti atropin dan mendalamkan anestesi. Bahan akrilat, seperti semen tulang
yang dipergunakan pada operasi ortopedi dapat menyebabkan vasodilatasi dan
hipotensi. Untuk mengatasi ini infus kristaloid dipercepat kalau perlu diberi
vasopresor.(2,3,7,8)
2.
Hipertensi :
Umumnya tekanan darah dapat
meningkatkan pada periode induksi dan pemulihan anestesi. Komplikasi ini dapat
membahayakan khusus pada pasien dengan panyakit jantung karena jantung harus
bekarja lebih berat, dengan kebutuhan O2 miokard yang meningkat. Kalau tidak dapat
dicukupi dapat timbul iskemia atau infark miokard.(2,3,7,8)
Fisiologi hipertensi selama anestesi
:
a.
Anestesi ringan : analgesi
dan hipnosis tidak adekuat, batuk, tahan nafas dll.
b.
Penyakit hipertensi : tidak diterima, terapi tidak adekuat atau
tidak terdiagnosis.
c.
Hiperkapnia : ventilasi
tidak adekuat, pengikat CO2 tidak bekerja dll.
d.
Obat : adrenalin, ergometrin, ketamin dll
e.
Pre-eklamsia
Hipertensi karena anestesi tidak
adekuat dapat dihilangkan dengan menambah dosis anestetika. Bila persisten
dapat diberi obat penghambat beta adrenergik seperti propanolol atau obat
vasodilator seperti nitrogliserin yang juga bermanfaat untuk memperbaiki
perfusi miokard. Reaksi hipertensi pada waktu laringoskopi dapat dicegah antara
lain dengan terlabih dahulu memberi semprotan lidokain topikal kedalam faring
dan laring, obat seperti opiat dan lain-lain.(3,8)
Hiperkapnia karena pengikat CO2
yang tidak berfungsi baik atau karena banyak gas CO2 kedalam sirkuit
anestesia dapat memberikan gejala hipertensi, takikardi atau ekstrasistole
ventrikel.(3,8)
Hipertensi karena kesakitan yang
terjadi pada akhir anestesi dapat diobati dengaan analgetika narkotik seperti
pethidin 10 mg I.V atau morfin 2-3 mg I.V dengan memperhatikan pernafasan
(depresi).(3,8)
3.
Aritmia jantung :
Pada anestesia, aritmia terjadi
kira-kira 15-30 %. Tidak semua aritmia harus dapat pengobatan. Terapi harus
dilaksanakan jika aritmia tersebut diikuti atau menjadi :
a.
Perubahan curah jantung dan
perfusi jaringan yang nyata, misalnya hipotensi.
b.
Bradikardia hebat atau
fibrilasi ventrikel predisposisi henti jantung.
c.
Gejala iskemia miokard yang
nyata.(1,2,3,7,8)
Terapi tergantung pada berat dan
macam aritmia. Jenis pengobatan bervariasi antara lidokain, propanolol,
sedilanid, quinidin, DC syok dan resusitasi jantung paru (RJP) tergantung
gejala dan penyebabnya.(3,8)
Etiologi aritmia selama anestesia :
a. Tindakan
bedah : Bedah mata, hidung, gigi, traksimesenterium,
dilatasi anus.
b. Pengaruh metabolisme : hipertiroid, hiperkapnia, hipokelmia,
hiperkalemia.
c. Penyakit tertentu : penyakit jantung bawaan, penyakit jantung
koroner.
d. Pengaruh obat tertentu : atropine, Halotan, adrenalin dll.(3,8)
Hipoksia atau hiperkapnia merangsang
pengeluaran katekolalamin endogen yang dapat menyebabkan aritmia ventrikel
terutama pada pasien dengan anestesia halotan, interaksi halotan juga terjadi
dengan katekolamin (adrenalin) eksogen yang sering disuntikan oleh dokter bedah
untuk mengurangi perdarahan lapangan operasi. Sebaliknya selama anestesi
halotan suntikan infiltrasi adrenalin hanya diberikan maksimum 100 ug (10 ml
larutan 1:100.000) dalam 10 menit. Terhadap anestetika enfluran atau isofluran
permaslahan ini tidak terlihat.(8)
Hiperventilasi dengan hipokapnia akan
merangsang kalium ekstraselular mengalir ke intraselular hingga terjadi
hipokalemia. Aritmia berupa bradikardia relatif dapat terjadipada hipokalemia.(2,3,8)
Anestesia ringan yang disertai
manipulasi operasi dapat merangsang saraf simpatikus dapat menyebabkan aritmia.
