Henti Jantung Pada Anestesi Spinal : Mekanisme Umum
dan Strategi Pencegahan
Penulis : Pollard, John B., MD
Bagian
Anestesiologi, Veterans Affairs Palo Alto Health Care System dan Kedokteran
Universitas Stanford, Stanford,
California.
Alamat : John B. Pollard MD, VA Palo Alto Health Care Systems, 3801
Miranda Ave #112A, Palo Alto, CA 94304-1207.
Email : John.Pollard@med.va.gov.
Henti jantung pada anestesi spinal digambarkan “sangat
jarang”, “luar biasa” dan “tidak diharapkan”, tetapi sebetulnya relatif lazim dijumpai(1-3).
Dua penelitian prospektif terbesar yang dirancang untuk mengevaluasi kejadian
komplikasi pada anestesi spinal, melaporkan 2 henti jantung pada 1881 pasien(4),
dan 26 henti jantung pada 40.640 pasien(5) dengan kejadian
keseluruhan 7 henti jantung setiap 10.000 (0,07%) anestesi spinal. Sebuah
tinjauan pada sekitar 4000 anestesi regional menyatakan 6 kasus bradikardi
berat (denyut nadi 20-40 x/menit) dan 6 kasus lainnya dengan henti jantung
setelah anestesi spinal(3). Angka ini tinggi jika dibandingkan
dengan kejadian 3 henti jantung setiap 10.000 kasus (0,03%) dari banyak sebab pada
pasien yang tidak menjalani operasi jantung(6). Kejadian henti jantung pada anestesi spinal juga
lebih sering jika dibandingkan dengan angka kejadian 1 henti jantung setiap
10.000 kasus (0,01%) pada anestesi epidural yang dilaporkan saat ini(5).
Auroy, dkk(5) melaporkan bahwa 1 dari 26
henti jantung yang terjadi pada waktu anestesi spinal berhubungan dengan obat
anestesi. Usia lanjut dan status fisik ASA memperbesar kemungkinan henti
jantung ini, tetapi faktor ini sering secara menonjol tidak ada(1,3).
Pernyataan analisis tertutup Caplan dkk(1),
melaporkan 14 henti jantung dengan angka mortalitas sekitar 40 % pada pasien
yang sehat yang menjalani prosedur minor. Sebanding dengan temuan yang dilaporkan pada suatu
penelitian terhadap dari 20.000 pasien muda yang berhubungan dengan anestesi
spinal. Satu dari separuh pasien
yang mengalami henti jantung di ruang operasi pada waktu anestesi spinal
berusia < 30 tahun(7). Faktannya kebanyakan henti jantung ini terjadi
pada individu dewasa muda sehat pada waktu operasi minor meningkatkan
kemungkinan bahwa kebanyakan dari mereka dapat terhindarkan.
Keenan dan Boyan(4),
meneliti semua jenis henti jantung yang berhubungan dengan anestesi di rumah
sakit selama 15 tahun dan disimpulkan hampir separuhnya berhubungan dengan
ventilasi yang tidak adekuat dan 2/3 dari henti jantung akibat obat anestesi
dapat terhindarkan. Apakah pola yang sama berlaku pada kondisi henti jantung yang terjadi pada waktu
anestesi spinal? Karena sedasi digunakan pada lebih dari 80% pasien yang tidak
mendapatkan anestesi spinal(4,9), potensi sedasi pada henti jantung
ini perlu dipertimbangkan.
Bukti henti jantung yang
disebabkan oleh respirasi pada anestesi spinal jarang. Anestesi spinal sensorik sampai setinggi T4 tidak menyebabkan
hipoventilasi, tetapi menyebabkan hiperventilasi ringan(10,11).
Sebelum digunakannya pulse oximetry
secara luas, diperdebatkan bahwa oversedasi memainkan peran pokok pada henti jantung pada waktu anestesi
spinal. Saat ini sulit memasukkan hipoksemia sebagai penyebab utama henti
jantung pada waktu anestesi spinal, karena henti jantung ini terjadi pada saat saturasi oksigen 95-100 %.
Penelitian efek samping anestesi spinal juga gagal membuktikan bahwa respirasi merupakan penyebab
utama henti jantung. Kenyataannya, tak satupun penelitian prospektif ini
menemukan adanya hubungan antara sedasi dan henti jantung pada waktu anestesi spinal(4,5,9).
Karena henti jantung yang
muncul setelah dilakukannya anestesi spinal tidak berhubungan erat dengan
sedasi atau efek anestesi spinal terhadap kendali respirasi, mekanisme
alternatif lainnya perlu dipertimbangkan. Bukti henti jantung diakibatkan oleh
sirkulasi muncul dari penelitian fisiologis dengan menggunakan suka relawan
yang mengalami bradikardi dan henti jantung pada keadaan yang menyerupai efek
anestesi spinal(14,15). Kebanyakan efek ini secara
langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan blokade efferen simpatis pada
waktu anestesi spinal. Sebagai contoh, blokade simpatik pada anestesi spinal sering
2-6 tingkat lebih tinggi dari tingkat sensorik, jadi pasien dengan blokade
sensorik setinggi T4 dapat lengkap memblokade serabut akselerator jantung pada
T1-T4(16). Blokade pada serabut ini dapat menghasilkan bradiarritmia
yang bervariasi yang akan dibahas lebih lanjut.
Efek yang lebih penting dari
inhibisi efferen simpatis pada waktu spinal anestesi atau epidural anestesi
adalah penurunan cardiac venous return.
Baron dkk(4), menemukan bahwa tonus vagal jantung berubah terutama
akibat penurunan venous return. Efek
spinal anestesi pada venous return sangat besar. Dilaporkan adanya
penurunan 36% tekanan atrium kanan pada blokade spinal rendah (dibawah T4) dan
53% pada blokade yang lebih tinggi(11). Dengan hilangnya cairan
intravaskuler, efek ini menjadi lebih dramatis. Sebagai contoh, dengan hilangnya
10 ml whole blood per kilogram berat
badan pada penelitian, terjadi penurunan tekanan vena sentral rata-rata 66% pada
waktu anestesi spinal(10).
Penurunan preload ini dapat memicu refleks yang dapat
menyebabkan bradikardi berat. Ada tiga refleks yang diusulkan(13). Yang pertama, melibatkan regangan
pacemaker. Tingkat denyutan sel ini pada miokardium sebanding
dengan derajat regangannya. Penurunan venous
return mengakibatkan penurunan regangan dan denyut jantung yang lebih lambat. Reflek kedua dapat
dihubungkan dengan denyutan dengan tekanan yang rendah pada baroreseptor atrium
kanan dan vena cava. Yang ketiga adalah reflek paradoks Bezold-Jarisch, dimana mekanoreseptor
pada ventrikel kiri terstimulasi dan menyebabkan bradicardia.
Bradikardi akibat stimulasi vagal
telah dibuktikan pada penelitian. Jacobsen dkk(4), meneliti efek
enestesi epidural terhadap diameter ventrikel kiri dengan ekokardiografi pada 8
sukarelawan muda tanpa premedikasi. Dua dari mereka terjadi bradikardi dan
hipotensi setelah 25 menit dengan anestesi setinggi T8 dan T9. kondisi ini
berhubungan dengan penurunan sampai 22% diameter ventrikel kiri. Pada kedua
kasus ini, perubahan ini dibalikkan dengan
tinggi posisi kepala dan kecepatan pemberian cairan IV. Human Pancreatic Polypeptide digunakan sebagai penanda aktifitas
parasimpatis dan peningkatan marker yang bersamaan dengan penurunan heart rate ini konsisten dengan aktifasi
vagal.
Apakah refleks tersebut lebih
mengakibatkan penurunan preload daripada bradikardi? Penelitian efek
hemodinamik pada hipovolemi yang bertahap menunjukkan gejala vagal yang
progresif termasuk berkeringat, mual dan syncope
(pingsan) (14). Akibat penurunan tekanan vena sentral sebanding
dengan gejala vagal yang muncul pada waktu anestesi spinal(10,11).
Satu dari tujuh subjek sehat menunjukkan
adanya gejala vagal yang berkembang menjadi sinus
arrest yang mendadak(4). Pada
penelitian yang terpisah, dua subjek sehat mengalami berhentinya gejala vagal
setelah mendapatkan 10 ml/kgBB darah saja
untuk menstimulasi kehilangan darah akut dengan blok sensorik epidural setinggi
T4-T6(15).
Bersama-sama, penelitian ini
menunjukkan bahwa penurunan preload dapat menimbulkan bukan hanya gejala vagal
klasik, tetapi juga henti jantung menyeluruh. Meskipun ada asumsi bahwa
mengontrol preload pada waktu anestesi spinal atau epidural merupakan praktek
seragam yang dilakukan oleh ahli anestesi, literatur menunjukkan sebaliknya. Geffin
dan Shappiro (3) melaporkan bahwa pemberian preload profilaktik
300-750 ml bolus tidak dilakukan selama 5 tahun dalam penelitiannya ketika
dijumpai 13 kasus bradikardi berat atau henti jantung pada waktu anestesi
spinal atau epidural. Henti jantung juga dilaporkan pada keadaan dimana
penurunan afterload bertambah setelah dimulainya pemberian anestesi epidural.
Sebuah laporan tentang bradikardi / henti jantung pada anestesi spinal atau
epidural menunjukkan bahwa 5
kejadian ini berhubungan dengan pemberian infus sodium nitroprusside dan tercatat
ada 2 kasus penurunan tekanan arteri pulmonalis sebelum timbulnya onset
bradikardi.
Karena tingginya tingkat
aktivitas vagal jantung dapat muncul pada waktu anestesi spinal (16),
pasien dengan tonus vagal istirahat yang tinggi memiliki risiko yang tinggi
terjadi henti jantung pada waktu anestesi spinal. Kondisi vagotonia
didiskripsikan sebagai situasi klinis bradikardi saat istirahat, AV blok, atau
disosiasi AV komplit yang dijumpai pada 7% populasi(20). Pada pasien
vagotonik, asistole dapat muncul ketika dilakukan prosedur yang dapat
meningkatkan aktifitas vagal(3,12,16,20,21).
Ditemukan adanya bukti bahwa
faktor pasien yang lain meningkatkan risiko efek vagal kuat yang mengakibatkan
bradikardi dan henti jantung pada waktu anestesi spinal. Bradikardi moderat pada
waktu anestesi spinal didefinisikan sebagai denyut jantung < 50 x/menit.
Anestesi spinal sendiri berhubungan dengan perlambatan jantung dan denyut
jantung dibawah 50 x/menit ditemukan pada 9-13 % pasien setelah pemberian
anestesi spinal(25).
Meskipun efek vagal terhadap denyut
jantung pada waktu anestesi spinal biasanya ringan, perubahan yang lebih besar
dapat terjadi. Bradiaritmi berat dilaporkan pada blokade simpatis setinggi spinal
T4. Secara terpisah, anestesi spinal berhubungan dengan memburuknya blok
jantung derajat I menjadi blok jantung derajat II(23) dan dengan
onset sick sinus syndrom yang manifes
setelah spinal anestesi(24). Blok jantung komplit dan henti jantung
merupakan keadaan terberat dari bradiaritmi yang dipicu vagal yang berhubungan
dengan anestesi spinal(25).
Jika henti jantung setelah
anestesi spinal merupakan ujung dari spektrum yang dimulai dari perlambatan
ringan denyut jantung, maka faktor-faktor yang berhubungan dengan bradikardi pada
waktu anestesi spinal dapat membantu dalam memprediksikan pasien dengan risiko
henti jantung pada waktu anestesi spinal. Carpenter dkk(9), melaporkan
pulsasi terendah < 60 x/menit berhubungan dengan penoingkatan 5 kali
terjadinya bradikardi moderat pada waktu
anestesi spinal. Biasanya, pasien muda memiliki tonus vagal kuat, dan dengan status
fisik pasien ASA I memiliki peningkatan risiko 3 kali dijumpainya bradikardi
moderat pada waktu anestesi spinal. Terapi dengan β-blocker atau blok diatas T6 juga merupakan faktor risiko
penting bradikardi yang teridentifikasi pada penelitian ini. Penelitian lain
menyatakan pasien dengan usia < 50 tahun (22) dan pasien dengan
blok jantung derajat I (26) juga mempunyai peningkatan risiko
terjadinya bradikardi moderat pada waktu anestesi spinal. Faktor risiko ini
tercantum pada Table 1.
Memburuknya bradikardi sering tercatat
sebelum onset henti jantung pada waktu anestesi spinal(1,5).
Meskipun bradikardi ini merupakan gambaran sederhana progresi dari sinus rhythm ke
asistole yang tidak bisa ditawar, keadaan ini juga memungkinkan bahwa
bradikardi memberikan petunjuk penting mengenai etiologi dan terapi paling tepat untuk henti jantung ini. Sebagai
contoh, bradikardi berat dapat mewakili
penanda blokade simpatis yang ekstensif. Ini didukung dengan observasi pada 40
% pasien dengan spinal anestesi diatas T4 ditemukan bradikardi moderat(4).
Sebagai tambahan, bradikardi dapat membantu mengidentifikasi pasien dengan
tonus vagal berlebihan yang disebabkan oleh sebab lainnya seperti athlethic heart syndrome(20) atau deplesi volume sentral(14).
Faktor yang diketahui
meningkatkan risiko bradikardi moderat pada waktu anestesi spinal dapat membantu mengidentifikasi pasien yang
berisiko terjadi henti jantung pada waktu anestesi spinal. Untuk menguji adanya
hubungan antara keduanya, ada atau tidaknya faktor ini ditinjau dengan
mengkombinasi kasus asystole atau bradikardi
berat setelah anestesi spinal yang dilaporkan oleh Geffin dan Shapiro(3),
Mackey dkk(13), dan Lovstad dkk(27) pada tabel 2.
Setelah mengeluarkan pasien nomor 7 (satu-satunya pasien yang mendapatkan
anestesi epidural) reevaluasi kasus ini dengan faktor risiko pada tabel 1,
mengarahkan bahwa pasien-pasien ini merupakan profil risiko tinggi (lihat tabel 2). Setidaknya
satu faktor risiko bradikardi didokumentasikan pada 17 dari 20 pasien yang
mendapatkan anestesi spinal dan separuh dari kasus ini (10 dari 20 pasien) sedikitnya
mempunyai 2 faktor risiko pada laporan kasus ini. 10 pasien dengan usia < 50
tahun, 9 dengan level sensorik diatas T6, 5 dengan status fisik ASA I, 3 mendapatkan β-bloker dan 2 mempunyai denyut jantung
< 60 x/menit. Tabel 2 kurang sesuai denagn angka aktual faktor risiko
bradikardi, karena informasi relevan mengenai status fisik ASA dan EKG pokok
sebelum spinal anestesi (denyut
jantung dan interval PR) tidak dilaporkan.
Faktor risiko yang tercantum
pada tabel 1 juga sering diobservasi pada laporan kasus yang
representatif(2,12,21,25) yang tersedia pada pencari literatur
menggunakan PubMed. Kira-kira separuh
dari kasus ini, sedikitnya teridentifikasi 2 faktor risiko bradikardi. Pola
konsisten ini menyarankan bahwa faktor risiko bradikardi dapat membantu
mengidentifikasi pasien yang diduga lebih dapat terjadi predominan tonus vagal
yang mengakibatkan gagal sirkulasi dan asistole pada waktu spinal anestesi.
Adanya faktor risiko tunggal pada tabel 1 tidak dapat memastikan pasien
akan mengalami bradikardi berat atau henti jantung. Meskipun demikian, jika 2
atau lebih faktor yang tercantum pada tabel 1 dijumpai pada pasien dipertimbangkan
beresiko tinggi terjadi bradikardi dan henti jantung selama anestesi spinal.
Sering dua atau lebih
faktor-faktor ini dijumpai pada pasien yang mendapatkan anestesi spinal atau
epidural untuk analgesi persalinan atau cesar. Dengan kesamaan antara anestesi
spinal dan epidural seseorang dapat mengalami henti jantung yang sama pada
anestesi epidural. Penurunan kejadian henti jantung yang berhubungan dengan
anestesi spinal dibandingkan dengan anestesi epidural merupakan temuan yang
relatif baru yang belum dapat dijelaskan(5). Salah satu kemungkinan
adalah pemberian dosis dan onset lambat anestesi epidural dapat memberikan waktu
untuk mekanisme kompensasi (misalnya, vasokonstriksi tubuh bagian atas) untuk
mengkompensasi penuruan preload. Kemungkinan lain, perubahan fisiologis akibat kehamilan
mungkin membantu menerangkan tingkat henti jantung yang kecil yang ditemukan
pada keadaan ini. Kehamilan berhubungan dengan perubahan kontrol autonom dan keadaan
denyut jatung 90-95 x/menit. Kondisi
ini mungkin berperan terhadap penurunan
tonus parasimpatis selama kehamilan(28). Jika dominasi vagal
berperan penting pada henti jantung yang muncul pada waktu anestesi spinal atau
epidural, maka tonus vagal yang lebih lemah akibat kehamilan dapat menurunkan
risiko ini.
Meskipun banyak faktor yang
dapat mengakibatkan henti jantung pada waktu anestesi spinal, mekanisme paling
umum adalah dominasi vagal. Seleksi pasien yang lebih teliti dapat menurunkan risiko henti jantung
selama anestesi spinal. Misalnya, sangatlah tepat untuk mempertimbangkan ulang penggunaan anestesi spinal pada pasien
vagotonia. Demikian pula, sangatlah
bijaksana untuk mempertimbangkan teknik yang berbeda jika terjadi kehilangan
darah yang signifikan atau di antisipasi dengan penggunaan vasodilator. Sulit
untuk mengetahui seberapa besar pengaruh yang diberikan oleh faktor-faktor ini,
tetapi patut dipertimbangkan, ketika memilih teknik anestesi yang paling tepat pada individu.
Jika anestesi spinal telah
dipilih untuk pasien, memelihara preload yang adekuat merupakan untuk kunci
menurunkan risiko bradikardi dan henti jantung pada kasus ini. Observasi dari
penelitian fisiologis(14,15) dan banyak laporan kasus(3,4)
menegaskan pentingnya volume loading dan penggantian kehilangan cairan yang
tepat. Penurunan preload dapat terjadi sangat cepat dengan perubahan posisi,
pelepasan torniquet dan tindakan umum perioperatif lainnya dimana tidak mungkin
ada waktu yang untuk memberikan volume
cairan yang cukup dalam beberapa menit. Jika dicurigai terjadi penurunan
preload secara tiba-tiba, memposisikan pasien dengan kepala lebih rendah dan
pemberian cairan cepat dapat membantu(15,18). Jika ini tidak memungkinkan, atau jika tidak
ada penurunan gejala vagal, pemberian vasopressor atau
atropine adalah tepat. Mengantisipasi henti jantung yang tertunda dapat sangat
sulit, karena defisit preload yang besar dan peningkatan tonus vagal yang
muncul dapat hanya bermanifes bradikardi saja pada permulaan. Menangani
bradikardi ringan (denyut jantung < 60 x/menit) pada waktu anestesi spinal sangat
tepat, terutama jika pasien mempunyai banyak faktor risiko yang tercantum pada tabel
1.
Atropin dapat direkomendasikan
untuk menangani bradikardi pada waktu anestesi spinal karena glikopirolat tidak
efektif pada keadaan ini(4). Penanganan bradikardi dengan atropin
dapat menurunkan morbiditas henti jantung yang terjadi pada waktu anestesi
spinal. Brown dkk(24), melaporkan 3 henti jantung pada suatu waktu
ketika 10.080 anestesi spinal dilakukan tanpa episode henti jantung akibat
cedera saraf. Hal ini berhubungan dengan kewaspadaan dan kemeuan mereka untuk
menggunakan atropin IV (0,4-0,6 mg), efedrin (25-50 mg) dan epinefrin (0,2-0,3
mg) sebagai terapi yang diberikan secara berurutan ketika dijumpai bradikardi
mengikuti anestesi spinal. Demikian pula,
Geffin dan Shapiro(3) melaporkan perbaikan penuh pada 12 pasien
bradikardi atau asistole yang diterapi setelah anestesi spinal. Penanganan ini
termasuk pemberian atropin pada 11 dari 12 kasus. Biasanya diberikan sebagai
kombinasi dengan vasopressor (efedrin, epinefrin atau fenilefrin)(3).
Lovstad dkk(27) melaporkan pemberian vagolitik secara agresif dengan
atropin dan efedrin juga digunakan pada 5 resusitasi yang sukses. Bersamaan
dengan itu, hal ini mewakili 20 resusitasi yang berhasil pada kondisi dimana
atropin digunakan sebagai terapi utama.
Sayangnya, tidak semua henti
jantung yang muncul pada waktu anestesi spinal dapat sukses ditangani, dan
henti jantung yang fatal masih terjadi pada pasien yang sehat. Baru-baru ini, pasien
berusia 17 tahun (ASA I) terjadi henti jantung pada arthroskopi lutut
menggunakan anestesi spinal dan tidak dapat teresusitasi meskipun dilakukan
usaha resusitasi yang adekuat(27). Jika bradikardi berat atau henti jantung total terjadi setelah
dilakukan anestesi spinal, pemberian segera epinefrin sangat diperlukan. Vasodilatasi akibat anaestesi spinal dapat
menyebabkan resusitasi spinal tidak efektif. Resusitasi yang sukses memerlukan
gradien tekanan perfusi koroner 15-20 mmHg dan pada waktu anestesi spinal
mungkin dibutuhkan epinefrin 0.01-0,1 mg/kg(30). Saat ini, epinefrin
hanya diberikan antara 25-40% pada kasus henti jantung pada waktu anestesi
spinal dan lebih dari 25% dari kasus henti jantung ini fatal(3,5).
Dianjurkan untuk menggunakan epinefrin yang lebih awal dan lebih konsisten(1,29,30)
dan dapat memberikan hasil yang baik pada henti jantung pada waktu anestesi
spinal.
Kesimpulan
Meskipun banyak faktor dapat mengakibatkan henti jantung pada waktu
anestesi spinal, respon vagal menurunkan preload sering merupakan kunci utama.
Pasien dengan faktor risiko bradikardi atau gejala vagal yang jelas pada waktu
anestesi spinal kelihatannya meningkatkan risiko henti jantung pada waktu
anestesi spinal. Informasi ini memiliki maksud penting. Sebagai contoh, potensi
terjadinya dominasi vagal sebaiknya dipertimbangkan ketika akan dilakukan
anestesi spinal pada pasien tertentu. Ketika dipilih anestesi spinal,
pemeliharaan preload sebaiknya lebih diprioritaskan, dan preload profilaktik
berupa bolus cairan IV, sebaiknya tidak diabaikan sebelum dilakukan anestesi
spinal. Regimen standar untuk preload volume tidak cukup untuk memelihara
preload yang adekuat, jadi ambang rendah pemberian cairan bolus tambahan, dengan menggunakan vasopressor atau mengatur posisi pasien untuk
meningkatkan venous return, adalah
tepat. Pada pasien bradikardi pada waktu anestesi spinal, peningkatan secara
bertahap terapi bradikardi menggunakan atropin (0,4-0,6 mg), efedrin (25-50 mg)
dan jika diperlukan, epinefrin (0,2-0,3 mg). Pada bradikardi berat atau henti
jantung, pemberian penuh dosis resusitasi epinefrin sebaiknya segera diberikan.
Dengan populernya anestesi spinal dan frekuensi henti jantung yang dilaporkan, pengaruh
potensial intervensi ini terhadap perbaikan keamanan anestesi spinal menjadi
sangat penting.
Tabel 1. Faktor Risiko Bradikardi Moderat (nadi
<50 x/menit)
pada
enestesi Spinal
Denyut jantung/nadi
awal <60 x/menit
Status fisik ASA I
(vs ASA III atau IV)
Penggunaan obat β-bloker
Blokade sensorik
diatas T6
Usia <50
tahun
Pemanjangan
interval PR
|
Tabel 2. Faktor Risiko Bradikardi yang Dijumpai
pada Pasien Bradikardi Berat
atau Henti Jantung pada Anestesi Spinal
Penelitian
|
Pasien
|
Faktor Risiko
Bradikardi (faktor Lain)
|
Geffin dan Shapiro
Mackey dkk
Lovstad dkk
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
|
-
ASA
I, usia < 50 tahun
Menggunakan
β-blocker
-
ASA I, usia < 50 tahun, blokade sensorik diatas T6
ASA I, usia < 50 tahun, nadi awal < 60 x/menit
(tidak dimasukkan, mendapatkan anestesi epidural)
Usia < 50 tahun, blokade sensorik diatas T6
ASA I, usia < 50 tahun, nadi awal < 60 x/menit
-
ASA
I, usia < 50 tahun
Menggunakan
β-blocker
Usia < 50 tahun
Usia < 50 tahun, blokade sensorik diatas T6
Menggunakan β-blocker, blokade sensorik diatas T6
Blokade sensorik diatas T6
Usia < 50 tahun, blokade sensorik diatas T6
Blokade sensorik diatas T6
Blokade sensorik diatas T6
-
Usia
< 50 tahun, blokade sensorik diatas T6
|
JURNAL
HENTI
JANTUNG PADA ANESTESI SPINAL:
MEKANISME
UMUM DAN STRATEGI PENCEGAHAN
Diterjemahkan dari Judul Asli:
Cardiac
Arrest During Spinal Anesthesia:
Common
Mechanisms and Strategies for Prevention
Disusun
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik
Bagian
Anesthesiologi di RSUD Djojonegoro Temanggung

Pembimbing:
dr.
Uud Saputro, Sp.An
Disusun Oleh:
M. Hidayat Budi Kusuma 20000310112
Dian
Asih 20010310089
Eny Guspita 20010310121
SMF
ANESTESI DAN REANIMASI
RSUD
DJOJONEGORO TEMANGGUNG
FAKULTAS
KEDOKTERAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2006
LEMBAR PENGESAHAN
HENTI
JANTUNG PADA ANESTESI SPINAL:
MEKANISME UMUM DAN STRATEGI
PENCEGAHAN
Disusun
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik
Bagian Anesthesiologi di RSUD Djojonegoro
Temanggung
Disusun Oleh:
M. Hidayat Budi
Kusuma 20000310112
Dian Asih 20010310089
Eny Guspita 20010310121
Telah
dipresentasikan dan disetujui pada
Hari :
Tanggal :
Mengetahui,
Pembimbing
(dr.
Uud Saputro, Sp.An)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar