Jumat, 09 September 2016
Kamis, 01 September 2016
Minggu, 28 Agustus 2016
Sabtu, 27 Agustus 2016
Jumat, 26 Agustus 2016
Kamis, 18 Agustus 2016
Selasa, 16 Agustus 2016
referat Neonatus
PENDAHULUAN
Neonatus adalah masa kehidupan pertama di luar rahim
sampai dengan usia 28 hari, dimana terjadi perubahan yang sangat besar dari
kehidupan didalam rahim menjadi diluar rahim. Pada masa ini terjadi pematangan
organ hampir pada semua system.
Neonatus bukanlah miniatur orang dewasa, bahkan bukan
pula miniatur anak. Neonatus mengalami masa perubahan dari kehidupan
didalam rahim yang serba tergantung pada
ibu menjadi kehidupan diluar rahim yang serba mandiri. Masa perubahan yang
paling besar terjadi selama jam ke 24-72 pertama. Transisi ini hampir meliputi
semua sistem organ tapi yang terpenting bagi anestesi adalah system pernafasan
sirkulasi, ginjal dan hepar.
Maka dari itu
sangatlah diperlukan penataan dan persiapan yang matang untuk melakukan suatu
tindakan anestesi terhadap neonatus.
SISTEM PERNAFASAN
Jalan Nafas :
Otot leher bayi masih lembek,
leher lebih pendek, sulit menyangga atau memposisikan kepala dengan tulang
occipital yang menonjol. Lidah besar, epiglottis berbentuk “U” dengan proyeksi
lebih ke posterior dengan sudut ± 450, relative lebih panjang dan
keras, letaknya tinggi, bahkan menempel pada palatum molle sehingga cenderung
bernafas melalui hidung. Akibat perbedaan anatomis epiglottis tersebut, saat
intubasi kadangkala diperlukan pengangkatan epiglottis untuk visualisasi.
Sementara lubang hidung, glottis, pipa tracheobronkial relative sempit,
meningkatkan resistensi jalan nafas, mudah sekali tersumbat oleh lender dan
edema. Trachea pendek, berbentuk seperti corong dengan diameter tersempit pada
bagian cricoid. (Cote CJ,2000)
Pernafasan :
Sangkar dada lemah dan kecil dengan iga horizontal.
Diafragma terdorong keatas oleh isi perut yang besar. Dengan demikian kemampuan
dalam memelihara tekanan negative intrathorak dan volume paru rendah sehingga
memudahkan terjadinya kolaps alveolus serta menyebabkan neonatus bernafas
secara diafragmatis. Kadang-kadang tekanan negative dapat timbul dalam lambung
pada waktu proses inspirasi, sehingga udara atau gas anestesi mudah terhirup ke
dalam lambung. Pada bayi yang mendapat kesulitan bernafas dan perutnya kembung
dipertimbangkan pemasangan pipa lambung.
Karena pada posisi
terlentang dinding abdomen cenderung mendorong diafragma ke atas serta adanya
keterbatasan pengembangan paru akibat sedikitnya elemen elastis paru, maka akan
menurunkan FRC (Functional Residual Capacity)
sementara volume tidalnya relative tetap. Untuk meningkatkan ventilasi
alveolar dicapai dengan cara menaikkan frekuensi nafas, karena itu neonatus
mudah sekali gagal nafas. Peningkatan frekuensi nafas juga dapat akibat dari
tingkat metabolisme pada neonatus yang relative tinggi, sehingga kebutuhan
oksigen juga tinggi, dua kali dari kebutuhan orang dewasa dan ventilasi
alveolar pun relative lebih besar dari dewasa hingga dua kalinya. Tingginya
konsumsi oksigen dapat menerangkan mengapa desaturasi O2 dari Hb terjadi lebih
mudah atau cepat, terlebih pada premature, adanya stress dingin maupun sumbatan
jalan nafas.
SISTEM SIRKULASI DAN HEMATOLOGI
Aliran darah fetal
bermula dari vena umbilikalis, akibat tahanan pembuluh paru yang besar (lebih
tinggi dibanding tahanan vaskuler sistemik =SVR) hanya 10% dari keluaran
ventrikel kanan yang sampai paru, sedang sisanya (90%) terjadi shunting kanan ke kiri melalui ductus arteriosus Bottali.
Pada waktu bayi
lahir, terjadi pelepasan dari plasenta secara mendadak (saat umbilical cord dipotong/dijepit),
tekanan atrium kanan menjadi rendah, tahanan pembuluh darah sistemik (SVR) naik
dan pada saat yang sama paru mengembang, tahanan vaskuler paru menyebabkan
penutupan foramen ovale (menutup setelah beberapa minggu), aliran darah di ductus arteriosus Bottali berbalik dari
kiri ke kanan. Kejadian ini disebut sirkulasi transisi. Penutupan ductus
arteriosus secara fisiologis terjadi pada umur bayi 10-15 jam yang disebabkan
kontraksi otot polos pada akhir arteri pulmonalis dan secara anatomis pada usia
2-3 minggu.
Pada neonatus
reaksi pembuluh darah masih sangat kurang, sehingga keadaan kehilangan darah,
dehidrasi dan kelebihan volume juga sangat kurang ditoleransi. Manajemen cairan
pada neonatus harus dilakukan dengan secermat dan seteliti mungkin. Tekanan
sistolik merupakan indicator yang baik untuk menilai sirkulasi volume darah dan
dipergunakan sebagai parameter yang adekuat terhadap penggantian volume.
Autoregulasi aliran darah otak pada bayi baru lahir tetap terpelihara normal
pada tekanan sistemik antara 60-130 mmHg. Frekuensi nadi bayi rata-rata 120
kali/menit dengan tekanan darah sekitar 80/60 mmHg.
SISTEM EKSKRESI DAN ELEKTROLIT
Akibat belum
matangnya ginjal neonatus, filtrasi glomerulus hanya sekitar 30% disbanding
orang dewasa. Fungsi tubulus belum matang, resorbsi terhadap natrium, glukosa,
fosfat organic, asam amibo dan bikarbonas juga rendah. Bayi baru lahir sukar
memekatkan air kemih, tetapi kemampuan mengencerkan urine seperti orang dewasa.
Kematangan filtrasi glomerulus dan fungsi tubulus mendekati lengkap sekitar
umur 20 minggu dan kematangannya sedah lengkap setelah 2 tahun.. (Cote CJ,2000)
Karena rendahnya
filtrasi flomerulus, kemampuan mengekskresi obat-obatan juga menjadi
diperpanjang. Oleh karena ketidakmampuan ginjal untuk menahan air dan garam,
penguapan air, kehilangan abnormal atau pemberian air tanpa sodium dapat dengan
cepat jatuh pada dehidrasi berat dan ketidakseimbangan elektrolit terutama
hiponatremia. (Warih,1992)
Pemberian cairan
dan perhitungan kehilangan atau derajat dehidrasi diperlukan kecermatan lebih
disbanding pada orang dewasa. Begitu pula dalam hal pemberian elektrolit, yang
biasa disertakan pada setiap pemberian cairan.
FUNGSI HATI
Fungsi
detoksifikasi obat masih rendah dan metabolisme
karbohidrat yang rendah pula yang dapat menyebabkan terjadinya
hipoglikemia dan asidosis metabolic. Hipotermia dapat pula menyebabkan
hipoglikemia.
Cadangan glikogen hati
sangat rendah. Kadar gula normal pada bayi baru lahir adalah 50-60%.
Hipoglikemia pada bayi (dibawah 30 mg%) sukar diketahui tanda-tanda klinisnya,
dan diketahui bila ada serangan apnoe atau terjadi kejang. Sintesis vitamin K
belum sempurna. Pada pemberian cairan rumatan dibutuhkan konsentrasi dextrose
lebih tinggi (10%). Secara rutin untuk bedah bayi baru lahir dianjurkan
pemberian vitamin K 1 mg i.m.hati-hati penggunaan opiate dan barbiturate,
karena kedua obat tersebut dioksidasi dalam hati.
SISTEM SYARAF
Waktu perkembangan
system syaraf, sambungan syaraf, struktur otak dan myelinisasi akan berkembang
pada trimester tiga (myelinisasi pada neonatus belum sempurna, baru matang dan
lengkap pada usia 3-4 tahun), sedangkan berat otak sampai 80% akan dicapai pada
umur 2 tahun. Waktu-waktu ini otak sangat sensitive terhadap keadaan-keadaan
hipoksia.
Persepsi tentang
rasa nyeri telah mulai ada, namun neonates belum dapat melokalisasinya dengan
baik seperti pada bayi yang sudah besar. Sebenarnya anak mempunyai batas ambang
rasa nyeri yang lebih rendah disbanding orang dewasa.
Perkembangan yang
belum sempurna pada neuromuscular
junction dapat mengakibatkan kenaikan sensitifitas dan lama kerja dari obat
pelumpuh otot non depolarizing.
Syaraf simpatis
belum berkembang dengan baik sehingga parasimpatis lebih dominant yang
mengakibatkan kecenderungan terjadinya refleks vagal (mengakibatkan
bradikardia; nadi <110 kali/menit) terutama kalau bayi dalam keadaan
hipoksia maupun bila aad stimulasi daerah nasofaring. Sirkulasi bayi baru lahir
stabil setelah berusia 24-48 jam.
Belum sempurnanya
mielinisasi dan kenaikan permeabilitas blood
brain barrier akan menyebabkan akumulasiobat-obatan seperti barbiturat dan
narkotik, dimana mengakibatkan aksi yang lama dan depresi pada periode pasca
anestesi.
Sisa dari blok obat
relaksasi otot dikombinasikan dengan zat anestesi IV dapat menyebabkan
kelelahan otot-otot pernafasan, depresi pernafasan dan apnoe pada periode pasca
anestesi.
Setiap keadaan
bradikardia harus dianggap berada dalam keadaan hipoksia dan harus cepat
diberikan oksigenasi. Kalau pemberian oksigen tidak menolong baru
dipertimbangkan pemberian sulfas atropine.
PENGATURAN TEMPERATUR
Pusat pengaturan
suhu di hypothalamus belum berkembang, walaupun sudah aktif. Kelenjar keringat
belum berfungsi normal, mudah kehilangan panas tubuh (perbandingan luas
permukaan dan berat badan lebih besar, tipisnya lemak subkutan, kulit lebih
permeable terhadap air), sehingga neonatus sulit mengatur suhu tubuh dan sangat
terpengaruh oleh suhu lingkungan (bersifat poikilotermik). Produksi panas
mengandalkan pada proses non-shivering
thermogenesis yang dihasilkan oleh jaringan lemak coklat yang terletak
diantara scapula, axila, mediastinum dan sekitar ginjal. Hipoksia mencegah
produksi panas dari lemak coklat (Morgan HAH,1993)
Hipotermia dapat
terjadi akibat dehidrasi, suhu sekitar yang panas, selimut atau kain penutup
yang tebal dan pemberian obat penahan keringat (misal: atropin, skopolamin).
Adapun hipotermia bisa disebabkan oleh suhu lingkungan yang rendah, permukaan
tubuh terbuka, pemberian cairan infuse/ tranfusi darah dingin, irigasi oleh
cairan dingin, pengaruh obat anestesi umum (yang menekan pusat regulasi suhu)
maupun obat vasodilator.
Temperature
lingkungan yang direkomendasikan untuk neonatus adalah 270C. Paparan
dibawah suhu ini akan mengandung resiko diantaranya: cadangan energi protein
akan berkurang, adanya pengeluaran katekolamin yang dapat menyebabkan
terjadinya kenaikan tahanan vaskuler paru dan perifer, lebih jauh lagi dapat
menyebabkan lethargi, shunting kanan ke kiri, hipoksia dan asidosis metabolic.
Untuk mencegah
hipotermia bias ditempuh dengan : memantau suhu tubuh, mengusahakan suhu kamar
optimal atau pemakaian selimut hangat, lampu penghangat, incubator, cairan
intra vena hangat, begitu pula gas anestesi, cairan irigasi maupun cairan
antiseptic yang digunakan yang hangat.
FARMAKOLOGI
Farmakokinetik dan
farmakodinamik dari obat-obat yang diberikan pada neonatus berbeda disbanding dengan dewasa karena pada neonatus
:
1.
Perbandingan volume cairan
intravaskuler terhadap cairan ekstravaskuler berbeda dengan orang dewasa.
2.
Laju filtrasi glomerulus masih
rendah
3.
Laju metabolisme yang tinggi
4.
Kemampuan obat berikatan dengan protein masih rendah
5.
Liver/hati yang masih immature
akan mempengaruhi proses biotransformasi obat.
6.
Aliran darah ke organ relative
lebih banyak (seperti pasa otak, jantung, liver dan ginjal)
7.
Khusus pada anestesi inhalasi,
perbedaan fisiologi system pernafasan : ventilasi alveolar tinggi, Minute
volume, FRC rendah, lebih rendahnya MAC dan koefisien partisi darah/gas akan
meningkatkan potensi obat, mempercepat induksi dan mempersingkat pulih
sadarnya. Tekanan darah cenderung lebih peka terhadap zat anestesi inhalsi
mungkin karena mekanisme kompensasi yang belum sempurna dan depresi miokard
hebat.
Beberapa obat golongan barbiturat dan agonis opiate
agaknya sangat toksisk pada neonatus disbanding dewasa. Hal ini mungkin karena
obat-obat tersebut sangat mudah menembus sawar darah otak, kemampuan
metabolisme masih rendah atau kepekaan pusat nafas sangat tinggi. Sebaliknya
neonatus tampaknya lebih tahan terhadap efek ketamin.
Bayi umumnya membutuhkan dosis suksisnil cholin relative
lebih tinggi disbanding dewasa karena ruang extraselulernya relative lebih besar.
Respon terhadap pelumpuh otot non deplarisasi cukup bervariasi.
PERSIAPAN ANESTESI
Sebelum anestesi
dan pembedahan dilaksanakan, keadaan hidrasi, elektrolit, asam basa harus
berada dalam batas-batas normal atau mendekati normal. Sebagian pembedahan bayi
baru lahir merupakan kasus gawat darurat. Proses transisi sirkulasi neonatus,
penurunan PVR (Pulmonary Vascular
Resistance) berpengaruh pada status asam-basanya.
Transportasi
neonatus dari ruang perawatan ke kamar bedah sedapat mungkin menggunakan incubator
yang telah dihangatkan. Sebelum bayi masuk kamar bedah hangatkan kamar dengan
mematikan AC misalnya.
Peralatan anestesi
neonatus bersifat khusus. Tahanan
terhadap aliran gas harus rendah, anti obstruksi, ringan dan mudah dipindahkan.
Untuk anestesi yang lama, kalau mungkin gas-gas anestetik dihangatkan,
dilembabkan dengan pelembab listrik. Biasanya digunakan system anestesi semi-open modifikasi system pipa T dari
Ayre yaitu peralatan dari Jackson-Rees.
Puasa
Puasa yang lama
menyebabkan dehidrasi dan hipoglikemia. Lama puasa yang dianjurkan adalah stop
susu 4 jam dan berilah air gula 2 jam sebelum anestesi. (Abdul Latief,1991)
Infus
Dipasang untuk
memenuhi kebutuhan cairan karena puasa, mengganti cairan yang hilang akibat
trauma bedah, akibat perdarahan, dll. Untuk pemeliharaan digunakan preparat
D5%-10% dalam cairan elektrolit.
Neonatus terutama
bayi premature mudah sekali mengalami dehidrasi akibat puasa lama atu sulit
minum, kehilangan cairan lewat gastrointestinal, evaporasi (Insensible water loss), tranduksi atau
sekuestrasi cairan ke dalam lumen usus atau kompartemen tubuh lainnya.
Dehidrasi/hipovolemia sangat mudah terjadi karena luas permukaan tubuh dan
kompartemen atau volume cairan ekstra seluler relative lebih besar serta fingsu
ginjal belum matang.
Cairan
pemeliharaan/pengganti karena puasa diberikan dalam waktu 3 jam, jam I 50% dan
jam II, III maing-masing 25%. Kecukupan hidrasi dapat dipantau melalui produksi
urin (>0,5ml/kgBB/jam), berat jenis urin (<1,010) ,aupun dengan pemasangan
CVP (Central Venous Pressure).
Premedikasi
Sulfas Atropine
Hampir selalu
diberikan terutama pada penggunaan Halotan, Enfluran, Isofluran, suksinil
cholin atau eter. Dosis atropine 0,02 mg/kg, minimal 0,1 mg dan maksimal 0,5
mg. lebih digemari secara intravena dengan pengenceran. Hati-hati pada bayi
demam, takikardi, dan keadaan umumnya jelek.
Penenang
Tidak dianjurkan, karena susunan syaraf pusat belum berkembang,
mudah terjadi depresi, kecuali pasca anestesi dirawat diruang perawatan
intensif. (Abdul Latief,1993)
MASA ANESTESI
Induksi
Pada waktu induksi
sebaiknya ada yang membantu. Usahakan agar berjalan dengan trauma sekecil
mungkin. Umumnya induksi inhalasi dengan Halotan-O2 atau Halotan-O2/N2O.
Intubasi
Intubasi Neonatus
lebih sulit karena mulut kecil, lidah besar-tebal, epiglottis tinggi dengan
bentuk “U”. Laringoskopi pada neonatus tidak membutuhkan bantal kepala karena
occiputnya menonjol. Sebaiknya menggunakan laringoskop bilah lurus-lebar dengan
lampu di ujungnya. Hati-hati bahwa bagian tersempit jalan nafas atas adalah
cincin cricoid. Waktu intubasi perlu pembantu guna memegang kepala. Intubasi
biasanya dikerjakan dalam keadaan sadar (awake intubation) terlebih pada
keadaan gawat atau diperkirakan akan dijumpai kesulitan. Beberapa penulis
menganjurkan intubasi sadar untuk bayi baru lahir dibawah usia 10-14 hari atau
pada bayi premature. Yang berpendapat dilakukan intubasi tidur atas
pertimbangan dapat ditekannya trauma, yang dapat dilakukan dengan menggunakan
ataupun tanpa pelumpuh otot. Pelumpuh otot yang digunakan adalah suksinil
cholin 2 mg/kg secara iv atau im.
Pipa trachea yang
dianjurkan adalah dari bahan plastic, tembus pandang dan tanpa cuff. Untuk
premature digunakan ukuran diameter 2-3 mm sedangkan pada bayi aterm 2,5-3,5
mm. idealnya menggunakan pipa trachea yang paling besar yang dapat masuk tetapi
masih sedikit longgar sehingga dengan tekanan inspirasi 20-25 cmH2O masih
sedikit bocor. (Adipradja K, 1998)
Pemeliharaan Anestesi
Dianjurkan dengan
intubasi dan pernafasan kendali. Pada umunya menggunakan gas anestesi N2O/O2
dengan kombinasi halotan, enfluran, isofluran ataupun sevofluran. Pelumpuh otot
golongan non depol sangat sensitive sehingga harus diencerkan dan pemberiannya
secara sedikit demi sedikit.
Pemantauan
- Pernafasan
-
Stetoskop prekordial
-
Pada nafas spontan, gerak daad,
dan bag reservoir
-
Warna ekstremitas
- Sirkulasi
-
Stetoskop perikordial
-
Perabaan nadi
-
EKG dan CVP
- Suhu
-
Rektal
- Perdarahan
-
isi dalam botol suction
-
Beda berat kassa sebelum dan
sesudah kena darah
-
Periksa Hb dan Ht secara serial
- Air Kemih
-
Isi dalam kantong air kemih
PENGAKHIRAN ANESTESIA
Pembersihan lender
dalam rongga hidung dan mulut dilakukan secara hati-hati. Pemberian O2 100%
selama 5-15 menit setelah agent dihentikan. Bila masih ada pengaruh obat
pelumpuh obat non-depol, dapat dilakukan penetralan dengan neostigmin (0,04
mg/kg) bersama atropin (0,02 mg/kg). kemudian dilakukan ekstubasi.
KESIMPULAN
Anestesi pada
neonatus merupakan hal yang lain dari biasanya. Karena mereka bukanlah merupakan
miniatur orang dewasa sehingga dalam melakukan tindakan anestesi diperlukan
pengetahuan dan keterampilan khusus dan teliti dalam manajemennya.
Perhatian khusus
sangat diperlukan mengingat perbedaan anatomi, fisiologi dan farmakologi pada
neonatus. Jadi sebelum dilakukan tindakan anestesi haruslah dipertimbangkan
faktor sistem pernafasan, sirkulasi, ginjal, dan heparnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Latief, 1993. Penatalaksanaan Anestesi pada Bedah Akut
Bayi Baru Lahir. Ha: Buku Kursus Penyegar dan Penambah Anestesi. Jakarta
Adipradja.K. 1998. Penatalaksanaan Anestesi pada Bedah Darurat
Anak. Makalah Simposium Anestesi Pediatri, Bandung.
Cote, CJ. 2000. Pediatric
Anaesthesia. 5th edition, Churchil Livingstone. Philadelphia.
Muhiman, Muhardi. Dkk. 1989. Anestesiologi. FKUI. Jakarta.
Warih BP, Abubakar M. 1992. Fisiologi pada Neonatus. dalam : Kumpulan makalah Konas III IDSAI. Surabaya.
ANESTESI PADA NEONATUS
REFERAT
ANESTESI PADA NEONATUS
Diajukan Kepada YTH :
Dr. H. Diding M. Syamsudin, Sp.An.
Dr. H. Dudik H, Sp.An.
Dr. Hj. Hermin P, Sp.An.
Disusun oleh :
Rachma Istiawan 99310035
Dedi Prasetya 99310060
SMF ANESTESI
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RSUD MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
2004
SYOK NEUROGENIK
REFERAT
SYOK NEUROGENIK
Disusun untuk
memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti
Program
Pendidikan Profesi Bagian Anestesiologi
Di RSU PKU
Muhammadiyah Yogyakarta
Diajukan kepada :
Dr. H. Joko Murdiyanto,
Sp.An
Disusun oleh :
Irwan Barlian I Haq
(99310092)
Handriyani (99310098)
BAGIAN ANESTESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2005
HALAMAN PENGESAHAN
REFERAT
SYOK NEUROGENIK
Telah dipresentasikan dan
disetujui :
Pada tanggal : November
2005
Disusun oleh :
Irwan Barlian I Haq
(99310092)
Handriyani (99310098)
Menyetujui
Dokter Pembimbing :
Dr. H. Joko Murdiyanto,
Sp.An
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirrobil ‘alamin,
Puji syukur penulis
panjatkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan karunianya kepada kita
khususnya kepada penulis sehingga referat dengan judul Syok Neurogenik ini dapat terselesaikan.
Referat ini merupakan salah satu syarat di
bagian Anestesiologi RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Penulis yakin dalam
penulisan referat ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis
mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan penulisan yang akan datang.
Penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. H. Joko Murdiyanto, Sp.An selaku
Dosen Pembimbing di bagian Anestesiologi RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta, atas
semua bantuan dan kesabarannya membimbing penulis sehingga penulis dapat
menjalani kepaniteraan klinik di bagian Anestesiologi di RSU PKU Muhammadiyah
Yogyakarta.
Penulis
berharap semoga referat ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua. Amin.
Yogyakarta, November 2005
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Halaman
Pengesahan ii
Kata Pengantar iii
Daftar Isi iv
BAB I PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang 1
I.2
Tujuan penulisan 2
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA
II.1 Syok
II.1. 2 Definisi 3
II.2
Klasifikasi 4
II.3
Manifestasi Klinis 5
II.4
Penatalaksanaan 7
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Pengertian tentang
syok belum sepenuhnya dimengerti, sebagian besar masih beranggapan bahwa syok
identik dengan tekanan darah yang rendah (hipotensi). Pengertian sebenarnya
menyatakan bahwa syok sangat berkaitan dengan aliran darah atau perfusi darah
ke jaringan.
Setiap keadaan yang
mengakibatkan tidak tercukupinya kebutuhan oksigen jaringan, baik karena
suplainya yang kurang atau kebutuhannya yang meningkat, menimbulkan tanda-tanda
syok 3 .
Syok menunjukkan
perfusi jaringan yang tidak adekuat. Hasil akhirnya berupa lemahnya aliran
darah yang merupakan petunjuk yang umum, walaupun ada bermacam-macam penyebab.
Syok dihasilkan oleh disfungsi empat sistem yang terpisah namun saling
berkaitan yaitu ; jantung, volume darah, resistensi arteriol (beban akhir), dan
kapasitas vena. Jika salah satu faktor ini kacau dan faktor lain tidak dapat
melakukan kompensasi maka akan terjadi syok. Awalnya tekanan darah arteri
mungkin normal sebagai kompensasi peningkatan isi sekuncup dan curah jantung.
Jika syok berlanjut, curah jantung menurun dan vasokontriksi perifer meningkat7,5
Syok neurogenik
sebenarnya jarang terjadi1. Pada syok neurogenik terdapat penurunan
tekanan darah sistemik sebagai akibat terjadinya vasodilatasi perifer dan
penurunan curah jantung. Vasodilatasi tersebut terjadi karena menurunnya
resistensi perifer yang disebabkan oleh gangguan saraf otonom sedangkan
penurunan curah jantung disebabkan oleh bertambahnya pengaruh nervus vagus pada
jantung sehingga terjadi bradikardi4.
Tanda dan gejala
klinis syok yang paling banyak berkaitan dengan pasien yang menjalani
pembedahan adalah hipovolemi. Pada pasien muda dan sehat, awal syok terlihat
berupa suatu kegelisahan dan kekhawatiran 7
Diagnosa adanya
syok harus didasarkan pada data-data baik klinis maupun laboratorium yang jelas
yang merupakan akibat dari berkurangnya perfusi jaringan. Syok memperngaruhi
kerja organ-organ vital dan penangannya memerlukan pemahanam tentang
patofisiologi syok3.
I.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dari
penulisan referat ini antara lain untuk memahami lebih jelas tentang syok
terutama syok neurogenik dan penatalaksanaannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 SYOK
II.1.1 Definisi
Syok
(renjatan) adalah kumpulan gejala-gejala yang diakibatkan oleh karena gangguan
perfusi jaringan yaitu aliran darah ke organ tubuh tidak dapat mencukupi
kebutuhannya3.
II.1.2 Klasifikasi
Syok secara umum dapat diklasifikasikan dalam 5
kategori etiologi yaitu :
- Syok Hipovolemik
Syok yang disebabkan karena tubuh :
-
Kehilangan darah/syok hemoragik
·
Hemoragik eksternal : trauma,
perdarahan gastrointestinal
·
Hemoragik internal : hematoma,
hematotoraks
-
Kehilangan plasma : luka bakar
-
Kehilangan cairan dan
elektrolit
·
Eksternal : muntah, diare,
keringat yang berlebih
·
Internal : asites, obstruksi
usus
- Syok Kardiogenik
Gangguan perfusi jaringan yang disebabkan karena disfungsi jantung misalnya : aritmia, AMI (Infark Miokard Akut)
- Syok Distributif
§ Syok Septik
Syok
yang terjadi karena penyebaran atau invasi kuman dan toksinnya didalam tubuh yang berakibat vasodilatasi.
§ Syok Anafilaktif
Gangguan
perfusi jaringan akibat adanya reaksi antigen antibodi yang mengeluarkan
histamine dengan akibat peningkatan permeabilitas membran kapiler dan terjadi
dilatasi arteriola sehingga venous return menurun.
Misalnya : reaksi tranfusi, sengatan serangga, gigitan
ular berbisa3,4,5,8.
§ Syok Neurogenik
Pada
syok neurogenik terjadi gangguan perfusi jaringan yang disebabkan karena
disfungsi sistim saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi.
Misalnya
: trauma pada tulang belakang, spinal syok
- Syok Obtruktif
Ketidakmampuan ventrikel untuk mengisi selama diastol
sehingga secara nyata menurunkan volume sekuncup dan endnya curah jantung
Misalnya :
penyakit perikardium (konstriksi)3,4,5,8 .
II.1.3 Patofisiologi
Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3 fase
yaitu :
- Fase Kompensasi
Penurunan curah jantung
(cardiac output) terjadi sedemikian rupa sehingga timbul gangguan perfusi
jaringan tapi belum cukup untuk menimbulkan gangguan seluler. Mekanisme
kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi untuk menaikkan aliran darah ke
jantung, otak dan otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat yang kurang
vital. Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan
vasokonstriksi dan menaikkan volume darah dengan konservasi air. Ventilasi
meningkat untuk mengatasi adanya penurunan kadar oksigen di daerah arteri. Jadi
pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan detak dan kontraktilitas otot
jantung untuk menaikkan curah jantung dan peningkatan respirasi untuk
memperbaiki ventilasi alveolar. Walau aliran darah ke ginjal menurun, tetapi
karena ginjal mempunyai cara regulasi sendiri untuk mempertahankan filtrasi
glomeruler. Akan tetapi jika tekanan darah menurun, maka filtrasi glomeruler
juga menurun.
- Fase Progresif
Terjadi
jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi kebutuhan tubuh.
Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak lagi mencukupi
sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan darah
arteri menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata,
gangguan seluler, metabolisme terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan
akhirnya terjadi kematian sel.
Dinding
pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu berkonstriksi sehingga terjadi
bendungan vena, vena balik (venous return) menurun. Relaksasi sfinkter
prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan tetapi tidak dapat kembali
ke jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan trombosis kecil-kecil sehingga
dapat terjadi koagulopati intravasa yang luas (DIC = Disseminated Intravascular
Coagulation).
Menurunnya
aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat vasomotor dan respirasi di
otak. Keadaan ini menambah hipoksia jaringan. Hipoksia dan anoksia menyebabkan
terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari jaringan (histamin dan bradikinin)
yang ikut memperjelek syok (vasodilatasi dan memperlemah fungsi jantung).
Iskemia dan anoksia usus menimbulkan penurunan integritas mukosa usus,
pelepasan toksin dan invasi bakteri usus ke sirkulasi.
Invasi
bakteri dan penurunan fungsi detoksikasi hepar memperjelek keadaan. Dapat
timbul sepsis, DIC bertambah nyata, integritas sistim retikuloendotelial rusak,
integritas mikro sirkulasi juga rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan
perubahan metabolisme dari aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi
asidosis metabolik, terjadi peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan
asam karbonat di jaringan.
- Fase Irevesibel
Karena
kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga tidak dapat
diperbaiki. Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya ireversibilitas syok.
Gagal sistem kardiorespirasi, jantung tidak mampu lagi memompa darah yang
cukup, paru menjadi kaku, timbul edema interstisial, daya respirasi menurun,
dan akhirnya anoksia dan hiperkapnea6.
II.1.4
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis
tergantung pada penyebab syok (kecuali syok neurogenik)
yang meliputi :


di cepat dan lemah, tekanan darah turun bila
kehilangan darah menca-
pai 30%.

tergantung
derajat syok, dimulai dari gelisah, bingung sampai keadaan
tidak sadar.




II.1.5 Derajat Syok
Menentukan derajat syok :
- Syok Ringan
Penurunan
perfusi hanya pada jaringan dan organ non vital seperti kulit, lemak, otot
rangka, dan tulang. Jaringan ini relatif dapat hidup lebih lama dengan perfusi
rendah, tanpa adanya perubahan jaringan yang menetap (irreversible). Kesadaran
tidak terganggu, produksi urin normal atau hanya sedikit menurun, asidosis
metabolik tidak ada atau ringan.
- Syok Sedang
Perfusi
ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus, ginjal).
Organ-organ ini tidak dapat mentoleransi hipoperfusi lebih lama seperti pada
lemak, kulit dan otot. Pada keadaan ini terdapat oliguri (urin kurang dari 0,5
mg/kg/jam) dan asidosis metabolik. Akan tetapi kesadaran relatif masih baik.
- Syok Berat
Perfusi
ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme kompensasi syok beraksi untuk
menyediakan aliran darah ke dua organ vital. Pada syok lanjut terjadi
vasokontriksi di semua pembuluh darah lain. Terjadi oliguri dan asidosis berat,
gangguan kesadaran dan tanda-tanda hipoksia jantung (EKG abnormal, curah
jantung menurun)4.
II.1.6 Pemeriksaan
- Anamnesis
Pada
anamnesis, pasien mungkin tidak bisa diwawancara sehingga riwayat sakit mungkin
hanya didapatkan dari keluarga,
teman dekat atau orang yang mengetahui kejadiannya, cari :
- Riwayat trauma (banyak perdarahan atau perdarahan dalam perut)
- Riwayat penyakit jantung (sesak nafas)
- Riwayat infeksi (suhu tinggi)
- Riwayat pemakaian obat ( kesadaran menurun setelah memakan obat)4.
- Pemeriksaan fisik
§ Kulit
-
Suhu raba dingin (hangat pada syok septik
hanya bersifat sementara, karena begitu syok berlanjut terjadi hipovolemia)
-
Warna pucat (kemerahan pada syok septik,
sianosis pada syok kardiogenik dan syok hemoragi terminal)
-
Basah pada fase lanjut syok (sering kering
pada syok septik).
§ Tekanan darah
Hipotensi dengan tekanan sistole < 80 mmHg (lebih
tinggi pada penderita yang sebelumnya mengidap hipertensi, normal atau meninggi
pada awal syok septik)
§ Status jantung
Takikardi,
pulsus lemah dan sulit diraba.
§
Status respirasi
Respirasi
meningkat, dan dangkal (pada fase kompensasi) kemudian menjadi lambat (pada
syok septik, respirasi meningkat jika kondisi menjelek)
§
Status Mental
Gelisah, cemas, agitasi, tampak ketakutan.
Kesadaran dan orientasi menurun, sopor
sampai koma.
§ Fungsi Ginjal
Oliguria, anuria (curah urin < 30 ml/jam, kritis)
§
Fungsi
Metabolik
Asidosis akibat timbunan asam laktat di
jaringan (pada awal syok septik dijumpai alkalosis metabolik, kausanya tidak diketahui).
Alkalosis respirasi akibat takipnea
§
Sirkulasi
Tekanan vena sentral menurun pada syok hipovolemik, meninggi pada syok kardiogenik
§
Keseimbangan
Asam Basa
Pada awal syok pO2 dan pCO2 menurun (penurunan pCO2 karena takipnea, penurunan pO2
karena adanya aliran pintas di paru)6.
- Pemeriksaan Penunjang
§ Darah (Hb, Hmt, leukosit, golongan darah),
kadar elektrolit, kadar ureum, kreatinin, glukosa darah.
§ Analisa gas darah
§ EKG 6
II.1.7 Diagnosis
Kriteria diagnosis :
- Penurunan tekanan darah sistolik > 30 mmHg
- Tanda perfusi jaringan kurang
- Takikardi, pulsus lemah 6.
II.1.8 Diagnosis Banding
- Semua jenis syok.
- Sinkope (pingsan)
- Histeria6.
II.1.9 Komplikasi
- Kegagalan multi organ akibat penurunan alilran darah dan hipoksia jaringan yang berkepanjangan.
- Sindrom distress pernapasan dewasa akibat destruksi pertemuan alveolus kapiler karena hipoksia
- DIC (Koagulasi intravascular diseminata) akibat hipoksia dan kematian jaringan yang luas sehingga terjadi pengaktifan berlebihan jenjang koagulasi2.
II.1.10 Penatalaksanaan
A.Umum :
- Memperbaiki sistim pernafasan
- Bebaskan
jalan nafas
- Terapi oksigen
- Bantuan nafas
2. Memperbaiki
sistim sirkulasi
- Pemberian
cairan
- Hentikan
perdarahan yang terjadi
- Monitor
nadi, tekanan darah, perfusi perifer, produksi urin
3. Menghilangkan
atau mengatasi penyebab syok.
B. Khusus :
Obat farmakologik : -
Tergantung penyebab syok
-
Vasopresor (kontraindikasi syok
hipovolemik)
-
Vasodilator3,6
II.2 SYOK NEUROGENIK
II.2.1 Definisi
Syok
neurogenik merupakan kegagalan pusat vasomotor sehingga terjadi hipotensi dan
penimbunan darah pada pembuluh tampung (capacitance vessels)1.
Syok
neurogenik terjadi karena hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di
seluruh tubuh2.
II.2.2 Etiologi
Penyebab
utamanya adalah trauma medula spinalis dengan quadriplegia atau paraplegia
(syok spinal). Syok pada trauma medula spinalis lebih banyak disebabkan oleh
hipovolemia karena trauma abdomen atau rongga toraks1. Penyebab lain
:
- Rangsangan hebat yang kurang menyenangkan seperti rasa nyeri hebat pada fraktur tulang.
- Rangsangan pada medula spinalis seperti penggunaan obat anestesi spinal.
- Trauma kepala (terdapat gangguan pada pusat otonom)4.
Syok neurogenik bisa juga akibat letupan rangsangan
parasimpatis ke jantung yang memperlambat kecepatan denyut jantung dan
menurunkan rangsangan simpatis ke pembuluh darah. Misalnya pingsan mendadak
akibat gangguan emosional2.
II.2.3 Manifestasi Klinis
Mirip dengan analgesia spinal tinggi1. Berbeda dengan
syok hipovolemik, walaupun tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat,
malahan dapat lebih lambat (bradikardi). Sedangkan pada keadaan lanjut, sesudah
pasien menjadi tidak sadar, barulah nadi bertambah cepat. Karena terjadinya
pengumpulan darah di dalam arteriol, kapiler dan vena, maka kulit terasa agak
hangat dan cepat berwarna kemerahan4
II.2.4 Diagnosis
Tanda dan gejala serupa dengan syok hipovolemik tapi
kelainan neurologik seperti quadriplegia atau paraplegia harus ada1.
II.2.5 Diagnosis Banding
Diagnosis bandingnya syok neurogenik adalah vasovagal. Keduanya
sama-sama menyebabkan hipotensi karena kegagalan pusat pengaturan vasomotor
tetapi pada sinkop vasovagal hal ini tidak sampai menyebabkan iskemia jaringan
menyeluruh dan menimbulkan gejala syok1.
II.2.6 Penatalaksanaan
1. Baringkan pasien dengan posisi kepala
lebih rendah dari kaki (posisi
Trendelenburg).
2.
Bila tekanan darah dan perfusi
perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat vasopresor (adrenergik; agonis
alfa yang indikasi kontra bila ada perdarahan seperti ruptur lien) :



-Pada pemberian subkutan,
diserap tidak sempurna jadi sebaiknya diberikan
per infus.
-Obat ini merupakan obat yang
terbaik karena pengaruh
vasokonstriksi perifernya lebih besar dari pengaruh
terhadap jantung (palpitasi). Pemberian obat ini dihentikan bila tekanan darah sudah
normal kembali
-Awasi pemberian obat ini pada
wanita hamil, karena dapat
menimbulkan kontraksi otot-otot uterus.

-Pada pemberian subkutan atau im,
diserap dengan sempurna dan
dimetabolisme cepat dalam badan.
-Efek vasokonstriksi perifer sama
kuat dengan pengaruhnya terhadap
jantung
-Sebelum pemberian obat ini harus
diperhatikan dulu bahwa pasien
tidak mengalami syok hipovolemik.
-Perlu diingat obat yang dapat
menyebabkan vasodilatasi perifer tidak
boleh diberikan pada pasien syok neurogenik
3. Pertahankan jalan nafas dengan
memberikan oksigen
4. Obat-obat
lain tergantung dari kasus dan penyebabnya
5. Pemberian
cairan kalau perlu dengan pengawasan4.
BAB III
KESIMPULAN
Syok
neurogenik terjadi karena tonus pembuluh darah tiba-tiba menghilang misalnya
setelah trauma sumsum tulang belakang, mengakibatkan pengumpulan darah di vena
disertai dengan penurunan aliran balik darah ke jantung kanan juga vasodilatasi
arteri dan cabang-cabangnya. Tekanan darah pasien menurun, tetapi pasien ini
tidak menunjukkan adanya refleks takikardi. Ektremitasnya hangat.
Penatalaksanaannya berupa pemberian cairan yang cukup untuk mengisi ruangan
vena dan vasopresor untuk meningkatkan tonus arteri7.
DAFTAR PUSTAKA
1. Muhardi, M., dkk., 1989., Anestesiologi., Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.,
Jakarta., hal 186-195
.
2. Corwin,
EJ., 2000., Buku Saku Patofi siologis.,
EGC., Jakarta., hal 390-392
3. Karjadi,W., 2000., Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk Pendidikan S1 Kedokteran.,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.,
Jakarta., hal 35-40
4. Tambunan, K., 1990., Buku Panduan Penatalaksanaan Gawat Darurat., Fakulatas Kedokteran
Universitas Indonesia., Jakarta., hal 1-19
5. Mansjoer, A., 1999., Kapita Selekta Kedokteran., Ed ke-3., Jilid I., Cet Kedua., Media
Aesculapius., Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia., Jakarta., hal 610-623
6. Komite Medik RSUP Dr. Sardjito.,
2000., Standar Pelayanan Medis., Ed
Ketiga., Medika., Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada., Yogyakarta., hal
38-49
7. Schwartz, S., 2000., Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah., Ed ke-6., EGC., Jakarta., hal
37-45
8. Isselbacher, KJ.,
1999., Horrison Prinsip-Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam., Ed ke-13., Cet Pertama., EGC., Jakarta., hal 218-223
Langganan:
Postingan (Atom)