Bradikardia yang terjadi dapat diobati dengan atropin.(3,8)
4.
Payah jantung :
Payah jantung mungkin terjadi pada pasien yang mendapat
cairan I.V. berlebihan, lebih-lebih pada pasien dengan kelainan jantung atau
gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala yang mungkin hipotensi, sesak nafas dan
ronkhi basah pada kedua paru. Dalam pipa endotrakea tampak cairan berbusa
berwarna merah muda. Pengobatan dilakukan dengan retriksi cairan, diuretika,
digitalis, pernapasan dengan tekanan positif dalam dengan O2.(1,8)
C.
Komplikasi Pada
Mata
Selama anestesia umumnya mata
penderita tidak tertutup rapat terutama jika mempergunakan obat pelumpuh otot.
Karena itu mata harus dilindungi daru trauma langsung, kekeringan kornea atau
iritasi daru obat-obatan atau alat yang dipergunakan selama anestesia.(8)
Laserasi kornea akan menyebabkan
penderita mengeluh nyeri pada mata pasca bedah, lakrimasi bertambah dan
blefarospasme. Untuk mencegah komplikasi ini selama operasi mata ditutup dengan
plester atau dibasahi dengan air garam fisiologis atau diberi salap mata.(8)
Penekanan bola mata yang terlalu kuat
misalnya karena pemasangan sungkup muka yang terlampau besar akan meneken
aliran darah mata. Hal ini dapat menyebabkan kebutaan, yang kadang-kadang
terjadi pada tindakan anestesia dangan hipotensi kendali. Penekanan bola mata
dapat pula menimbulkan refleks okulokardiak pada anestesia yang ringan berupa
perangsangan vagal bradikardi ,syok dan henti jantung.(8)
D.
Perubahan Cairan Tubuh
1.
Hipovolemia :
Kekurangan cairan tubuh selama
anestesia harus diketahui dulu sebelumnya karena jika dilakukan anestesia dapat
terjadi hipotensi. Perubahan kardiovaskular terjadi karena anestesia dapat
mendepresi miokard dan menghasilkan vasodilatasi pembuluh darah. Kekurangan
cairan ini harus diganti dulu dengan memberikan infus dan jika perlu dipantau
dengan menggunakan kateter CVP ( central venous pressure ). (5,8)
Etiologi hipovolemia
a.
Kelainan pra bedah:
1)
Perdarahan, misalnya trauam
perut, obstetri, cidera pembuluh darah
2)
Gastrointestinal :
muntah-muntah, ileus obstrktif,diare
3)
Sebab lain : diuretika
b.
Perubahan fisiologis :
evaporasi, sequesterisasi cairan
c.
Kehilangan cairan selama
operasi : perdarahan, drenase asites, dekompresi usus, luka bakar.(5,8)
Perdarahan :
Pada anak dengan perdarahan lebih dari 10%
volume darah ( volume darah 80 cc/ kg BB ) harus diganti dangan transfusi
darah. Sedangkan untuk penderita dewasa transfusi diberikan jika perdarahan
yang terjadi lebih dari 20% dari volume darah.(8)
Evaporasi :
Kehilangan cairan tubuh melalui kulit
dan paru ( insesible loss) dalam keadaan normal berkisar antara 0,5-1 liter
dalam satu hari yang diikuti dengan kehilangan elektrolit. Penguapan ini akan
bertambah jika gas anestesi yang dibiarkan kering. Selain itu luka operasi,
misalnya laparotomi menambah lapangan penguapan tubuh hingga kemungkinan cairan
lebih banyak.(8)
2.
Hipervolemia
Faktor-faktor penyebab hipovolemia :
a.
Gagal jantung
b.
Pemberian cairan infus
berlebihan selama pembedahan
c.
Ginjal tidak mampu melakukan
ekskresi cairan
d.
Kesalahan memantau dengan CVP
hingga pemberian kacau
e.
Hipoproteinemia
f.
Intoksikasi air karena tindakan
bedah misalnya operasi reseksi transuretral prostat.(8)
Pemberian cairan harus disesuaikan dengan keperluan
tubuh yang ideal. Pemberian cairan yang melebihi 30% dari seharusnya dapat
berakibat edema paru dan gagal jantung. Kecepatan infus normal untuk pembedahan
tanpa banyak perdarahan bervariasi 3-8 cc/ kgBB/jam.(8)
Hipervolemia
akan memberikan gejala-gejala takikardi, hipertensi, pelebaran vena-vena leher,
muka bengkak, krepitasi paru, CVP meningkat (normal 5-15 cm H2O ).(8)
Terapi hipervolemia:
a.
Restriksi pemberian cairan
b.
Diuretika misalnya lasik
c.
Obat inotropik (dopamin dan
digoksin).(8)
E.
Komplikasi Neurologi
1.
Konvulsi
Beberapa jenis kontraksi abnormal otot dapat terjadi
selama anestesia, seperti:
a.
Konvulsi pada anestesia dengan
eter yang dalam
b.
Klonus pada anestesia ringan,
terutama pada anak-anak
c.
Konvulsi karena hipoksia
d.
Konvulsi karena obat analgetika
lokal misalnya lidokain
e.
Beberapa obat anestetika
tertentu kadang-kadang memberikan gejala
epilepsi, misalnya enfluran dan altesin.(1,8)
Terapi:
a.
Hentikan pemberian eter atau
enfluran dan O2 ditinggikan
b.
Berikan obat antikonvulsi
seperti valium dan tiopental
c.
Jika suhu tubuh naik, kompres
dengan es atau alkohol.(1,8)
2.
Terlambat sadar
Penyulit ini dapat disebabkan oleh:
a.
Kelebihan dosis premedikasi
atau obat-obat lain selama anestesia misalnya fenotiazin, narkotika,
anestetika.
b.
Gangguan fisiologi selama
anestesia, misalnya hipoksia.
c.
Gangguan akibat pembedahan,
misalnya syok dan emboli lemak.
d.
Akibat manifestasi penyakit
tertentu misalnya hipoglikemia
e.
Obat tertentu yang berinteraksi
dengan obat yang dipergunakan selama anestesia, misalnya monoamin oksidase
inhibitor.(8)
3.
Cidera saraf tepi (perifer)
Kerusakan saraf tepi dapat terjadi bila anggota tubuh tertentu
diletakkan pada posisi salah, tertekan atau terlalu lama teregang . Umumnya
kerusakan saraf tepi disebabkan terhambat darah mengalir kesaraf tersebut untuk
waktu yang cukup lama.(1,7,8)
Etiologi
kerusakan saraf tepi :
a.
Pemakaian turniqet terlalu kuat
dan lama. Untuk lengan atas iskemia oleh manset diperbolehlan sampai 50-70 mmHg
dan tidak boleh lebih dari 3 jam lamanya.
b.
Penyuntikan obat tertentu
disekitar saraf dapat memberikan rangsang kimia atau cidera langsung terhadap
saraf.
c.
Hipotensi yang lama dapat
berakibat iskemia yang akan mempengaruhi persarafan daerah tertentu.
d.
Reaksi toksis karena obat
anestetika, misalnya trilene.
e.
Kesalahan posisi yang lama.(1,7,8)
F.
Komplikasi Lain-lain.
- Mengigil :
Pada
akhir anestesi dengan tiopental, halotan atau enfluran kadang-kadang timbul
mengigil seluruh tubuh disertai bahu dan tangan bergetar. Hal ini mungkin
terjadi karena reaksi tubuh terhadap suhu kamar operasi yang rendah. Faktor
lain yang menjadi pertimbangan ialah kemungkinan waktu anestesi aliran gas
diberikan terlalu tinggi hingga pengeluaran panas tubuh melalui ventilasi
meningkat.(2,8)
Terapi :
a.
Pasang selimut tebal.
b.
Petidin 15-25 mg I.V.
c.
Klorpromazin 5-10 mg I.V.(2,8)
- Gelisah setelah anestesi :
Gelisah pasca anestesi dapat disebabkan karena hipoksia,
asidosis, hipotensi, kesakitan. Penyulit ini sering terjadi pada pemberian
premedikasi dengan sedatif tanpa anelgetika, hingga pada akhir operasi
penderita masih belum sadar tetapi nyeri sudah mulai terasa. Komplikasi ini
sering didapatkan pada anak dan penderita usia lanjut. Setelah disingkirkan sebab-sebab
tersebut di atas, pasien dapat diberikan midazolam 0,05-0,1mg/kgBB atau Terapi
dengan analgetika / narkotika
(petidin 15-25 mg I.V ).(2,8)
- Mimpi buruk:
Obat-obat seperti memberi komplikasi mimpi yang tidak
enak. Dapat dicegah dengan premedikasi diazepam, dehidrobenzo peridol.(8)
- Sadar selama operasi :
Jika pada anestesia balans, dosis komponen obat
hipnotika kurang, kemungkinan panderita akan sadar dan mengetahui jalannya
pembedahan yang dilakukan pada dirinya. Pada penderita tertentu hal ini
merupakan stres yang hebat. Keadaan akan menjadi lebih sulit jika analgetika
yang diberikan tidak adekuat, hingga ia akan merasakan nyeri operasi tidak
berdaya melawan karena ototnya tidak dilumpuhkan oleh obat-obat pelumpuh otot. Penyulit
ini kadang terjadi pada anestesia N2O + O2 + obat pelumpuh otot.(8)
- Kenaikan suhu tubuh :
Kenaikan suhu tubuh harus kita bedakan apakah demam
(fever) atau hipertermia (hiperpireksia). Demam adalah kenaikan suhu tubuh
diatas 38 derajat Celcius dan masih dapat diturunkan dengan pemberian
salisilat. Sedangkan hipertermia ialah kenaikan suhu tubuh diatas 40 derajat
Celcius dan tidak dapat diturunkan dengan hanya memberikan salisilat.(7,8)
Beberapa hal yang dapat mencetuskan kenaikan suhu tubuh
ialah:
a.
Puasa terlalu lama
b.
Suhu kamar operasi terlalu
panas (suhu ideal 23-24 derajat Celcius)
c.
Penutup kain operasi yang
terlalu tebal
d.
Dosis premedikasi sulfas
atropin terlalu besar
e.
Infeksi
f.
Kelainan herediter. Kelainan
ini biasanya menjurus pada komplikasi hipertermia maligna(7.8)
Hipertermia maligna
Merupakan krisis hipermetabolik
dimana suhu tubuh naik lebih dari 2 derajat Celcius dalam waktu satu jam.
Walaupun angka kajadian komplikasi ini jarang, yaitu 1: 50.000 pada penderita
dewasa dan 1: 25.000 pada anak-anak, tetepi jika terjadi angka kematiannya
cukup tinggi yaitu 60%.(7,8)
Etiologi komplikasi ini masih
diperdebatkan.tetapi telah banyak dikemukakan bahwa kelainan herediter ini
karena adanya cacat pada ikatan kalsium dalam retikulum sarkoplasma otot atau
jantung. Adanya pacuan tertentu akan meyebabkan keluarnya kalsium tersebut dan
masuk kedalam sitoplasma hingga menghasilkan kontraksi miofibril hebat, penumpukan
asam laktat dan karbondioksida, meningkatkan kebutuhan oksigen, asidosis
metabolik, dan pembentukan panas.(7,8)
Kebanyakan obat anestetika akan
menjadi triger pada penderita yang berbakat hipertermia maligna herediter ini.
Halotan dan suksinilkolin adalah obat-obat yang sering dilaporkan sebagai
pencetus penyulit ini. Akan tetapi tidak berarti obat-obat lain aman terhadap
komplikasi ini.(7,8)
Gejala klinis selain kenaikan suhu
mendadak, tonus otot bertambah, takikardi, tetani, mioglobinuria, gagal ginjal
dan gagal jantung.
Penanggulangan koplikasi dilakukan dengan
langkah-langkah:
1.
Hentikan pemberian anestetika
dan berikan O2 100%
2.
Seluruh tubuh dikompres es atau
alkohol, kalau perlu lambung dibilas dengan
larutan NaCl fisiologis dingin
3.
Pemeriksaan gas darah segera
dilakukan
4.
Koreksi asidosis dengan natrium
bikarbonat
5.
Koreksi hiperkalemia dengan
glukosa dan insulin
6.
Oradekson dosis tinggi
diberikan i.v.
7.
Dantrolene i.v. 1-2 mg/ kgBB
dapat diulang tiap 5-10 menit dan maksimum 10 mg/kgBB. Obat ini merupakan
satu-satunya obat spesifik untuk hipertermia maligna.(7,8)
- Hipersensitif
Reaksi hipersensitif adalah reaksi
abnormal terhadap obat karena terbentuknya mediator kimia endogen seperti
histamin dan serotonin dan lainnya. Reaksi dapat saja terjadi pada tiap
pemberian obat termasuk obat yang digunakan dalam anestesia. Komplikasi sering
terjadi pada pemberian induksi intravena dan obat pelumpuh otot.(7,8)
Gejala klinis hipersensitif :
a.
Kulit kemerahan dan timbul
urtikaria
b.
Muka menjadi sembab
c.
Vasodilatasi, tetapi nadi kecil
dan sering tak teraba, sampai henti jantung.
d.
Bronkospasme
e.
Sakit perut, mual dan muntah
kadang diare(7,8)
Pengobatan:
1.
Hentikan pemberian obat
anestetika
2.
Dilakukan napas buatan dan
kompresi jantung luar kalau terjadi henti jantung
3.
Adrenalin 0,3-0,5 cc (1:1000)
i.v. atau intratrakea
4.
Steroid, aminofilin atau
vasopresor dipertimbangkan pada keadaan tertentu
5.
Percepat cairan infus
kristaloid
6.
Operasi dihentikan dulu sampai
gejala- gejala hilang.(7,8)
BAB III
KESIMPULAN
Ruang pulih
sadar adalah sarana yang penting untuk keberhasilan dari suatu proses
pembedahan dan anestasi. Ruang pulih sadar diperlukan untuk menangani masalah
jalan napas, ventilasi dan sirkulasi pasca bedah dini.Observasi yang dilakukan
di ruang pulih sadar harus dilakukan dengan jelas sehingga penelaahan kembali
dapat dilakukan dengan mudah.
Penyulit (komplikasi) yang terjadi pada periode
preoperatif dapat dicetuskan oleh tindakan anestesia sendiri atau kondisi
pasien. Penyulit segera dapat timbul pada waktu pembedahan atau kemudian segera
ataupun setelah operasi.
Penyulit anestesia dapat berakhir dengan kematian atau
cacat menetap jika tidak dideteksi dan ditolong segera dengan tepat.
Gejala-gejala komplikasi kadang-kadang datangnya tidak diduga
kendatipun tindakan anestesia sudah dilaksanakan dengan baik. Keberhasilan
dalam mengatasi komplikasi anestesia tergantung dari deteksi gejala dini dan
kecepatan dilakukan tindakan koreksi untuk mencegah keadaan yang lebih buruk.
DAFTAR PUSTAKA
1.
R. Sjamsuhidayat, Wim de jong,
Masa Pulih, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta,
1998, Hal : 373-391
2.
Said A.Latief, Kartini
A.Suryadi, M.Ruswan Dachlan, Tatalaksana Pasca Anestesia, dalam Petunjuk
Praktis Anestesiologi, Edisi kedua, Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif, FKUI,Jakarta, 2002, Hal :253-256.
3.
G.Edward Morgan, Jr., Mageds,
Mikhail, Postanesthesia Care, dalam Clinical Anesthesiology ,Edisi III,
Mc Graw-Hill Companies New York,2002,Hal :932-949.
4.
Karjadi Wirjoatmodjo, Penyulit
Pasca Bedah-Anestesi, dalam Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk
Pendidikan SI Kedokteran, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional, Jakarta, 2000, Hal: 222-225.
5.
Carl. L. Gwinnut,
Postanesthesia Care, dalam Clinical Anesthesia, Blackwell Science ltd,
London,1997,Hal: 104-132.
6.
Arif Manjoer, Sprahaita, Wahyu
Ika Wardani, dkk, Anestesia Umum, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi
III, Media Aesculapius FK UI, Jakarta, 2002, Hal:253-256.
7.
Thomas B. Boulton, Colin E.
Biogg, C.Longton Hewers, Alih Bahasa Jonatan Oswari ; editor, Widayanti D
Wulandari, Komplikasi dan Bahaya Anestesi. Dalam Anestesiologi, EGC, Jakarta,1994, Hal:
213-237.
8.
M. Roesli Thalib, Komplikasi
Anestesia, dalam Anestesiologi, FKUI, Jakarta, 1989, Hal : 146-156.
REFERAT
Penatalaksanaan PASCA ANESTESIA

Disusun
Oleh :
Imaamah
.M (98310142)
Karomah
.S (98310173)
Dosen
Pembimbing :
Dr.
H. Joko Murdiyanto., Sp.An
SMF ANESTESIOLOGI
RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2004
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
PENATALAKSANAAN
PASCA ANESTESI
Disusun
Oleh :
Imaamah
.M (98310142)
Karomah
.S (98310173)
Telah
disetujui dan dipresentasikan
Pada
tanggal :
Pembimbing
:
Dr.
H. Joko Murdiyanto., Sp. An
KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul :
“Penatalaksanaan Pasca Anestesi”.
Adapun referat ini
disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam memenuhi salah satu syarat dalam
mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian Anestesiologi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
Penulis mengucapkan
terimakasih kepada :
1.
Dr. H Joko Murdiyanto., Sp.An,
yang telah membimbing penulis dalam pembuatan referat.
2.
Dr. Fauzi.A.R., Sp.An dan Dr.
Pandit.S., Sp.An,selaku pembimbing, yang telah memberikan bimbingan dan
pengetahuan kepada penulis
3.
Staf IBS dan berbagai pihak yang membantu dan
memberikan kesempatan kepada kami untuk belajar dibagian anestesi
4.
Teman-teman yang telah membantu penyusunan referat ini.
Penulis
sadar bahwa dalam referat ini masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu
penulis menghimbau agar para pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang
membangun demi kesempurnaan referat ini.
Akhirnya penulis berharap agar referat ini dapat
memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Yogyakarta, Oktober 2004
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………… i
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………..ii
KATA PENGANTAR…………………………………………………………..iii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….iv
BAB I :
PENDAHULUAN…………………………………………………….1
I.1. Latar
Belakang…………………………………………………... 1
I.2. Tujuan
penulisan………………………………………………… 2
BAB II: TINJAUAN
PUSTAKA……………………………………………… 3
II.1.
Ruangan dan Fasilitas……………………………………………3
II.2.
Sumber Daya Manusia………………………………………….. 4
II.3.
Pengelolaan Pasien Diruang Pulih Sadar……………………….. 4
II.4.
Transportasi Pasien Keluar Dari Ruang Pulih Sadar…………… 5
II.5.
Komplikasi Pasca Anestesi Dan Penanganannya………………. 5
A.
Komplikasi Respirasi……………………………………….. 5
B. Komplikasi
Kardiovaskular……………………………...…..11
C.
Komplikasi Pada Mata……………………………………… 15
D.
Perubahan Cairan Tubuh……………………………………15
E.
Komplikasi Neurologi………………………………………..17
F.
Komplikasi Lain-lain…………………………………………18
BAB III:
KESIMPULAN……………………………………………………….22
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar