Sabtu, 27 Agustus 2016

Pertunjukan Ikan PAUS Raksasa Terbesar

kejadian unik saat mancing

Kerajaan Coklat Asli Benar Adanya

Supir Truk Gila Dan Nekat Lewati Jembatan Kayu

Singa MAKAN Leopard

Alat Berat Terbesar Di Dunia,Bego Raksasa

Tabrakan Kapal Laut Terbesar Di Dunia

Balita Naik MOGE seperti orang Dewasa Lucu

Orang Mabuk Bikin Olah.... LUCU

Video Lucu Orang-orang Arab

Sajadah bisa Sholat Subhanallah!!! Keajaiban Allah

Game GTA di Dunia Nyata, Balap Mobil Liar VS Polisi

Laut Merah Darah karena Pembantaian Ikan Paus Raksasa

Selasa, 16 Agustus 2016

referat Neonatus



PENDAHULUAN
Neonatus adalah masa kehidupan pertama di luar rahim sampai dengan usia 28 hari, dimana terjadi perubahan yang sangat besar dari kehidupan didalam rahim menjadi diluar rahim. Pada masa ini terjadi pematangan organ hampir pada semua system.
Neonatus bukanlah miniatur orang dewasa, bahkan bukan pula miniatur anak. Neonatus mengalami masa perubahan dari kehidupan didalam  rahim yang serba tergantung pada ibu menjadi kehidupan diluar rahim yang serba mandiri. Masa perubahan yang paling besar terjadi selama jam ke 24-72 pertama. Transisi ini hampir meliputi semua sistem organ tapi yang terpenting bagi anestesi adalah system pernafasan sirkulasi, ginjal dan hepar.
            Maka dari itu sangatlah diperlukan penataan dan persiapan yang matang untuk melakukan suatu tindakan anestesi terhadap neonatus.

SISTEM PERNAFASAN

Jalan Nafas :
            Otot leher bayi masih lembek, leher lebih pendek, sulit menyangga atau memposisikan kepala dengan tulang occipital yang menonjol. Lidah besar, epiglottis berbentuk “U” dengan proyeksi lebih ke posterior dengan sudut ± 450, relative lebih panjang dan keras, letaknya tinggi, bahkan menempel pada palatum molle sehingga cenderung bernafas melalui hidung. Akibat perbedaan anatomis epiglottis tersebut, saat intubasi kadangkala diperlukan pengangkatan epiglottis untuk visualisasi. Sementara lubang hidung, glottis, pipa tracheobronkial relative sempit, meningkatkan resistensi jalan nafas, mudah sekali tersumbat oleh lender dan edema. Trachea pendek, berbentuk seperti corong dengan diameter tersempit pada bagian cricoid. (Cote CJ,2000)


Pernafasan :
            Sangkar dada lemah dan kecil dengan iga horizontal. Diafragma terdorong keatas oleh isi perut yang besar. Dengan demikian kemampuan dalam memelihara tekanan negative intrathorak dan volume paru rendah sehingga memudahkan terjadinya kolaps alveolus serta menyebabkan neonatus bernafas secara diafragmatis. Kadang-kadang tekanan negative dapat timbul dalam lambung pada waktu proses inspirasi, sehingga udara atau gas anestesi mudah terhirup ke dalam lambung. Pada bayi yang mendapat kesulitan bernafas dan perutnya kembung dipertimbangkan pemasangan pipa lambung.
            Karena pada posisi terlentang dinding abdomen cenderung mendorong diafragma ke atas serta adanya keterbatasan pengembangan paru akibat sedikitnya elemen elastis paru, maka akan menurunkan FRC (Functional Residual Capacity)  sementara volume tidalnya relative tetap. Untuk meningkatkan ventilasi alveolar dicapai dengan cara menaikkan frekuensi nafas, karena itu neonatus mudah sekali gagal nafas. Peningkatan frekuensi nafas juga dapat akibat dari tingkat metabolisme pada neonatus yang relative tinggi, sehingga kebutuhan oksigen juga tinggi, dua kali dari kebutuhan orang dewasa dan ventilasi alveolar pun relative lebih besar dari dewasa hingga dua kalinya. Tingginya konsumsi oksigen dapat menerangkan mengapa desaturasi O2 dari Hb terjadi lebih mudah atau cepat, terlebih pada premature, adanya stress dingin maupun sumbatan jalan nafas.


SISTEM SIRKULASI DAN HEMATOLOGI
            Aliran darah fetal bermula dari vena umbilikalis, akibat tahanan pembuluh paru yang besar (lebih tinggi dibanding tahanan vaskuler sistemik =SVR) hanya 10% dari keluaran ventrikel kanan yang sampai paru, sedang sisanya (90%) terjadi shunting kanan ke kiri melalui ductus arteriosus Bottali.
            Pada waktu bayi lahir, terjadi pelepasan dari plasenta secara mendadak (saat umbilical cord dipotong/dijepit), tekanan atrium kanan menjadi rendah, tahanan pembuluh darah sistemik (SVR) naik dan pada saat yang sama paru mengembang, tahanan vaskuler paru menyebabkan penutupan foramen ovale (menutup setelah beberapa minggu), aliran darah di ductus arteriosus Bottali berbalik dari kiri ke kanan. Kejadian ini disebut sirkulasi transisi. Penutupan ductus arteriosus secara fisiologis terjadi pada umur bayi 10-15 jam yang disebabkan kontraksi otot polos pada akhir arteri pulmonalis dan secara anatomis pada usia 2-3 minggu.
            Pada neonatus reaksi pembuluh darah masih sangat kurang, sehingga keadaan kehilangan darah, dehidrasi dan kelebihan volume juga sangat kurang ditoleransi. Manajemen cairan pada neonatus harus dilakukan dengan secermat dan seteliti mungkin. Tekanan sistolik merupakan indicator yang baik untuk menilai sirkulasi volume darah dan dipergunakan sebagai parameter yang adekuat terhadap penggantian volume. Autoregulasi aliran darah otak pada bayi baru lahir tetap terpelihara normal pada tekanan sistemik antara 60-130 mmHg. Frekuensi nadi bayi rata-rata 120 kali/menit dengan tekanan darah sekitar 80/60 mmHg.

SISTEM EKSKRESI DAN ELEKTROLIT
            Akibat belum matangnya ginjal neonatus, filtrasi glomerulus hanya sekitar 30% disbanding orang dewasa. Fungsi tubulus belum matang, resorbsi terhadap natrium, glukosa, fosfat organic, asam amibo dan bikarbonas juga rendah. Bayi baru lahir sukar memekatkan air kemih, tetapi kemampuan mengencerkan urine seperti orang dewasa. Kematangan filtrasi glomerulus dan fungsi tubulus mendekati lengkap sekitar umur 20 minggu dan kematangannya sedah lengkap setelah 2 tahun.. (Cote CJ,2000)
            Karena rendahnya filtrasi flomerulus, kemampuan mengekskresi obat-obatan juga menjadi diperpanjang. Oleh karena ketidakmampuan ginjal untuk menahan air dan garam, penguapan air, kehilangan abnormal atau pemberian air tanpa sodium dapat dengan cepat jatuh pada dehidrasi berat dan ketidakseimbangan elektrolit terutama hiponatremia. (Warih,1992)
            Pemberian cairan dan perhitungan kehilangan atau derajat dehidrasi diperlukan kecermatan lebih disbanding pada orang dewasa. Begitu pula dalam hal pemberian elektrolit, yang biasa disertakan pada setiap pemberian cairan.

FUNGSI HATI
            Fungsi detoksifikasi obat masih rendah dan metabolisme  karbohidrat yang rendah pula yang dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia dan asidosis metabolic. Hipotermia dapat pula menyebabkan hipoglikemia.
            Cadangan glikogen hati sangat rendah. Kadar gula normal pada bayi baru lahir adalah 50-60%. Hipoglikemia pada bayi (dibawah 30 mg%) sukar diketahui tanda-tanda klinisnya, dan diketahui bila ada serangan apnoe atau terjadi kejang. Sintesis vitamin K belum sempurna. Pada pemberian cairan rumatan dibutuhkan konsentrasi dextrose lebih tinggi (10%). Secara rutin untuk bedah bayi baru lahir dianjurkan pemberian vitamin K 1 mg i.m.hati-hati penggunaan opiate dan barbiturate, karena kedua obat tersebut dioksidasi dalam hati.

SISTEM SYARAF
            Waktu perkembangan system syaraf, sambungan syaraf, struktur otak dan myelinisasi akan berkembang pada trimester tiga (myelinisasi pada neonatus belum sempurna, baru matang dan lengkap pada usia 3-4 tahun), sedangkan berat otak sampai 80% akan dicapai pada umur 2 tahun. Waktu-waktu ini otak sangat sensitive terhadap keadaan-keadaan hipoksia.
            Persepsi tentang rasa nyeri telah mulai ada, namun neonates belum dapat melokalisasinya dengan baik seperti pada bayi yang sudah besar. Sebenarnya anak mempunyai batas ambang rasa nyeri yang lebih rendah disbanding orang dewasa.
            Perkembangan yang belum sempurna pada neuromuscular junction dapat mengakibatkan kenaikan sensitifitas dan lama kerja dari obat pelumpuh otot non depolarizing.
            Syaraf simpatis belum berkembang dengan baik sehingga parasimpatis lebih dominant yang mengakibatkan kecenderungan terjadinya refleks vagal (mengakibatkan bradikardia; nadi <110 kali/menit) terutama kalau bayi dalam keadaan hipoksia maupun bila aad stimulasi daerah nasofaring. Sirkulasi bayi baru lahir stabil setelah berusia 24-48 jam.
            Belum sempurnanya mielinisasi dan kenaikan permeabilitas blood brain barrier akan menyebabkan akumulasiobat-obatan seperti barbiturat dan narkotik, dimana mengakibatkan aksi yang lama dan depresi pada periode pasca anestesi.
            Sisa dari blok obat relaksasi otot dikombinasikan dengan zat anestesi IV dapat menyebabkan kelelahan otot-otot pernafasan, depresi pernafasan dan apnoe pada periode pasca anestesi.
            Setiap keadaan bradikardia harus dianggap berada dalam keadaan hipoksia dan harus cepat diberikan oksigenasi. Kalau pemberian oksigen tidak menolong baru dipertimbangkan pemberian sulfas atropine.

PENGATURAN TEMPERATUR
            Pusat pengaturan suhu di hypothalamus belum berkembang, walaupun sudah aktif. Kelenjar keringat belum berfungsi normal, mudah kehilangan panas tubuh (perbandingan luas permukaan dan berat badan lebih besar, tipisnya lemak subkutan, kulit lebih permeable terhadap air), sehingga neonatus sulit mengatur suhu tubuh dan sangat terpengaruh oleh suhu lingkungan (bersifat poikilotermik). Produksi panas mengandalkan pada proses non-shivering thermogenesis yang dihasilkan oleh jaringan lemak coklat yang terletak diantara scapula, axila, mediastinum dan sekitar ginjal. Hipoksia mencegah produksi panas dari lemak coklat (Morgan HAH,1993)
            Hipotermia dapat terjadi akibat dehidrasi, suhu sekitar yang panas, selimut atau kain penutup yang tebal dan pemberian obat penahan keringat (misal: atropin, skopolamin). Adapun hipotermia bisa disebabkan oleh suhu lingkungan yang rendah, permukaan tubuh terbuka, pemberian cairan infuse/ tranfusi darah dingin, irigasi oleh cairan dingin, pengaruh obat anestesi umum (yang menekan pusat regulasi suhu) maupun obat vasodilator.
            Temperature lingkungan yang direkomendasikan untuk neonatus adalah 270C. Paparan dibawah suhu ini akan mengandung resiko diantaranya: cadangan energi protein akan berkurang, adanya pengeluaran katekolamin yang dapat menyebabkan terjadinya kenaikan tahanan vaskuler paru dan perifer, lebih jauh lagi dapat menyebabkan lethargi, shunting kanan ke kiri, hipoksia dan asidosis metabolic.
            Untuk mencegah hipotermia bias ditempuh dengan : memantau suhu tubuh, mengusahakan suhu kamar optimal atau pemakaian selimut hangat, lampu penghangat, incubator, cairan intra vena hangat, begitu pula gas anestesi, cairan irigasi maupun cairan antiseptic yang digunakan yang hangat.

FARMAKOLOGI
            Farmakokinetik dan farmakodinamik dari obat-obat yang diberikan pada neonatus berbeda  disbanding dengan dewasa karena pada neonatus :
1.      Perbandingan volume cairan intravaskuler terhadap cairan ekstravaskuler berbeda dengan orang dewasa.
2.      Laju filtrasi glomerulus masih rendah
3.      Laju metabolisme yang tinggi
4.      Kemampuan  obat berikatan dengan protein masih rendah
5.      Liver/hati yang masih immature akan mempengaruhi proses biotransformasi obat.
6.      Aliran darah ke organ relative lebih banyak (seperti pasa otak, jantung, liver dan ginjal)
7.      Khusus pada anestesi inhalasi, perbedaan fisiologi system pernafasan : ventilasi alveolar tinggi, Minute volume, FRC rendah, lebih rendahnya MAC dan koefisien partisi darah/gas akan meningkatkan potensi obat, mempercepat induksi dan mempersingkat pulih sadarnya. Tekanan darah cenderung lebih peka terhadap zat anestesi inhalsi mungkin karena mekanisme kompensasi yang belum sempurna dan depresi miokard hebat.

Beberapa obat golongan barbiturat dan agonis opiate agaknya sangat toksisk pada neonatus disbanding dewasa. Hal ini mungkin karena obat-obat tersebut sangat mudah menembus sawar darah otak, kemampuan metabolisme masih rendah atau kepekaan pusat nafas sangat tinggi. Sebaliknya neonatus tampaknya lebih tahan terhadap efek ketamin.
            Bayi umumnya  membutuhkan dosis suksisnil cholin relative lebih tinggi disbanding dewasa karena ruang extraselulernya relative lebih besar. Respon terhadap pelumpuh otot non deplarisasi cukup bervariasi.


PERSIAPAN ANESTESI
            Sebelum anestesi dan pembedahan dilaksanakan, keadaan hidrasi, elektrolit, asam basa harus berada dalam batas-batas normal atau mendekati normal. Sebagian pembedahan bayi baru lahir merupakan kasus gawat darurat. Proses transisi sirkulasi neonatus, penurunan PVR (Pulmonary Vascular Resistance) berpengaruh pada status asam-basanya.
            Transportasi neonatus dari ruang perawatan ke kamar bedah sedapat mungkin menggunakan incubator yang telah dihangatkan. Sebelum bayi masuk kamar bedah hangatkan kamar dengan mematikan AC misalnya.
            Peralatan anestesi neonatus  bersifat khusus. Tahanan terhadap aliran gas harus rendah, anti obstruksi, ringan dan mudah dipindahkan. Untuk anestesi yang lama, kalau mungkin gas-gas anestetik dihangatkan, dilembabkan dengan pelembab listrik. Biasanya digunakan system anestesi semi-open modifikasi system pipa T dari Ayre yaitu peralatan dari Jackson-Rees.

Puasa
            Puasa yang lama menyebabkan dehidrasi dan hipoglikemia. Lama puasa yang dianjurkan adalah stop susu 4 jam dan berilah air gula 2 jam sebelum anestesi. (Abdul Latief,1991)

Infus
            Dipasang untuk memenuhi kebutuhan cairan karena puasa, mengganti cairan yang hilang akibat trauma bedah, akibat perdarahan, dll. Untuk pemeliharaan digunakan preparat D5%-10% dalam cairan elektrolit.
            Neonatus terutama bayi premature mudah sekali mengalami dehidrasi akibat puasa lama atu sulit minum, kehilangan cairan lewat gastrointestinal, evaporasi (Insensible water loss), tranduksi atau sekuestrasi cairan ke dalam lumen usus atau kompartemen tubuh lainnya. Dehidrasi/hipovolemia sangat mudah terjadi karena luas permukaan tubuh dan kompartemen atau volume cairan ekstra seluler relative lebih besar serta fingsu ginjal belum matang.
            Cairan pemeliharaan/pengganti karena puasa diberikan dalam waktu 3 jam, jam I 50% dan jam II, III maing-masing 25%. Kecukupan hidrasi dapat dipantau melalui produksi urin (>0,5ml/kgBB/jam), berat jenis urin (<1,010) ,aupun dengan pemasangan CVP (Central Venous Pressure).

Premedikasi
Sulfas Atropine
            Hampir selalu diberikan terutama pada penggunaan Halotan, Enfluran, Isofluran, suksinil cholin atau eter. Dosis atropine 0,02 mg/kg, minimal 0,1 mg dan maksimal 0,5 mg. lebih digemari secara intravena dengan pengenceran. Hati-hati pada bayi demam, takikardi, dan keadaan umumnya jelek.



Penenang
            Tidak dianjurkan,  karena susunan syaraf pusat belum berkembang, mudah terjadi depresi, kecuali pasca anestesi dirawat diruang perawatan intensif. (Abdul Latief,1993)

MASA ANESTESI
Induksi
            Pada waktu induksi sebaiknya ada yang membantu. Usahakan agar berjalan dengan trauma sekecil mungkin. Umumnya induksi inhalasi dengan Halotan-O2 atau Halotan-O2/N2O.

Intubasi
            Intubasi Neonatus lebih sulit karena mulut kecil, lidah besar-tebal, epiglottis tinggi dengan bentuk “U”. Laringoskopi pada neonatus tidak membutuhkan bantal kepala karena occiputnya menonjol. Sebaiknya menggunakan laringoskop bilah lurus-lebar dengan lampu di ujungnya. Hati-hati bahwa bagian tersempit jalan nafas atas adalah cincin cricoid. Waktu intubasi perlu pembantu guna memegang kepala. Intubasi biasanya dikerjakan dalam keadaan sadar (awake intubation) terlebih pada keadaan gawat atau diperkirakan akan dijumpai kesulitan. Beberapa penulis menganjurkan intubasi sadar untuk bayi baru lahir dibawah usia 10-14 hari atau pada bayi premature. Yang berpendapat dilakukan intubasi tidur atas pertimbangan dapat ditekannya trauma, yang dapat dilakukan dengan menggunakan ataupun tanpa pelumpuh otot. Pelumpuh otot yang digunakan adalah suksinil cholin 2 mg/kg secara iv atau im.
            Pipa trachea yang dianjurkan adalah dari bahan plastic, tembus pandang dan tanpa cuff. Untuk premature digunakan ukuran diameter 2-3 mm sedangkan pada bayi aterm 2,5-3,5 mm. idealnya menggunakan pipa trachea yang paling besar yang dapat masuk tetapi masih sedikit longgar sehingga dengan tekanan inspirasi 20-25 cmH2O masih sedikit bocor. (Adipradja K, 1998)

Pemeliharaan Anestesi
            Dianjurkan dengan intubasi dan pernafasan kendali. Pada umunya menggunakan gas anestesi N2O/O2 dengan kombinasi halotan, enfluran, isofluran ataupun sevofluran. Pelumpuh otot golongan non depol sangat sensitive sehingga harus diencerkan dan pemberiannya secara sedikit demi sedikit.

Pemantauan
  1. Pernafasan
-          Stetoskop prekordial
-          Pada nafas spontan, gerak daad, dan bag reservoir
-          Warna ekstremitas
  1. Sirkulasi
-          Stetoskop perikordial
-          Perabaan nadi
-          EKG  dan CVP
  1. Suhu
-          Rektal
  1. Perdarahan
-          isi dalam botol suction
-          Beda berat kassa sebelum dan sesudah kena darah
-          Periksa Hb dan Ht secara serial
  1. Air Kemih
-          Isi dalam kantong air kemih





PENGAKHIRAN ANESTESIA
            Pembersihan lender dalam rongga hidung dan mulut dilakukan secara hati-hati. Pemberian O2 100% selama 5-15 menit setelah agent dihentikan. Bila masih ada pengaruh obat pelumpuh obat non-depol, dapat dilakukan penetralan dengan neostigmin (0,04 mg/kg) bersama atropin (0,02 mg/kg). kemudian dilakukan ekstubasi.


KESIMPULAN

            Anestesi pada neonatus merupakan hal yang lain dari biasanya. Karena mereka bukanlah merupakan miniatur orang dewasa sehingga dalam melakukan tindakan anestesi diperlukan pengetahuan dan keterampilan khusus dan teliti dalam manajemennya.
            Perhatian khusus sangat diperlukan mengingat perbedaan anatomi, fisiologi dan farmakologi pada neonatus. Jadi sebelum dilakukan tindakan anestesi haruslah dipertimbangkan faktor sistem pernafasan, sirkulasi, ginjal, dan heparnya.
           











DAFTAR PUSTAKA

Abdul Latief, 1993. Penatalaksanaan Anestesi pada Bedah Akut Bayi Baru Lahir. Ha: Buku Kursus Penyegar dan Penambah Anestesi. Jakarta

Adipradja.K. 1998. Penatalaksanaan Anestesi pada Bedah Darurat Anak. Makalah Simposium Anestesi Pediatri, Bandung.

Cote, CJ. 2000. Pediatric Anaesthesia. 5th edition, Churchil Livingstone. Philadelphia.

Muhiman, Muhardi. Dkk. 1989. Anestesiologi. FKUI. Jakarta.

Warih BP, Abubakar M. 1992. Fisiologi pada Neonatus. dalam  : Kumpulan makalah Konas III IDSAI. Surabaya.

ANESTESI PADA NEONATUS




REFERAT

ANESTESI PADA NEONATUS





 
















Diajukan Kepada YTH :

Dr. H. Diding M. Syamsudin, Sp.An.
Dr. H. Dudik H, Sp.An.
Dr. Hj. Hermin P, Sp.An.




Disusun oleh :
Rachma Istiawan                  99310035
Dedi  Prasetya                       99310060


SMF ANESTESI
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RSUD MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
2004

SYOK NEUROGENIK



REFERAT

SYOK NEUROGENIK
Disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti
Program Pendidikan Profesi Bagian Anestesiologi
Di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta






 










Diajukan kepada :
Dr. H. Joko Murdiyanto, Sp.An


Disusun oleh :
Irwan Barlian I Haq (99310092)
Handriyani (99310098)



BAGIAN ANESTESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2005
HALAMAN PENGESAHAN


REFERAT
SYOK NEUROGENIK


Telah dipresentasikan dan disetujui :
Pada tanggal :     November 2005





Disusun oleh :
Irwan Barlian I Haq (99310092)
Handriyani (99310098)





Menyetujui
Dokter Pembimbing :


Dr. H. Joko Murdiyanto, Sp.An



KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirrobil ‘alamin,
            Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan karunianya kepada kita khususnya kepada penulis sehingga referat dengan judul Syok Neurogenik ini dapat terselesaikan.
            Referat ini merupakan salah satu syarat di bagian Anestesiologi RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Penulis yakin dalam penulisan referat ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan penulisan yang akan datang.
            Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. H. Joko Murdiyanto, Sp.An selaku Dosen Pembimbing di bagian Anestesiologi RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta, atas semua bantuan dan kesabarannya membimbing penulis sehingga penulis dapat menjalani kepaniteraan klinik di bagian Anestesiologi di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
            Penulis berharap semoga referat ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua. Amin.
                                                     
                                                              Yogyakarta,   November 2005

                                                                              Penulis











DAFTAR ISI

Halaman Judul                                                                                    i
Halaman Pengesahan                                                                         ii
Kata Pengantar                                                                                   iii
Daftar Isi                                                                                              iv
BAB I PENDAHULUAN
              I.1 Latar Belakang                                                                  1
              I.2 Tujuan penulisan                                                                2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
              II.1 Syok
                II.1. 2 Definisi                                                                      3
              II.2 Klasifikasi                                                                                    4
              II.3 Manifestasi Klinis                                                            5
              II.4 Penatalaksanaan                                                               7         
BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA






BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
            Pengertian tentang syok belum sepenuhnya dimengerti, sebagian besar masih beranggapan bahwa syok identik dengan tekanan darah yang rendah (hipotensi). Pengertian sebenarnya menyatakan bahwa syok sangat berkaitan dengan aliran darah atau perfusi darah ke jaringan.
            Setiap keadaan yang mengakibatkan tidak tercukupinya kebutuhan oksigen jaringan, baik karena suplainya yang kurang atau kebutuhannya yang meningkat, menimbulkan tanda-tanda syok 3 .
            Syok menunjukkan perfusi jaringan yang tidak adekuat. Hasil akhirnya berupa lemahnya aliran darah yang merupakan petunjuk yang umum, walaupun ada bermacam-macam penyebab. Syok dihasilkan oleh disfungsi empat sistem yang terpisah namun saling berkaitan yaitu ; jantung, volume darah, resistensi arteriol (beban akhir), dan kapasitas vena. Jika salah satu faktor ini kacau dan faktor lain tidak dapat melakukan kompensasi maka akan terjadi syok. Awalnya tekanan darah arteri mungkin normal sebagai kompensasi peningkatan isi sekuncup dan curah jantung. Jika syok berlanjut, curah jantung menurun dan vasokontriksi perifer meningkat7,5
            Syok neurogenik sebenarnya jarang terjadi1. Pada syok neurogenik terdapat penurunan tekanan darah sistemik sebagai akibat terjadinya vasodilatasi perifer dan penurunan curah jantung. Vasodilatasi tersebut terjadi karena menurunnya resistensi perifer yang disebabkan oleh gangguan saraf otonom sedangkan penurunan curah jantung disebabkan oleh bertambahnya pengaruh nervus vagus pada jantung sehingga terjadi bradikardi4.
            Tanda dan gejala klinis syok yang paling banyak berkaitan dengan pasien yang menjalani pembedahan adalah hipovolemi. Pada pasien muda dan sehat, awal syok terlihat berupa suatu kegelisahan dan kekhawatiran 7
            Diagnosa adanya syok harus didasarkan pada data-data baik klinis maupun laboratorium yang jelas yang merupakan akibat dari berkurangnya perfusi jaringan. Syok memperngaruhi kerja organ-organ vital dan penangannya memerlukan pemahanam tentang patofisiologi syok3.           

I.2 Tujuan Penulisan
            Tujuan dari penulisan referat ini antara lain untuk memahami lebih jelas tentang syok terutama syok neurogenik dan penatalaksanaannya.









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 SYOK
  II.1.1 Definisi
            Syok (renjatan) adalah kumpulan gejala-gejala yang diakibatkan oleh karena gangguan perfusi jaringan yaitu aliran darah ke organ tubuh tidak dapat mencukupi kebutuhannya3.

  II.1.2 Klasifikasi
            Syok secara umum dapat diklasifikasikan dalam 5 kategori etiologi yaitu :
  1. Syok Hipovolemik
      Syok yang disebabkan karena tubuh :
-          Kehilangan darah/syok hemoragik
·         Hemoragik eksternal : trauma, perdarahan gastrointestinal
·         Hemoragik internal : hematoma, hematotoraks
-          Kehilangan plasma : luka bakar
-          Kehilangan cairan dan elektrolit
·         Eksternal : muntah, diare, keringat yang berlebih
·         Internal : asites, obstruksi usus
  1. Syok Kardiogenik
      Gangguan perfusi jaringan yang disebabkan karena disfungsi jantung  misalnya : aritmia, AMI (Infark Miokard Akut)
  1. Syok Distributif
§ Syok Septik
          Syok yang terjadi karena penyebaran atau invasi kuman dan toksinnya  didalam tubuh yang berakibat vasodilatasi.
§ Syok Anafilaktif
          Gangguan perfusi jaringan akibat adanya reaksi antigen antibodi yang mengeluarkan histamine dengan akibat peningkatan permeabilitas membran kapiler dan terjadi dilatasi arteriola sehingga venous return menurun.
Misalnya : reaksi tranfusi, sengatan serangga, gigitan ular berbisa3,4,5,8.
§ Syok Neurogenik
              Pada syok neurogenik terjadi gangguan perfusi jaringan yang disebabkan karena disfungsi sistim saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi.
              Misalnya : trauma pada tulang belakang, spinal syok
  1. Syok Obtruktif
      Ketidakmampuan  ventrikel untuk mengisi selama diastol sehingga secara nyata menurunkan volume sekuncup dan endnya curah jantung
      Misalnya : penyakit perikardium (konstriksi)3,4,5,8 .




  II.1.3 Patofisiologi
            Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3 fase yaitu :
  1. Fase Kompensasi
                  Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa sehingga timbul gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk menimbulkan gangguan seluler. Mekanisme kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak dan otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat yang kurang vital. Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan vasokonstriksi dan menaikkan volume darah dengan konservasi air. Ventilasi meningkat untuk mengatasi adanya penurunan kadar oksigen di daerah arteri. Jadi pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan detak dan kontraktilitas otot jantung untuk menaikkan curah jantung dan peningkatan respirasi untuk memperbaiki ventilasi alveolar. Walau aliran darah ke ginjal menurun, tetapi karena ginjal mempunyai cara regulasi sendiri untuk mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan tetapi jika tekanan darah menurun, maka filtrasi glomeruler juga menurun.
  1. Fase Progresif
                  Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi kebutuhan tubuh. Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak lagi mencukupi sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan darah arteri menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata, gangguan seluler, metabolisme terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan akhirnya terjadi kematian sel.
                  Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu berkonstriksi sehingga terjadi bendungan vena, vena balik (venous return) menurun. Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan tetapi tidak dapat kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan trombosis kecil-kecil sehingga dapat terjadi koagulopati intravasa yang luas (DIC = Disseminated Intravascular Coagulation).
                  Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat vasomotor dan respirasi di otak. Keadaan ini menambah hipoksia jaringan. Hipoksia dan anoksia menyebabkan terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari jaringan (histamin dan bradikinin) yang ikut memperjelek syok (vasodilatasi dan memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia usus menimbulkan penurunan integritas mukosa usus, pelepasan toksin dan invasi bakteri usus ke sirkulasi.
                  Invasi bakteri dan penurunan fungsi detoksikasi hepar memperjelek keadaan. Dapat timbul sepsis, DIC bertambah nyata, integritas sistim retikuloendotelial rusak, integritas mikro sirkulasi juga rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan metabolisme dari aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik, terjadi peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan.


  1. Fase Irevesibel
                  Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga tidak dapat diperbaiki. Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya ireversibilitas syok. Gagal sistem kardiorespirasi, jantung tidak mampu lagi memompa darah yang cukup, paru menjadi kaku, timbul edema interstisial, daya respirasi menurun, dan akhirnya anoksia dan hiperkapnea6.

II.1.4 Manifestasi Klinis
            Manifestasi klinis tergantung pada penyebab syok (kecuali syok      neurogenik) yang meliputi :
*     Sistim pernafasan : nafas cepat dan dangkal
*     Sistim sirkulasi : ekstremitas pucat, dingin, dan berkeringat dingin, na-
      di cepat dan lemah, tekanan darah turun bila kehilangan darah menca-
      pai 30%.  
*     Sistim saraf pusat : keadaan mental atau kesadaran penderita bervariasi
      tergantung derajat syok, dimulai dari gelisah, bingung sampai keadaan
      tidak sadar.
*     Sistim pencernaan : mual, muntah
*     Sistim ginjal : produksi urin menurun (Normalnya 1/2-1 cc/kgBB/jam)
*     Sistim kulit/otot : turgor menurun, mata cowong, mukosa lidah kering.
*     Individu dengan syok neurogenik akan memperlihatkan kecepatan denyut jantung yang normal atau melambat, tetapi akan hangat dan kering apabila kulitnya diraba2,3.

  II.1.5 Derajat Syok
            Menentukan derajat syok :
  1. Syok Ringan
      Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan organ non vital seperti kulit, lemak, otot rangka, dan tulang. Jaringan ini relatif dapat hidup lebih lama dengan perfusi rendah, tanpa adanya perubahan jaringan yang menetap (irreversible). Kesadaran tidak terganggu, produksi urin normal atau hanya sedikit menurun, asidosis metabolik tidak ada atau ringan.
  1. Syok Sedang
      Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus, ginjal). Organ-organ ini tidak dapat mentoleransi hipoperfusi lebih lama seperti pada lemak, kulit dan otot. Pada keadaan ini terdapat oliguri (urin kurang dari 0,5 mg/kg/jam) dan asidosis metabolik. Akan tetapi kesadaran relatif masih baik.
  1. Syok Berat
      Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme kompensasi syok beraksi untuk menyediakan aliran darah ke dua organ vital. Pada syok lanjut terjadi vasokontriksi di semua pembuluh darah lain. Terjadi oliguri dan asidosis berat, gangguan kesadaran dan tanda-tanda hipoksia jantung (EKG abnormal, curah jantung menurun)4.

II.1.6 Pemeriksaan
  1. Anamnesis
                  Pada anamnesis, pasien mungkin tidak bisa diwawancara sehingga riwayat sakit mungkin hanya didapatkan dari keluarga, teman dekat atau orang yang mengetahui kejadiannya, cari :
    • Riwayat trauma (banyak perdarahan atau perdarahan dalam perut)
    • Riwayat penyakit jantung (sesak nafas)
    • Riwayat infeksi (suhu tinggi)
    • Riwayat pemakaian obat ( kesadaran menurun setelah memakan obat)4.
  1. Pemeriksaan fisik
§  Kulit
-    Suhu raba dingin (hangat pada syok septik hanya bersifat sementara, karena begitu syok berlanjut terjadi hipovolemia)
-    Warna pucat (kemerahan pada syok septik, sianosis pada syok kardiogenik dan syok hemoragi terminal)
-    Basah pada fase lanjut syok (sering kering pada syok septik).



§  Tekanan darah
Hipotensi dengan tekanan sistole < 80 mmHg (lebih tinggi pada penderita yang sebelumnya mengidap hipertensi, normal atau meninggi pada awal syok septik)
§  Status jantung
      Takikardi, pulsus lemah dan sulit diraba.
§                     Status respirasi
      Respirasi meningkat, dan dangkal (pada fase kompensasi) kemudian menjadi lambat (pada syok septik, respirasi meningkat jika kondisi menjelek)
§                     Status Mental
      Gelisah, cemas, agitasi, tampak ketakutan. Kesadaran dan orientasi  menurun, sopor sampai koma.
§  Fungsi Ginjal
      Oliguria, anuria (curah urin < 30 ml/jam, kritis)
§                     Fungsi Metabolik
      Asidosis akibat timbunan asam laktat di jaringan (pada awal syok septik dijumpai alkalosis metabolik, kausanya tidak diketahui). Alkalosis respirasi akibat takipnea
§                     Sirkulasi
      Tekanan vena sentral menurun pada syok hipovolemik, meninggi     pada syok kardiogenik

§                     Keseimbangan Asam Basa
      Pada awal syok pO2 dan pCO2  menurun (penurunan pCO2  karena takipnea, penurunan pO2 karena adanya aliran pintas di paru)6.
  1. Pemeriksaan Penunjang
§  Darah (Hb, Hmt, leukosit, golongan darah), kadar elektrolit, kadar ureum, kreatinin, glukosa darah.
§  Analisa gas darah
§  EKG 6

  II.1.7 Diagnosis
            Kriteria diagnosis :
  1. Penurunan tekanan darah sistolik > 30 mmHg
  2. Tanda perfusi jaringan kurang
  3. Takikardi, pulsus lemah 6.

  II.1.8 Diagnosis Banding
  1. Semua jenis syok.
  2. Sinkope (pingsan)
  3. Histeria6.

  II.1.9 Komplikasi
  1. Kegagalan multi organ akibat penurunan alilran darah dan hipoksia jaringan yang berkepanjangan.
  2. Sindrom distress pernapasan dewasa akibat destruksi pertemuan alveolus kapiler karena hipoksia
  3. DIC (Koagulasi intravascular diseminata) akibat hipoksia dan kematian jaringan yang luas sehingga terjadi pengaktifan berlebihan jenjang koagulasi2.

  II.1.10 Penatalaksanaan
  A.Umum :
  1. Memperbaiki sistim pernafasan
       - Bebaskan jalan nafas
 - Terapi oksigen
 - Bantuan nafas
 2.  Memperbaiki sistim sirkulasi
      - Pemberian cairan
      - Hentikan perdarahan yang terjadi
      - Monitor nadi, tekanan darah, perfusi perifer, produksi urin
3.   Menghilangkan atau mengatasi penyebab syok.

  B. Khusus :
     Obat farmakologik : - Tergantung penyebab syok
-      Vasopresor (kontraindikasi syok hipovolemik)
-      Vasodilator3,6

II.2 SYOK NEUROGENIK
  II.2.1 Definisi
                        Syok neurogenik merupakan kegagalan pusat vasomotor sehingga terjadi hipotensi dan penimbunan darah pada pembuluh tampung (capacitance vessels)1.
                        Syok neurogenik terjadi karena hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di seluruh tubuh2.

  II.2.2 Etiologi
            Penyebab utamanya adalah trauma medula spinalis dengan quadriplegia atau paraplegia (syok spinal). Syok pada trauma medula spinalis lebih banyak disebabkan oleh hipovolemia karena trauma abdomen atau rongga toraks1. Penyebab lain :
    1. Rangsangan hebat yang kurang menyenangkan seperti rasa nyeri hebat  pada fraktur tulang.
    2. Rangsangan pada medula spinalis seperti penggunaan obat anestesi spinal.
    3. Trauma kepala (terdapat gangguan pada pusat otonom)4.
Syok neurogenik bisa juga akibat letupan rangsangan parasimpatis ke jantung yang memperlambat kecepatan denyut jantung dan menurunkan rangsangan simpatis ke pembuluh darah. Misalnya pingsan mendadak akibat gangguan emosional2.

  II.2.3 Manifestasi Klinis
                        Mirip dengan analgesia spinal tinggi1. Berbeda dengan syok hipovolemik, walaupun tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat, malahan dapat lebih lambat (bradikardi). Sedangkan pada keadaan lanjut, sesudah pasien menjadi tidak sadar, barulah nadi bertambah cepat. Karena terjadinya pengumpulan darah di dalam arteriol, kapiler dan vena, maka kulit terasa agak hangat dan cepat berwarna kemerahan4

  II.2.4 Diagnosis
                        Tanda dan gejala serupa dengan syok hipovolemik tapi kelainan neurologik seperti quadriplegia atau paraplegia harus ada1.

  II.2.5 Diagnosis Banding
                        Diagnosis bandingnya syok neurogenik adalah vasovagal. Keduanya sama-sama menyebabkan hipotensi karena kegagalan pusat pengaturan vasomotor tetapi pada sinkop vasovagal hal ini tidak sampai menyebabkan iskemia jaringan menyeluruh dan menimbulkan gejala syok1.

  II.2.6 Penatalaksanaan
1.      Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi  Trendelenburg).
2.      Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat vasopresor (adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada perdarahan seperti ruptur lien) :
*   Dopamin (dosis diatas 10-20 Ug/kgBB/menit)
*  Fenileferin (dosis 10 Ug/menit atau 0,25 ml/menit iv)
*  Noradrenalin (dosis 2-4 ampul dalam 500 cc cairan infus)
                  -Pada pemberian subkutan, diserap tidak sempurna   jadi                              sebaiknya diberikan per infus.
                  -Obat ini merupakan obat yang terbaik karena                                               pengaruh vasokonstriksi perifernya lebih besar dari                                                 pengaruh terhadap jantung (palpitasi). Pemberian obat ini                               dihentikan bila tekanan darah sudah normal kembali
                  -Awasi pemberian obat ini pada wanita hamil, karena                                   dapat menimbulkan kontraksi otot-otot uterus.
*  Adrenalin (dosis 0,1-0,5 cc subkutan atau im)
            -Pada pemberian subkutan atau im, diserap dengan   sempurna dan dimetabolisme cepat dalam badan.
            -Efek vasokonstriksi perifer sama kuat dengan          pengaruhnya terhadap jantung
            -Sebelum pemberian obat ini harus diperhatikan dulu            bahwa pasien tidak mengalami syok hipovolemik.
            -Perlu diingat obat yang dapat menyebabkan vasodilatasi     perifer tidak boleh diberikan pada pasien syok neurogenik   
3. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen
4. Obat-obat lain tergantung dari kasus dan penyebabnya
5. Pemberian cairan kalau perlu dengan pengawasan4.




















BAB III
KESIMPULAN

            Syok neurogenik terjadi karena tonus pembuluh darah tiba-tiba menghilang misalnya setelah trauma sumsum tulang belakang, mengakibatkan pengumpulan darah di vena disertai dengan penurunan aliran balik darah ke jantung kanan juga vasodilatasi arteri dan cabang-cabangnya. Tekanan darah pasien menurun, tetapi pasien ini tidak menunjukkan adanya refleks takikardi. Ektremitasnya hangat. Penatalaksanaannya berupa pemberian cairan yang cukup untuk mengisi ruangan vena dan vasopresor untuk meningkatkan tonus arteri7.













DAFTAR PUSTAKA

1. Muhardi, M., dkk., 1989., Anestesiologi., Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia., Jakarta., hal 186-195
.
2.  Corwin, EJ., 2000., Buku Saku Patofi siologis., EGC., Jakarta., hal 390-392

3. Karjadi,W., 2000., Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk Pendidikan S1 Kedokteran., Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional., Jakarta., hal 35-40

4. Tambunan, K., 1990., Buku Panduan Penatalaksanaan Gawat Darurat., Fakulatas Kedokteran Universitas Indonesia., Jakarta., hal 1-19

5. Mansjoer, A., 1999., Kapita Selekta Kedokteran., Ed ke-3., Jilid I., Cet Kedua., Media Aesculapius., Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia., Jakarta., hal 610-623

6. Komite Medik RSUP Dr. Sardjito., 2000., Standar Pelayanan Medis., Ed Ketiga., Medika., Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada., Yogyakarta., hal 38-49

7. Schwartz, S., 2000., Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah., Ed ke-6., EGC., Jakarta., hal 37-45

8. Isselbacher, KJ., 1999., Horrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam., Ed ke-13., Cet Pertama., EGC., Jakarta., hal 218-223